Mohon tunggu...
Selvina
Selvina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

i am just a happy human who like reading and writing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembangunan sebagai Kebebasan: Pandangan Prof. Amartya Kumar Sen tentang Pembangunan

31 Maret 2022   21:53 Diperbarui: 2 April 2022   11:05 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesor Amartya Kumar Sen dalam bukunya menjelaskan tentang konsep pembangunan, yaitu sebagai upaya harus adanya kebebasan yang nyata dapat dinikmati oleh masyarakat. 

Konsep kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan sebuah Negara dan juga rakyatnya. Nilai intrinsik manusia didukung dengan kebebasan empiris dan kausal yang berkaitan satu dengan yang lainnya. 

Sebagai contoh, bukti empiris telah menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dan politik saling memperkuat serta peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapi peluang untuk berperan serta dalam politik dan ekonomi. 

Pandangan Profesor Amartya Sen mengenai konsep pembangunan sangat kontras berbeda dengan biasanya yang hanya diukur oleh PDB, peningkatan pendapatan pribadi, industrialisasi dan kemajuan teknologi atau modernisasi sosial

Untuk dapat memenuhi kebebasan yang dipaparkan diatas diharuskan untuk menyingkirkan kemiskinan, tirani, intoleransi, dan campur tangan rezim yang berlebihan.  

Meskipun mengalami peningkatan kesejahteraan secara material, tetapi masih ada manusia yang tidak memliki kebebasan dasar substansif yang sebagian besar disebabkan oleh kemiskinan absolut yang membuat semua orang sulit untuk kebebasan memuaskan sandang, pangan, papan serta fasilitas kesehatan.

Dalam bukunya yang berjudul poverty and famines-An essay on entitlement and deprivation, Profesor Amartya Sen mengkritik pandangan tradisional yang menyatakan bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh persediaan pangan, padahal dalam studi empiris tentang bencana kelaparan yang terjadi dibeberapa Negara, bisa saja terjadi tanpa sangkut pautnya dengan menurunnya persediaan pangan. 

Beliau juga menyatakan bahwa perhatian harus berpusat pada entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang, jika orang tersbut tak dapat membangun haknya atas jumlah pangan yang cukup maka ia akan kelaparan.

Adapun dalam kasus lain, tiadanya kebebasan disebabkan oleh tiadanya fasilitas pendidikan yang tidak memadai, tidak adanya lembaga keamanan, ketertiban, hukum yang efektif dan terorganisasi. 

Kebebasan perempuan pun dibatasi padahal wanita juga memiliki kebebasan untuk mengurangi kemiskinan absolut maupun relatif dengan cara mencari nafkah diluar rumah.

Dalam hal lainnya pula, tiadanya kebebasan disebabkan oleh pemerintah yang otoriter yang menyebabkan hilangnya hak politik dan sipil. Penolakan tersebut biasanya didasari oleh beberapa argument, yaitu pertama adanya klaim bahwa kebebasan dan hak politik dapat menghambat pembangunan ekonomi Negara tersebut, kedua pemerintah otoriter beranggapan bahwa jika orang miskin diberikan pilihan antara kebebasan politik dan ekonomi maka mereka akan memilih opsi yang kedua, ketiga lebih cenderung pada kebijakan otoriter yang menyatakan bahwa kebebasan politik dan demokrasi itu "konsep barat' yang tidak sesuai dengan "nilai Asia" yang lebih mementingkan disiplin diri dan sosial daripada kebebasan politik.

Menghubungkan antara demokrasi dengan bencana kelaparan dapat mudah dicari. Di Negara yang menganut ideologi non-demokratis para pemimpinnya tak mengalami bencana kelaparan seperti yang dialami rakyatnya karena dinegara ini tidak ada pemilihan bebas, partai oposisi dan juga pers yang dibatasi sehingga sulit untuk mempublikasikan sesuatu yang mempermalukan pemerintah seperti fakta bahwa berjuta-juta rakyat mati kelaparan tapi tidak pernah membunuh penguasanya. 

Berbanding terbalik dengan Negara yang menganut ideologi demokratis yang memungkinkan semua orang mengalami bencana kelaparan dan itu juga berlaku untuk pemimpim Negara. Sehingga ancaman ini telah memberikan peringatan kepada politik tentang bencana kelaparan.

Analisis Profesor Amartya Sen tentang pembangunan memandang kebebasan individu sebagai blok dasar, karena itulah pembangunan harus dipandang sebagai usaha untuk memperluas kebebasan substantif atau kemampuan manusia. 

Perspektif "kemampuan manusia" ini dalam batas tertentu terkait dengan perspektif "modal manusia". Perspektif "modal manusia" diartikan lebih sempit karena hanya berfokus pada upaya manusia dalam produksinya atau bagaimana cara manusia dapat lebih produktif agar dapat berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi. 

Berbeda dengan pandangan Profesor Amartya Sen tentang "kemampuan manusia" secara lebih luas yang memfokuskan pada kemampuan atau kebebasan substantif semua orang agar membuat hidupnya menjadi idaman dan dapat meningkatkan pilihan yang nyata. Hal ini relevan dan berujuk pada pendekatan pembangunan sebagaimana dibahas oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nation dan The Theory of Moral Sentiments.

Relevansi pandangan Profesor Amartya Sen bagi Indonesia yang dimana peran penting pembangunan Negara ada pada tahun 1966-1997 yang notabene adalah rezim orde baru yang otoriter memberikan pendapat tentang pandangan beliau sebagai idealis dan naif. 

Sebenarnya pandangan antidemokratis itu yang bersebrangan dengan pandangan Profesor Amartya Sen, dengan bukti yang sangat terbatas. Akan tetapi ini membuat para pemimpin berpikir bahwa jalan satu-satunya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah dengan mencapai pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan yang otoriter.

Ketika kehidupan ekonomi berjalan dengan mulus pandangan Profesor Amartya Sen tentang "peranan produktif demokrasi" dapat diabaikan. Hingga puncaknya pada tahun 1997/98 krisis keuangan menimpa beberapa Negara di Asia Timur dan Asia tenggara, termasuk Indonesia yang paling parah mengalami krisis politik, sosial dan ekonomi yang mendalam. 

Dengan pemerintahan otoriter ditangan presiden Soeharto serta banyaknya kegagalan dalam pengambilan keputusan oleh presiden yang hanya memikirkan keluaganya sendiri yang akhirnya dipaksa turun dari jabatannya pada Maret 1998. 

Jadi, kebebasan politik memang unsur paling penting bangsa-bangsa untuk dapat menempuh hidup yang dikehendaki. Tapi bukan hanya itu adalagi yang harus diperhatikan seperti fasilitas ekonomi,peluang sosial, transparansi, jaminan perlindungan dan juga kesetaraan peluang sosial dalam kehidupan sosial. 

Kebanyakan diskusi mengenai "Asset Distribution" hanya terpusat pada retribusi moneter dan fisik bukan kepada keterampilan manusianya,  membangun sumber daya manusia dengan kualitas pendidikan yang sama rata bagi semua orang tanpa mempermasalhkan distribusi fasilitas pendidikan yang tidak rata. Dengan segala upaya kebebasan yang dapat mereka miliki akan membimbing mereka kedalam kehidupan yang mereka idam-idamkan.

Referensi Bacaan 

Sunaryo. 2017. Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun