Mohon tunggu...
selsiaulia
selsiaulia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Islam Riau

Saya mempunyai hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pertentangan Tradisi dan Nilai Religius dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

12 Januari 2025   00:27 Diperbarui: 12 Januari 2025   00:32 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari/Sumber.Gramedia.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya Ahmad Tohari yang diterbitkan pada tahun 1982. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, teman sejak kecil Srintil yang berprofesi sebagai tentara. Dukuh Paruk merupakan latar yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Novel ini penuh dengan gejolak politik yang mengangkat latar waktu pada tahun 1960-an. Pada penerbitan pertama, novel ini terdiri atas tiga buku (trilogi), yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel ini telah diadaptasi ke dalam film Darah dan Mahkota Ronggeng pada tahun 1983 dan Sang Penari pada tahun 2011. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk terdapat beberapa tradisi Jawa yang dilakukan oleh ronggeng, salah satunya adalah tradisi bukak-klambu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam.

Tradisi adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama dan cenderung terjadi secara tidak sadar. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus-menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya. Nilai religius adalah nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu akidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan.

Ronggeng adalah sebuah tarian tradisional khas Jawa yang diiringi dengan musik dari rebab atau biola dan gong, dengan penari utamanya perempuan. Penari dilengkapi dengan selendang yang dikenakan di leher sebagai perlengkapan dalam menari. Seperti yang tertulis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1) ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak, yaitu penari perempuan yang diiringi gamelan; meronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.

Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berperan sebagai ronggeng bernama Srintil. Srintil adalah seorang yatim piatu yang ditinggal oleh kedua orang tuanya pada usia lima bulan karena meninggal dunia setelah memakan tempe bongkrek yang dibuat oleh orang tua srintil. Lalu, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya, Sakarya dan Nyai Sakarya. Ketika Srintil berusia sebelas tahun, kakeknya mendapati bahwa Srintil memiliki sebuah anugerah, yaitu bakat supranatural (indang) untuk menjadi ronggeng. Srintil diresmikan sebagai ronggeng di dukuh tersebut dengan tata cara tradisional.

Srintil digambarkan sebagai seorang gadis yang bercambang halus di pipi, berambut hitam pekat, kulitnya bersih, dan berlesung pipi. Gambaran Srintil yang seperti ini menegaskan bahwa Srintil adalah seorang gadis yang cantik, baik untuk ukuran Dukuh Paruk maupun luar Dukuh Paruk. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

  • ".... Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan....".

Srintil juga digambarkan sebagai ronggeng Dukuh Paruk yang sangat menggoda. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut:

  • "Kalian minta upah apa?" ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium pipi. Warta dan Darsun masing-masing mendapat giliran kemudian....Kali ini mereka yang berebut mencium pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana laiknya seorang ronggeng...."

Kutipan tersebut menggambarkan karakter Srintil yang menggoda, baik sebelum menjadi ronggeng maupun sesudah menjadi ronggeng. Sifat menggoda sangat wajar dimiliki Srintil karena seorang ronggeng memang gerak-geriknya selalu dilihat dan dinilai masyarakat, sehingga ia jarang lepas dari pembicaraan ke mana pun Srintil pergi.

Seorang Ronggeng, yaitu Srintil, harus melayani Hasrat seksual lelaki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, Srintil harus melalui persyaratan ritual, yakni melalui tahapan ritual bukak-klambu. Bukak-klambu adalah upacara adat dalam bentuk sayembara diperuntukkan bagi para lelaki yang ingin menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayembara ini harus memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki tersebut berhak menikmati virginitas atau keperawanan seorang perempuan yang masih suci.

Dalam hal ini, ritual adat bukak-klambu yang sudah turun-temurun dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Dukuh Paruk, justru bertentangan dengan nilai-nilai religius, yaitu tentang keadilan, kesucian dan kehormatan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Bagi masyarakat Dukuh Paruk, ritual adat bukak-klambu sudah menjadi suatu hal yang wajar dan bahkan terhormat dalam konteks tradisi mereka, karena masyarakatnya masih jauh dari pengetahuan agama. Mereka lebih mendominasi nilai-nilai adat tanpa mendasari adat tersebut dengan norma agama dan moral.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, terdapat kutipan yang bertentangan dengan nilai religius, yaitu keadilan yang tidak didapatkan oleh Srintil. Salah satu kutipan yang mencerminkan hal ini adalah:

  • "Srintil bukan lagi seorang anak manusia yang bebas menentukan jalan hidupnya. Dia telah menjadi milik masyarakat Dukuh Paruk, milik orang banyak, milik lelaki."

Kutipan tersebut tidak mencerminkan keadilan dalam kehidupan Srintil. Ia tidak memiliki kendali atas tubuh dan hidupnya, karena menjadi ronggeng pun bukan sepenuhnya keinginan dari Srintil. Ia hanya terjebak dalam situasi tekanan tradisi, masyarakat, dan rasa bersalah karena masa lalu keluarganya. Walaupun awalnya Srintil memandang ronggeng sebagai kehormatan yang akan diakui oleh masyarakat sekitar, seiring berjalannya waktu, Srintil merasa bahwa profesi ronggeng bukanlah hal yang terhormat, melainkan sesuatu yang dipandang rendah dan membawa lebih banyak penderitaan. Namun, Srintil harus menerima semua konsekuensi menjadi seorang ronggeng karena, menurut keyakinan tradisi adat masyarakat Dukuh Paruk, jika seorang perempuan sudah ditakdirkan dan memilih untuk menjadi ronggeng, sulit bagi orang tersebut untuk melepaskan profesi yang sudah melekat dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun