Keadilan yang tidak didapatkan Srintil juga terlihat dari pandangan dan sifat masyarakat Dukuh Paruk yang lebih mementingkan tradisi ronggeng daripada menghormati martabat Srintil sebagai seorang perempuan. Srintil sudah kehilangan hak untuk hidup bebas dan menentukan nasib sendiri, yang menunjukkan adanya deskriminasi. Tubuhnya sering dieksploitasi untuk memenuhi tuntutan adat dalam tradisi bukak-klambu, sehingga Srintil terpaksa dan dipaksa menyerahkan keperawanannya kepada lelaki yang membelinya dengan harga yang tinggi.
Jika dikaitkan dengan  HAM (Hak Asasi Manusia), peristiwa yang dialami oleh Srintil termasuk pelanggaran HAM, karena Srintil berhak atas hidup dan kebebasannya. Namun, karena tuntutan adat tersebut, Srintil kehilangan haknya sebagai manusia biasa, yang menunjukkan adanya diskriminatif. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 24 ayat (1):
- "Setiap orang berhak untuk bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun dan berhak memperoleh perlindungan dari tindakan diskriminatif."
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil kehilangan kesucian dan kehormatan karena harus menjalankan profesi sebagai seorang ronggeng. Menurut tradisi adat di Dukuh Paruk, seorang ronggeng bukan hanya berperan sebagai penari, melainkan juga sebagai penghibur yang melayani keinginan laki-laki secara fisik dan menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang membayar dengan harga tertinggi dalam tradisi bukak-klambu. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut:
- "Srintil tahu, malam itu tubuhnya telah menjadi milik lelaki yang menang dalam tradisi buka- klambu. Kehormatannya telah lepas, bukan untuk cinta, tetapi untuk adat yang harus ia patuhi sebagai ronggeng".
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ritual tradisi bukak-klambu membuat Srintil kehilangan kesucian dan kehormatan. Jika dikaitkan dengan nilai religius tentang kesucian dan kehormatan, novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sangat bertentangan dengan tradisi bukak-klambu.
Dalam agama islam, tradisi bukak-klambu tidak dibenarkan, karena perempuan yang memberikan keperawanannya kepada laki-laki yang  bukan suaminya itu dianggap sebagai zina dan menghilangkan kehormatan serta kesucian sebagai seorang perempuan. Kesucian dan kehormatan perempuan dilihat dari seberapa mampu ia menjaga harga diri dan menjaga keperawanannya yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk laki-laki yang menjadi suaminya. Seperti yang dikatakan oleh Al-Ghifari dalam bukunya berjudul Kesucian Wanita (2003), menyatakan bahwa salah satu tanda kekuasaan Allah SWT adalah terciptanya keperawanan terhadap setiap perempuan. Nilai keperawanan teramat agung, bahkan semenjak dulu diakui sebagai simbol perbedaan antara perempuan yang shalehah dan yang kurang shalehah. Keperawanan juga bisa dijadikan sebagai tolak ukur bagi perempuan itu sendiri untuk menilai dirinya. Keperawanan juga dapat berarti kesucian, kejujuran, serta keutuhan moral seorang perempuan. Nilai keperawanan seorang perempuan memiliki keagungan dan bahkan semenjak dahulu diakui sebagai sebuah simbol bahwa kesuciannya masih terjaga serta dapat dijadikan perbedaan antara perempuan yang baik dan buruk akhlaknya. Al-Ghifari, 2003) juga menyebutkan bahwa seorang perempuan yang dapat menjaga keperawanannya disebut sebagai perempuan yang bisa menjaga kesucian dirinya yang dapat membawa nama baik dirinya dan keluarga.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menggambarkan dengan sangat kuat pertentangan antara tradisi lokal dan nilai-nilai religius yang berkembang di masyarakat. Konflik ini tidak hanya mencerminkan pergulatan individu seperti Srintil, tetapi juga dinamika sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Tradisi ronggeng, yang menjadi simbol kebebasan dan identitas budaya, berbenturan dengan norma religius yang mengutamakan moralitas dan kesucian. Tohari tidak hanya menghadirkan kritik sosial, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya dialog dan harmoni antara tradisi dan agama. Pada akhirnya, novel ini mengingatkan kita bahwa memahami perbedaan adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan saling menghormati. Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk seperti sebuah filosofi: "sesuatu yang harus dikandung dalam jiwa harus dikeluarkan, karena kekayaan kelahiran sastra yang merupakan sesuatu yang alami dan dialektis." Novel ini ditulis atas nama pertanggungjawaban moral Ahmad Tohari sebagai pengarang terhadap peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1965. Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami oleh pengalaman-pengalaman sendiri yang merupakan hasil pembacaan lahir batin atas lingkungan yang kemudian diperkaya dengan idealisme dan komitmen kemanusiaan. Penulisan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memerlukan waktu beberapa tahun. Boleh jadi karena novel ini harus mengungkapkan sesuatu yang amat serius sehingga memerlukan waktu, tenaga, dan pemikiran yang lebih banyak serta harus sekian kali ditulis ulang.
Referensi:
Slamet, Mugi, ‘Hubungan Antara Nilai Keperawanan ( Virginity Value ) Dengan’, Psikoborneo, 4.2 (2016), pp. 292–98
Terhadap, Dan Implikasinya, and Pembelajaran Sastra, ‘Ronggeng Dalam Kebudayaan Banyumas Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari’, 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI