Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bolehkah Aku Pinjam Bahumu, Da?

28 Januari 2016   10:09 Diperbarui: 28 Januari 2016   11:14 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vida...

Ini bukan tentang perpisahan yang menyesakkan dada di puluhan tahun yang silam Da. Tapi ini hanyalah kenangan dari kumpulan kisah yang pernah kita sematkan di langit biru kotamu.

27 tahun yang lalu, pertemuan kita dimulai. Usia yang masih sangat muda bagi kita berdua untuk kemudian mengikrarkan janji sebagai sepasang kekasih. Aku yakin tali kasih yang kita tautkan, dicatat dengan indah oleh malaikat meski ada kendala. Ibumu tak menginginkan aku, pun keluargaku tidak begitu suka padamu. 

Tapi aku abaikan semua itu, aku terlalu mencintaimu, memujamu, dan mengharapkan kamulah lelaki yang kelak akan menjadi ayah bagi anak-anakku. Aku sangat terpesona dengan keindahan matamu, dan segala yang ada padamu.

Vida...

Ingatkah kamu, saat kita berdua menyenandungkan lagu-lagu cinta di rerimbun kebun karet?. Ingatkah kau saat kita berdua menikmati malam dengan petikan gitarmu di rumah yang kelak akan kau persembahkan untukku?. Ah manis sekali kenangan kita ya Da?. 

Mungkinkah kau mengingatnya untukku saat ini Da?. Atau kau masih saja sibuk menghitung dosa-dosa kesalahanku di masa lalu? Da..kalau boleh aku pesan, itu akan semakin menyakitimu.

Da... 26 tahun yang lalu, aku memang bersalah padamu. Aku meninggalkan kamu tanpa pesan dan memilih lelaki lain sebagai pendamping hidupku. Saat itu aku tak kuasa menolak takdir Da?. Takdir yang mencerai beraikan rumah tangga orang tuaku, takdir yang mencatatkan aku harus menerima pinangannya sebagai orang yang bisa menafkahiku secara materi.

Aku bersalah, sangat bersalah padamu Da...

Vida ...

Di perjalanan waktu, air mata kerap menghiasi malam-malamku manakala namamu melintas, memerihkan dada. Sekian waktu pula aku kerap mencari kabar tentangmu, berharap aku tahu bahwa kau pun bahagia dengan kehidupanmu. Aku menyesal dengan lakuku atasmu Da, sungguh penyesalan ini akan aku bawa hingga kelak maut menjemputku dalam kepasrahan atas kisah cinta yang melebamkan sebuah rindu. 

Vida ...

Rupanya takdir menyimpan rasa iba pada kita, lalu kita dipertemukan dalam satu pertemuan yang tak pernah aku duga. Setelah bertahun-tahun aku hidup dalam khayalan untuk bertemu denganmu, Takdir pun mempertemukan kita kembali. Di kotamu, kenangan kembali berkecamuk saat aku menunggumu di salah satu kafe tempat kita janji bertemu. Mataku memandang pada secangkir kopi yang aku pesan, namun pikiranku melintasi dalam kenangan demi kenangan yang pernah tercipta di antara kita. 
Dan saat kau datang, debur dada ini tak bisa aku tahan lagi, ingin aku berlari memelukmu, namun aku tak sanggup melakukannya. Dosaku kembali menghalangi aku tuk mendekat padamu, hanya uluran tanganku menyambut salammu. 
Lalu kita larut dalam kisah masa muda dulu, lalu kita terhanyut dalam cerita cinta yang pernah kita tuliskan bersama di buku semesta. Aku sangat bahagia dengan pertemuan kita Da. Dan kau pun memperlihatkan kebahagiaan bertemu denganku. Katamu, aku adalah cinta abadimu. Aku tersanjung.

 

Sekejab...

Bagai terlempar dalam jurang yang sangat dalam, atau ke dalam ruang kosong hampa tanpa udara, dan nafasku tersengal. Aku terjatuh lagi. Sebuah kenyataan yang tak aku bayangkan sebelumnya. Pengakuanmu bahwa kau membenciku karena telah meninggalkanmu dahulu, membuat aku limbung. Kebencianmu dengan gamblang kau utarakan padaku membuat sesak dadaku. Sejak pertemuan kembali kita, telah berjuta maaf aku lontarkan padamu, pun sederas hujan di musim ke 9, air mata ini mengalir sebagai tanda penyesalan, nyatanya tak mampu membukakan pintu hatimu tuk memaafkan aku.

 

Kini di kamar sepi, aku hanya bisa mengeja kembali kisah kita. Sekaligus aku mencoba mancari makna dari takdir Tuhan yang mempertemukan kita setelah 26 berpisah, tanpa kabar selembar benang pun pada kita untuk sekedar melegakan hati, bahwa kita berdua masih saling mencintai.

Da...hari-hariku kini hanyalah kesunyian tanpa hadirmu, bahkan bayanganmu tak sudi singgah lagi tuk mengisi lamunan-lamunanku. AKu hanya bisa berdiam, menguraikan air mata ini, dan mencoba sekuat hati tak menyalahkan Tuhan atas takdir ini. Semua telah terjadi, sekalipun air mata darah aku alirkan dari kelopak mataku, itu tak akan mengubah takdir kita. Kita tak mungkin bersatu, kau di sana dalam pelukan diamu, sementara aku di sini mendampingi langkah diaku. Aku tak bisa menjamin permintaanmu untuk melupakanmu dan kisah-kisah kita bisa aku lakukan atau tidak. Karena pesonamu demikian kuat tertanam di hatiku, tak mungkin begitu saja aku bisa melupakanmu Da... Bukankah waktu 26 tahun sudah membuktikan aku tak bisa melupakanmu Da? Permintaanmu ada-ada saja ...

Namun ada satu hal yang aku harapkan saat ini, pinjam bahumu tuk sekedar sandarkan lelah dan tangisku yang menyesali kepedihan kisah cinta kita.

***

puri, 28 1 16

Kisah yang tak sempurna

ilustrasi gambar : Granito Ibrahim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun