Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, teman sejak kecil Srintil yang berprofesi sebagai tentara. Dukuh Paruk merupakan latar yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Novel ini penuh dengan gejolak politik yang mengangkat latar waktu pada tahun 1960-an. Pada penerbitan pertama, novel ini terdiri atas tiga buku (trilogi), yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel ini telah diadaptasi ke dalam film Darah dan Mahkota Ronggeng pada tahun 1983 dan Sang Penari pada tahun 2011. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk terdapat beberapa tradisi Jawa yang dilakukan oleh ronggeng, salah satunya adalah tradisi bukak-klambu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya Ahmad Tohari yang diterbitkan pada tahun 1982. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antaraTradisi adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama dan cenderung terjadi secara tidak sadar. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus-menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya. Nilai religius adalah nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu akidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan.
Ronggeng adalah sebuah tarian tradisional khas Jawa yang diiringi dengan musik dari rebab atau biola dan gong, dengan penari utamanya perempuan. Penari dilengkapi dengan selendang yang dikenakan di leher sebagai perlengkapan dalam menari. Seperti yang tertulis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1) ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak, yaitu penari perempuan yang diiringi gamelan; meronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.
Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berperan sebagai ronggeng bernama Srintil. Srintil adalah seorang yatim piatu yang ditinggal oleh kedua orang tuanya pada usia lima bulan karena meninggal dunia setelah memakan tempe bongkrek yang dibuat oleh orang tua srintil. Lalu, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya, Sakarya dan Nyai Sakarya. Ketika Srintil berusia sebelas tahun, kakeknya mendapati bahwa Srintil memiliki sebuah anugerah, yaitu bakat supranatural (indang) untuk menjadi ronggeng. Srintil diresmikan sebagai ronggeng di dukuh tersebut dengan tata cara tradisional.
Srintil digambarkan sebagai seorang gadis yang bercambang halus di pipi, berambut hitam pekat, kulitnya bersih, dan berlesung pipi. Gambaran Srintil yang seperti ini menegaskan bahwa Srintil adalah seorang gadis yang cantik, baik untuk ukuran Dukuh Paruk maupun luar Dukuh Paruk. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
- ".... Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan....".
Srintil juga digambarkan sebagai ronggeng Dukuh Paruk yang sangat menggoda. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut:
- "Kalian minta upah apa?" ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium pipi. Warta dan Darsun masing-masing mendapat giliran kemudian....Kali ini mereka yang berebut mencium pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana laiknya seorang ronggeng...."
Kutipan tersebut menggambarkan karakter Srintil yang menggoda, baik sebelum menjadi ronggeng maupun sesudah menjadi ronggeng. Sifat menggoda sangat wajar dimiliki Srintil karena seorang ronggeng memang gerak-geriknya selalu dilihat dan dinilai masyarakat, sehingga ia jarang lepas dari pembicaraan ke mana pun Srintil pergi.
Seorang Ronggeng, yaitu Srintil, harus melayani Hasrat seksual lelaki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, Srintil harus melalui persyaratan ritual, yakni melalui tahapan ritual bukak-klambu. Bukak-klambu adalah upacara adat dalam bentuk sayembara diperuntukkan bagi para lelaki yang ingin menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayembara ini harus memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki tersebut berhak menikmati virginitas atau keperawanan seorang perempuan yang masih suci.
Dalam hal ini, ritual adat bukak-klambu yang sudah turun-temurun dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Dukuh Paruk, justru bertentangan dengan nilai-nilai religius, yaitu tentang keadilan, kesucian dan kehormatan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Bagi masyarakat Dukuh Paruk, ritual adat bukak-klambu sudah menjadi suatu hal yang wajar dan bahkan terhormat dalam konteks tradisi mereka, karena masyarakatnya masih jauh dari pengetahuan agama. Mereka lebih mendominasi nilai-nilai adat tanpa mendasari adat tersebut dengan norma agama dan moral.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, terdapat kutipan yang bertentangan dengan nilai religius, yaitu keadilan yang tidak didapatkan oleh Srintil. Salah satu kutipan yang mencerminkan hal ini adalah:
- "Srintil bukan lagi seorang anak manusia yang bebas menentukan jalan hidupnya. Dia telah menjadi milik masyarakat Dukuh Paruk, milik orang banyak, milik lelaki."
Kutipan tersebut tidak mencerminkan keadilan dalam kehidupan Srintil. Ia tidak memiliki kendali atas tubuh dan hidupnya, karena menjadi ronggeng pun bukan sepenuhnya keinginan dari Srintil. Ia hanya terjebak dalam situasi tekanan tradisi, masyarakat, dan rasa bersalah karena masa lalu keluarganya. Walaupun awalnya Srintil memandang ronggeng sebagai kehormatan yang akan diakui oleh masyarakat sekitar, seiring berjalannya waktu, Srintil merasa bahwa profesi ronggeng bukanlah hal yang terhormat, melainkan sesuatu yang dipandang rendah dan membawa lebih banyak penderitaan. Namun, Srintil harus menerima semua konsekuensi menjadi seorang ronggeng karena, menurut keyakinan tradisi adat masyarakat Dukuh Paruk, jika seorang perempuan sudah ditakdirkan dan memilih untuk menjadi ronggeng, sulit bagi orang tersebut untuk melepaskan profesi yang sudah melekat dalam dirinya.
Keadilan yang tidak didapatkan Srintil juga terlihat dari pandangan dan sifat masyarakat Dukuh Paruk yang lebih mementingkan tradisi ronggeng daripada menghormati martabat Srintil sebagai seorang perempuan. Srintil sudah kehilangan hak untuk hidup bebas dan menentukan nasib sendiri, yang menunjukkan adanya deskriminasi. Tubuhnya sering dieksploitasi untuk memenuhi tuntutan adat dalam tradisi bukak-klambu, sehingga Srintil terpaksa dan dipaksa menyerahkan keperawanannya kepada lelaki yang membelinya dengan harga yang tinggi.
Jika dikaitkan dengan  HAM (Hak Asasi Manusia), peristiwa yang dialami oleh Srintil termasuk pelanggaran HAM, karena Srintil berhak atas hidup dan kebebasannya. Namun, karena tuntutan adat tersebut, Srintil kehilangan haknya sebagai manusia biasa, yang menunjukkan adanya diskriminatif. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 24 ayat (1):
- "Setiap orang berhak untuk bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun dan berhak memperoleh perlindungan dari tindakan diskriminatif."
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil kehilangan kesucian dan kehormatan karena harus menjalankan profesi sebagai seorang ronggeng. Menurut tradisi adat di Dukuh Paruk, seorang ronggeng bukan hanya berperan sebagai penari, melainkan juga sebagai penghibur yang melayani keinginan laki-laki secara fisik dan menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang membayar dengan harga tertinggi dalam tradisi bukak-klambu. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut:
- "Srintil tahu, malam itu tubuhnya telah menjadi milik lelaki yang menang dalam tradisi buka- klambu. Kehormatannya telah lepas, bukan untuk cinta, tetapi untuk adat yang harus ia patuhi sebagai ronggeng".
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ritual tradisi bukak-klambu membuat Srintil kehilangan kesucian dan kehormatan. Jika dikaitkan dengan nilai religius tentang kesucian dan kehormatan, novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sangat bertentangan dengan tradisi bukak-klambu.
Dalam agama islam, tradisi bukak-klambu tidak dibenarkan, karena perempuan yang memberikan keperawanannya kepada laki-laki yang  bukan suaminya itu dianggap sebagai zina dan menghilangkan kehormatan serta kesucian sebagai seorang perempuan. Kesucian dan kehormatan perempuan dilihat dari seberapa mampu ia menjaga harga diri dan menjaga keperawanannya yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk laki-laki yang menjadi suaminya. Seperti yang dikatakan oleh Al-Ghifari dalam bukunya berjudul Kesucian Wanita (2003), menyatakan bahwa salah satu tanda kekuasaan Allah SWT adalah terciptanya keperawanan terhadap setiap perempuan. Nilai keperawanan teramat agung, bahkan semenjak dulu diakui sebagai simbol perbedaan antara perempuan yang shalehah dan yang kurang shalehah. Keperawanan juga bisa dijadikan sebagai tolak ukur bagi perempuan itu sendiri untuk menilai dirinya. Keperawanan juga dapat berarti kesucian, kejujuran, serta keutuhan moral seorang perempuan. Nilai keperawanan seorang perempuan memiliki keagungan dan bahkan semenjak dahulu diakui sebagai sebuah simbol bahwa kesuciannya masih terjaga serta dapat dijadikan perbedaan antara perempuan yang baik dan buruk akhlaknya. Al-Ghifari, 2003) juga menyebutkan bahwa seorang perempuan yang dapat menjaga keperawanannya disebut sebagai perempuan yang bisa menjaga kesucian dirinya yang dapat membawa nama baik dirinya dan keluarga.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menggambarkan dengan sangat kuat pertentangan antara tradisi lokal dan nilai-nilai religius yang berkembang di masyarakat. Konflik ini tidak hanya mencerminkan pergulatan individu seperti Srintil, tetapi juga dinamika sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Tradisi ronggeng, yang menjadi simbol kebebasan dan identitas budaya, berbenturan dengan norma religius yang mengutamakan moralitas dan kesucian. Tohari tidak hanya menghadirkan kritik sosial, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya dialog dan harmoni antara tradisi dan agama. Pada akhirnya, novel ini mengingatkan kita bahwa memahami perbedaan adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan saling menghormati. Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk seperti sebuah filosofi: "sesuatu yang harus dikandung dalam jiwa harus dikeluarkan, karena kekayaan kelahiran sastra yang merupakan sesuatu yang alami dan dialektis." Novel ini ditulis atas nama pertanggungjawaban moral Ahmad Tohari sebagai pengarang terhadap peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1965. Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami oleh pengalaman-pengalaman sendiri yang merupakan hasil pembacaan lahir batin atas lingkungan yang kemudian diperkaya dengan idealisme dan komitmen kemanusiaan. Penulisan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memerlukan waktu beberapa tahun. Boleh jadi karena novel ini harus mengungkapkan sesuatu yang amat serius sehingga memerlukan waktu, tenaga, dan pemikiran yang lebih banyak serta harus sekian kali ditulis ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H