[caption caption="sejumlah jejaring sosial yang saya punya | dokpri"][/caption]Siapa yang mengenal penggalan kalimat “What’s on your mind?” dan “What’s happening?”, pasti juga akrab sama sejumlah aplikasi seperti Whatsapp, Google, Youtube, dan banyak lagi lainnya. Ok, tidak perlu pernah menggunakannya, tetapi paling tidak, tahu dan mendengar. Saya sendiri menyebutkan sejumlah perusahaan asing penyedia aplikasi melalui jaringan internet tersebut di atas, lantaran pernah dan untuk beberapa aplikasi cukup aktif menggunakannya. Masalah masih banyak aplikasi lain yang sejenis, beribu maaf saya ungkapkan dalam hati lantaran saya tidak cukup ‘pengalaman’ untuk jadi ‘anak-dengan-teknologi-terkini’.
Pertanyaan saya selanjutnya, sebagai pengguna berbagai aplikasi tersebut tahu gak kalau mereka tidak memiliki atau belum menjadi badan usaha tetap di Indonesia? Lalu persoalannya apa sih, pake ada penyebutan badan usaha tetap segala. Nah beberapa bulan lalu mulai mencuat kabar ke permukaan (atau sebenarnya jangan-jangan sudah pernah dibahas pihak internal terkait ya sebelum muncul) kalau sejumlah perusahaan seperti Google, Facebook, Whatsapp, dan Twitter tidak menjadi badan usaha tetap di Indonesia maka mereka bisa saja diblokir. Aturan pemblokiran ini nantinya dijalankan pemerintah melalui kewenangan yang dimiliki Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Berita yang tidak menggembirakan bagi generasi jejaring sosial seperti saya, kamu, dan dia kan tentunya. Ooh iya, menjadi masalah juga buat generasi papi dan mami saya, yang sejak 2 atau 3 tahun sekali akrab dengan yang namanya internet. Kalau mereka semua diblokir bagaimana dengan keeksis-an diri pribadi ini di jejaring sosial, masa nanti gak bisa posting foto narsis atau pamer check-in lagi liburan di Maldives (padahal saya mah boro-boro sampai Maldives, keliling Indonesia aja belum kelar). Kewajiban sejumlah perusahaan membuka badan usaha tetap di Indonesia itu, disampaikan oleh Menkominfo Rudi Antara, agar mereka memiliki ijin legalitas untuk beroperasi di Indonesia dan tunduk kepada undang-undang yang berlaku.
Lalu apa sih kewajiban mereka sebagai badan usaha tetap di Indonesia. Nah diantaranya memiliki kantor, ada karyawannya di indonesia, dan benang merah dari semua itu adalah pembayaran pajak. Pajak, lagi-lagi pajak, semua untuk pajak. Pokoknya semua karena pajak dan pajak. Eitss, pasti pada mulai bertanya-tanya, dan pikiran menggelayut kayak lagi mikirin gebetan yang gak kunjung bales Bbm, Whatsapp, atau FB messenger. Sekedar catatan Google dan Facebook memang sudah memiliki kantor perwakilan di Indonesia, namun belum berbentuk badan usaha tetap.
Tak melulu sekedar pajak, pemerintah ternyata ingin memberlakukan aturan ini dengan alasan supaya mereka bisa bekerjasama untuk melindungi data pribadi konsumen. Jawaban atas segala pertanyaan saya terkait pajak ini terjawab, saat saya berkesempatan mewawancarai Daniel Tumiwa – Ketua Indonesia E-Commerce Association, akhir februari lalu. “Kami pun sebagai pengiklan yang cukup besar di industri e-commerce, yang beriklan menggunakan facebook ataupun google, makin hari juga makin memikirkan kami seharusnya juga membayar pajak”, ujar Daniel Tumiwa lebih lanjut saat menjelaskan bahwa aturan yang diterapkan pemerintah ini sebenarnya merupakan alasan yang wajar dan baik.
Tidak salah pemerintah menginginkan aturan itu, lantaran dengan jumlah penduduk yang cukup banyak dan ‘pangsa pasar’ menjanjikan bagi sejumlah perusahaan besar itu, mereka yang mau memasang iklan juga banjir. Nilai pajak dari kegiatan di dunia maya inilah yang diincar oleh pemerintah Indonesia.
Masih menurut Daniel Tumiwa, pengiklan itu juga diuntungkan namun karena belum ada framework yang mengatur hal itu, banyak devisa negara yang hilang dan tidak bisa ditagih akibat pemasangan iklan yang menghasilkan bagi perusahaan. Nah bener juga sih, iklan belanja online yang suka tiba-tiba muncul pas lagi surfing, produk kecantikan, tiket penerbangan, kereta, dst dst kan banyak banget tuh, dan uang yang bergerak di perputaran pemasangan iklan itu pasti gak sedikit. Kebayang kan potensi pajaknya?
Analisis lainnya muncul bahkan dari seorang tukang makan dan jalan-jalan kayak saya ini, mereka kan bergerak di dunia maya trus buat apa donk kantor fisik di Indonesia? Awalnya sih mikir pendek gitu, tapi setelah lebih jauh dan panjang sehingga semakin mumet muter otak, mungkin hal seperti itu (terkait pajak maupun perlindungan data konsumen) juga yang membuat pemerintah tiongkok lebih dahulu mengambil langkah seperti yang diinginkan pemerintah Indonesia. Pemerintah tiongkok berhasil ‘melindungi’ negara dan wilayahnya dari serbuan perusahaan asing, dan hebatnya lagi berhasil dengan luar biasa mengembangkan konten buatan lokal untuk digunakan warganya. Sebut saja weibo mikroblogging yang serupa dengan twitter, QQ yang serupa dengan facebook, atau We Chat yang 11 – 12 dengan Whatsapp.
Sebagai perusahaan yang bergerak di dunia maya, menurut seorang mantan pemred portal berita teknologi Jeruknipis dot com, Chandra Wirawan, mungkin wajar saja kalau mereka tidak memiliki badan usaha tetap di negara di mana mereka beroperasi. Nah tapi potensi bisnis pangsa pasar di Indonesia kan besar, jadi pemerintah memang wajib melindungi masyarakat. Nah masalahnya pemerintah berani gak melakukan pemblokiran atau siap gak kita beralih dari semua hal yang populer itu. Menjawab pertanyaan saya mas Cawir dengan optimis menjawab singkat, “sebenarnya banyak start-up atau developer lokal yang punya kemampuan hebat kok, cuma kurang mendapat dukungan aja”. Optimis, dan tidak meremehkan! saya suka jawabannya.
Tiongkok sendiri kan melakukan pemblokiran secara terencana dan sistematis, seandainya hal yang sama terjadi di Indonesia, pemblokiran akan terjadi lantaran dorongan komersil, kedaulatan, serta kesetaraan. Well, kalau harus ada yang bayar pajak karena berbisnis atau memasang iklan secara online di situs-situs luar, kenapa hal yang sama gak bisa diterapkan di Indonesia dengan semua perusahaan canggih dengan nilai entah berapa miliar dolar amerika itu.
Nah, nah, yang lebih keren lagi Daniel Tumiwa juga setidaknya senada optimisnya. “Dorongan ekonomis ini menjadi trigger untuk harus menutup, ini peluang besar untuk start-up indonesia untuk mengambil kesempatan ini”, saat ditanya bagaimana nantinya apabila ada penutupan. Duuuh, SDM kita itu siap bangetttt, banyak kok bakat-bakat hebat, entepreuners dalam negeri itu gak kalah hebat. Yang penting cuma faktor pendukung, seperti pendanaan, pengguna yang konsisten dan banyak.
Aaahhhh tapi kita-kita generasi jejaring sosial ini gak perlu ragu dan khawatir (imso; in my sotoy opinion), pemerintah kayaknya belum cukup berani deh mengambil langkah extreme. So, update status lagi jalan-jalan, posting dan pamer foto makanan, show-off abis belanja, atau sekedar hang-out demi eksis di tempat kekinian masih bisa dilakukan. Tahapan masih panjang untuk sampai ke tahap pemblokiran. Diplomasi, diskusi, eksekusi, dan si – si yang lainnya yang siap berjejer. Selain faktor banyak juga yang sudah memanfaatkan jasa mereka-mereka ini, untuk berbagai kepentingan oleh berbagai pihak di Indonesia ya.
Narasumber terakhir saya terkait topik ini adalah Donny Budi Utoyo (bisa ngintip atau follow twitter @donnybu ,dan saya wawancara by phone pada 28 maret lalu), yang mengungkapkan kalau penutupan itu memang menjadi opsi terakhir (meski memang dimungkinkan). Ya kalau kaitannya lagi-lagi terkait pajak dan perlindungan data konsumen, masih on the track kok. Semua perusahaan penyedia jasa aplikasi itu kan berjalan di infrastruktur yang sudah ada, dan lantaran berbisnis mereka mempunyai penghasilan.
To be short, mereka berbisnis, mendapat penghasilan, tapi ‘kewajiban’ lebih sedikit dari pemain asli Indonesia. “Perlu ada upaya supaya pemain Indonesia ini memiliki kesempatan dan kesetaraan dengan pemain global”, dijelaskan lebih lanjut oleh Donny Budi Utoyo tentang perlu apa tidaknya perusahaan asing ini mendirikan badan usaha tetap.
Namun mungkin gak gampang memenuhi sejumlah aturan guna mendirikan badan usaha tetap di Indonesia, lantaran apabila pemerintah Indonesia sudah berhasil “memaksa” mereka demikian, tidak menutup kemungkinan negara lain akan mengikuti langkah serupa pemerintah Indonesia. Duuuhhhh, ribet, rumit, dan kusut rasanya kalau saya mau menelaah lebih lanjut. To be simple, kalau ada pajak berarti penghasilan perusahaan itu berkurang, beban pajaknya ditanggung sama konsumen seperti pajak-pajak lainnya yang mulai diterapkan pemerintah Indonesia ke warga negara remah-rempeyek seperti saya. Huhuhu, udah urusan hati rumit, seharusnya warga negara kayak aku, kamu, dia, dan kalian ini jangan dipersulit lagi masalah pajak, serta ke-eksis-an di jejaring sosial ya.
Hasil rangkuman wawancara dengan Donny Budi Utoyo, terlampir dengan link dari blog probadi saya. Monggo didengarkan untuk informasi lain serupa seperti di tulisan ini. Hasil ngobrol dan nodong waktu narasumber ini, pokoknya membuka wawasan saya. *kedip mata genit*. Ada apa dengan kamu.
Ps : Hasil wawancara saya by phone terkait topik ini ada sejumlah narasumber, setelah cap cip cup, dan berdasarkan suara saya yang paling bagus (renyah kayak kerupuk di dalam kaleng), saya lampirkan hasil dengan Donny Budi Utoyo. Simple, padat, jelas, untuk mau sekedar tahu “Ada Apa Dengan Kamu, wahai Facebook, Google, Twitter, dan Whatsapp”. Sebenarnya wawancara dengan Daniel Tumiwa juga bagus sih, tapi belum sempat take VO ulang sayanya. Hihihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H