Mohon tunggu...
Selvi Dwi Septiarini
Selvi Dwi Septiarini Mohon Tunggu... Freelancer - -

Menulis bukan hanya pekerjaan, melainkan kesempatan untuk mengasah cara berfikir dan menuangkannya ke dalam sebuah artiel yang relevan dan mudah dipahami publik. Setiap artikel adalah refleksi dedikasi saya untuk menyajikan informasi dengan cara yang informatif dan menarik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Ruang Sidang ke Jalanan: Menilik Keputusan Mahkamah Konstitusi

24 Agustus 2024   16:55 Diperbarui: 24 Agustus 2024   16:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia tengah menghadapi pergolakan sosial-politik yang tak terelakkan, bagaimana tidak pasalnya Kamis, 22 Agustus 2024 di berbagai penjuru nusantara, massa bergerak secara kolektif dalam bentuk aksi demonstrasi. Mereka tak hanya berkumpul sebagai simbol perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan juga sebagai manifestasi kekecewaan yang mendalam terhadap struktur konstitusional yang telah tercabik.

Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai titik strategis nasional. Di Jakarta, aksi protes terpusat di depan Gedung DPR/MPR, sebagai simbol perlawanan terhadap legislatif yang dianggap mengkhianati amanat rakyat. Sementara itu, gelombang massa di Surabaya dan Medan turun ke jalan-jalan utama, menuntut keadilan dan menandakan kegelisahan publik yang tak terbendung. Tak hanya itu, kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, dan Makassar juga turut berpartisipasi dalam aksi protes, menunjukkan bahwa sentimen ketidakpuasan meluas di seluruh penjuru tanah air.

Para demonstran mempersoalkan suara konstitusional yang dianggap melindungi kepentingan elite politik tertentu, sebuah narasi yang telah lama menghantui perjalanan tanah air tercinta. Di ranah yuridis, pertentangan dengan putusan MK dipandang sebagai ancaman serius terhadap supremasi hukum, di mana prinsip kedaulatan hukum seharusnya menjadi fondasi tak tergoyahkan.

Sebagian pihak mungkin belum sepenuhnya memahami mengapa berbagai lapisan masyarakat memandang keputusan MK sebagai langkah yang kurang tepat. Oleh karena itu, mari kita telisik lebih jauh bagaimana putusan MK ini memengaruhi dinamika sosial politik serta menyulut gelombang ketidakpuasan yang kian mencuat di masyarakat.

Dua isu utama yang menjadi sorotan dalam polemik ini adalah:

1. Ambang batas pencalonan (threshold) kepala daerah.

2. Batas usia minimal pencalonan kepala daerah.

Kedua isu ini tidak hanya memengaruhi arah politik bangsa, tetapi juga berdampak signifikan pada pemilihan Gubernur Jakarta, yang notabene menjadi pusat perhatian nasional. Jakarta sering kali menjadi barometer politik di Indonesia, sehingga apapun yang terjadi di ibu kota, baik dalam proses maupun hasil pemilihan, akan memberi dampak besar.

Sebelum kita membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial, kita perlu terlebih dahulu mengacu pada beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yaitu:

1. Pasal 40 mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah, yang menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau memperoleh 25% dari akumulasi suara sah pada pemilu legislatif terakhir.

2. Pasal 7 menetapkan batas usia minimal bagi calon kepala daerah, yaitu paling rendah 30 tahun.

Namun, bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, MK secara mengejutkan mengeluarkan dua putusan yang memicu kontroversi besar:

1. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024

Putusan ini membuka jalan bagi setiap partai politik untuk mengusulkan calonnya sendiri dalam Pilkada, meskipun partai tersebut tidak memiliki kursi di DPRD. Langkah ini memicu perdebatan serius di berbagai kalangan karena dianggap dapat merusak tatanan demokrasi. Partai-partai tanpa dukungan legislatif yang cukup kuat bisa saja memanfaatkan kebijakan ini untuk meloloskan calon yang tidak memiliki legitimasi kuat di mata rakyat.

2. Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024

Menetapkan bahwa usia pencalonan seorang kepala daerah dihitung pada saat ditetapkan sebagai calon, bukan saat pelantikan. Keputusan ini membuka celah bagi calon yang sebenarnya belum memenuhi persyaratan usia minimal pada saat pencalonan, yang dapat menimbulkan polemik terkait konsistensi dalam menegakkan aturan yang seharusnya dirumuskan dengan cermat dan dijalankan dengan integritas.

Kedua poin inilah yang dianggap bertentangan dengan prinsip fundamental demokrasi Indonesia. Kondisi ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat yang ingin mengembalikan marwah demokrasi substantif serta menjaga integritas hukum agar tetap menjadi pilar utama dalam tata kelola negara. Ketidakpuasan ini mencerminkan keresahan publik terhadap adanya potensi distorsi dalam proses politik, yang seharusnya berlandaskan pada aspirasi murni rakyat, bukan sekadar kepentingan elit semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun