Â
Membaca artikel teman-teman tentang pengalaman mereka setelah menjalin "cinta" dengan Kompasiana, membuatku teringat juga kisah awalku bisa berhubungan dengan Kompasiana.Â
Sekitar tahun 2009 aku dikenalkan oleh anak sulungku pada jejaring sosial yang bernama Facebook
Benar juga kata sulungku, dengan FB aku bisa terhubung dengan saudara ataupun teman dari berbagai penjuru. Disamping itu akupun bisa mengembangkan kesukaanku menulis. Karena  di FB aku kerap menulis beberapa larik puisi. Dan dari hobby menulis ini seorang teman FB yang juga wartawan bernama Ronaldy Hehakaya menyarankan agar aku masuk ke Kompasiana untuk menyalurkan hobby menulisku. Kak Ronaldy juga memberi saran agar aku bisa belajar menulis dari seorang wartawan senior perempuan yang saat itu aktif menulis di Kompasiana mbak Linda Jalil.
Sebelum mengikuti saran kak Ronaldy untuk gabung Kompasiana, terlebih dahulu aku hanya jadi pembaca setia. Di sela waktuku aku selalu membaca artikel-artikel yang ada, terutama dari kanal fiksi. Dari situ aku beranikan diri bergabung untuk bisa menyalurkan hobbyku menulis, dengan harapan bisa berbagi tulisan dengan pembaca Kompasiana.
Tepat tanggal 23 Mei 2010 aku bergabung dengan Kompasiana. Aku ingat pertama kali berinteraksi dengan seorang Kompasianer bernama Arbi Syah dari Aceh dan mbak Ani Ramdhan. Hari demi hari aku isi dengan menulis puisi dan juga cerita mini di Kompasiana. Saat itu terasa berkurang kegembiraan bila tak bisa "setor" tulisan di Kompasiana. Tak lupa pula aku belajar dari tulisan-tulisan teman untuk mengasah kemampuanku menulis. Seiring berjalannya waktu, aku bukan hanya menulis puisi, aku memberanikan diri dengan menulis opini atau reportase. yang kemudian dihadiahi oleh admin Kompasiana dengan HL.
Setelah beberapa bulan bergabung, aku berkenalan dengan pendiri grup menulis fiksi Desa Rangkat, Mommy dan mas Hikmat Nugie. Dari Mommy dan mas Nugie akhirnya aku bergabung di Desa Rangkat. Selain ilmu menulis yang lumayan berkembang (menurutku), aku mendapatkan banyak sahabat di Desa Rangkat maupun Kompasiana.Â
Setelah itu aku bergabung pula di grup Kenthir. Nah dari Kenthir pula membuatku bisa menulis cerita humor yang sebelumnya belum pernah aku coba. Lalu aku bergabung dengan Kampung Fiksi yang digawangi perempuan-perempuan penulis hebat seperti mbak Winda Krisnadefa, mbak Ge Siahaya, mbak Deasy Maria, mbak Endah Raharjo dan lain-lainnya. Lalu dari grup Kampret (Kompasiane Hobby Jepret) aku bisa belajar menggabungkan tulisan dengan gambar(foto).
Dari grup-grup menulis  itu, kemudian aku "nyangkut" di Fiksiana Community (FC). Di grup yang selalu bekerja sama dengan Kompasiana bila mengadakan even penulisan ini aku bukan saja belajar menulis fiksi, namun aku juga belajar menjadi salah satu admin. Dari FC pula aku bisa mengikutkan tulisanku di berbagai buku antologi puisi maupun cerpen bersama teman-teman member FC.
Saat usia bergabungku dengan Kompasiana menginjak ke 2 tahun, oelh seorang teman aku disarankan untuk mendokumenkan karya-karyaku dalam bentuk antologi puisi. Saat itu jumlah artikel puisiku sudah mencapai ratusan. Alhamdulillah, teman sesama Kompasianer ternyata banyak mendukung keinginanku.Â
Bersyukur aku mempunyai banyak teman baik dengan berbagai keahlian di Kompasiana, dari mereka ide membuat buku antologi menjadi lebih lancar. Kompasianer mas Rey Prameswara bersedia menjadi editor tanpa bayaran alias gratis, mas Parlan Tjak bersedia me-layout dengan "amplop" pertemanan, itupun setelah aku memaksa agar beliau menerimanya. Lalu ada beberapa kompasianer yang membantuku mewujudkan buku antologi yang aku beri nama 42 Jejak itu. Ada mas Granito Ibrahim, mas Elang Langit, mas Odi,Mo Yustinus,Wepe dan lain-lain yang kesemuanya aku kenal dari Kompasiana.