Mohon tunggu...
Selvia
Selvia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kesehatan Masyarakat FK ULM

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Budaya Papahan Masyarakat Desa terhadap Kesehatan Bayi

21 Oktober 2021   08:12 Diperbarui: 30 Oktober 2021   14:25 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewi Firani/2010912220004

Lathifah Nurul 'Aini/2010912220010

Selvia/2010912120019   

          Tradisi makanan papahan atau nasi papah adalah tradisi memberikan balita nasi yang telah dikunyah dan dilumatkan terlebih dahulu. Dari segi kesehatan terutama kesehatan mulut, hal ini berisiko terhadap terjadinya early childhood caries (ECC). Perilaku tersebut dapat menyebabkan transmisi mikroorganisme S. mutans dari mulut ibu ke mulut anak, bahkan pada beberapa artikel disebutkan ada yang menyimpan nasi papah ini untuk diberikan dalam beberapa hari ke depan. Pemberian makanan papah dapat menjadi media penyebaran penyakit antara ibu dengan bayi, dimana jika seorang ibu menderita penyakit-penyakit infeksi menular tertentu yang berhubungan dengan gigi dan mulut serta pernapasan, maka akan sangat mudah untuk ditularkan pada bayinya misalnya penyakit ISPA dan diare. Kebiasaan masyarakat dalam makanan papahan memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan anak, hal ini dapat meningkatkan risiko anak terkena penyakit infeksi. Kebiasaan yang tidak baik ini bisa menjadi faktor risiko munculnya masalah gizi sehingga mengakibatkan tingginya prevalensi diare di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian diare pada anak di daerah tersebut. dengan mengendalikan faktor risiko lain (1, 2).

            Cara pemberian makanan pada balita sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi budaya di suatu daerah tertentu diantaranya adalah tradisi nasi papah atau seringkali juga disebut nasi papak yang masih banyak dilakukan oleh para ibu di beberapa wilayah di Indonesia, diantaranya di Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tujuan dari tradisi makanan papahan ini disebutkan sebagai bentuk kearifan lokal yang menjelaskan hubungan kasih sayang antara ibu dengan bayi untuk membantu bayinya makan. Para ibu di daerah Lombok Timur ini menganggap bahwa pemberian nasi papah ini aman dan tidak akan menimbulkan masalah bagi kesehatan bayi, tradisi ini merupakan ekspresi kasih sayang antara ibu dengan bayinya, karena adanya kontak air liur (saliva) antara ibu dengan anak, yang dipercaya akan mempererat hubungan antara ibu dengan anak. Dilihat dari kandungan gizinya, nasi papah sudah tidak baik karena makanan sudah dilumatkan dulu oleh ibu sehingga nutrisi yang terkandung sudah hilang, sehingga dapat dikatakan si bayi hanya memakan sisa atau ampas makanan yang sudah sangat berkurang kandungan gizi nya (1).

            Di Kabupaten Tapanuli Utara, dijumpai kasus gastroenteritis yang menyebabkan diare pada bayi usia 0-1 tahun. Adanya praktik pemberian makan yang tidak baik pada bayi dapat menyebabkan timbulnya penyakit yang dialami bayi. Perilaku mengunyah makanan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada bayi tersebut dipengaruhi oleh budaya turun temurun dan kebiasaan masyarakat setempat. Budaya tersebut yaitu apabila ibu dari bayi masih tinggal satu rumah dengan mertua atau otang tua, maka praktik ini sering dilakukan. Kebiasaan tersebut dipengaruhi oleh filosofi budaya setempat yang beranggapan bahwa tokoh sentral dalam keluarga adalah ibu yang memiliki tugas yaitu parmeme (mengunyahkan makanan) untuk diberikan kepada anak kecil atau bayi. Hasil wawancara pada empat ibu yang mempunyai    bayi    usia    0-6    bulan, ibu mengatakan   mulai   memberikan   makanan pada bayinya seperti pisang dikerok, bubur beras, dan makanan papahan yang dikunyah oleh ibu, sejak   umur   1   bulan.   Hal tersebut dilakukan karena ibu merasa bayi akan kekurangan   gizi   jika hanya diberikan   ASI.  Sebagian   ibu juga mengatakan bahwa setelah diberikan MP ASI kurang dari usia 6 bulan bayinya sering   mengalami   diare, sembelit, dan muntah (3, 4).

            Di Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya di Kabupaten Lombok Timur juga masih terdapat kebiasaan yang menjadi budaya masyarakat yaitu memberikan makanan prelaktel (pemberian makanan pada neonates sebelum ASI keluar) dan makanan papahan terhadap bayi. Kebiasaan masyarakat dalam memberikan makanan prelaktal dan makanan papahan dapat mengakibatkan dampak bagi kesehatan anak bahkan dapat meningkatkan risiko anak terkena penyakit infeksi dan bisa menjadi faktor risiko yang dapat mengakibatkan tingginya prevalensi stunting di Nusa Tenggara Barat. Banyak faktor yang mendasari kebiasaan budaya papahan di Kabupaten Tapanuli Utara, diantaranya yaitu budaya yang sudah turun temurun dari orang tua, lingkungan, pengetahuan yang rendah, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan, dan sosial ekonomi. Tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi pola asuh dan pemberian makan pada anaknya. Pada ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih jarang memberikan makanan papahan pada anaknya (3, 5).              

            Makanan yang bersih dan higienis adalah syarat makanan sehat dan layak dikonsumsi.  Bayi termasuk masa rawan dimana tubuh belum mampu menghasilkan antibodi secara sempurna dan usus belum mampu mencerna seperti orang dewasa. Dengan mengkonsumsi makanan yang terlebih dahulu dikunyah oleh ibu akan berpotensi menambah bakteri yang tidak baik pada makanan yang akan diberikan kepada bayi. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi kesehatan mulut dan gigi ibu. Bayi mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri akan meningkatkan risiko gangguan pada saluran cerna sehingga berpotensi terkena penyakit Gastroenteritis pada bayi.  Penelitian Begum (2014) di Afrika Selatan tahun 2001 dalam Siahaan, dkk (2019) menemukan bahwa lebih dari dua pertiga ibu dan pengasuh yang mengunyahkan makanan untuk bayi mereka menyebabkan bayi berisiko tertular HIV jika ibu atau pengasuhnya juga HIV positif. Dalam penelitian terungkap, para ibu atau pengasuh yang sedang menderita masalah gusi berdarah dan sariawan juga menyebabkan adanya darah yang terbawa pada makanan yang dikunyahkan terlebih dahulu sehingga menjadi jalan penularan, apalagi jika anak sedang dalam fase tumbuh gigi atau ada luka di mulutnya (3).  

             Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Lombok Timur, masih terdapat kebiasaan yang kurang baik dan menjadi budaya masyarakat sekitar yaitu memberikan makanan papahan terhadap bayi. Pemberian makanan papah dapat menjadi media penyebaran penyakit antara ibu dengan bayi. Jika seorang ibu menderita penyakit-penyakit infeksi menular tertentu yang berhubungan dengan gigi dan mulut serta pernapasan maka akan sangat mudah untuk ditularkan pada bayinya misalnya penyakit ISPA dan diare. Kebiasaan masyarakat dalam makanan papahan memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan anak, hal ini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi. Kebiasaan yang tidak baik ini bisa menjadi faktor risiko munculnya masalah gizi (2, 5).

            Perbaikan praktik pemberian makan bayi menjadi baik diharapkan dapat menurunkan angka kejadian penyakit pada bayi yang disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang salah. Ibu yang memiliki bayi disarankan agar merubah praktik pemberian makan papahan melalui pemberian ASI Eksklusif, kolostrum kepada bayi, berperilaku hidup bersih, membawa bayi untuk diimunisasi segera setelah lahir dan melengkapi perolehan imunisasi bayi sebelum berumur satu tahun. Tenaga Kesehatan hendaknya melakukan pendekatan kepada masyarakat yang kental akan budaya papahahan tersebut secara berkesinambungan sehingga terbentuk pemahaman dan kesadaran dalam masyarakat mengenai dampak dari pemberian makanan papahan terhadap Kesehatan bayi mereka. Selain itu, tenaga Kesehatan agar lebih meningkatkan promosi Kesehatan dan penyuluhan kesehatan tentang bahaya makanan papah terhadap Kesehatan bayi dan pemberian makanan pendamping ASI yang baik dan benar sesuai dengan kubutuhan gizi kepada ibu yang memiliki bayi, perlunya imunisasi dan ASI Eksklusif melalui kunjungan rumah setiap bulannya atau kegiatan penyuluhan rutin oleh tenaga Kesehatan setempat sehingga bayi terhindar dari berbagai macam penyakit infeksi (3).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun