Mohon tunggu...
Selo Sulistyo
Selo Sulistyo Mohon Tunggu... -

Dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT-UGM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Profesor Kerja vs Profesor Penghargaan

29 Oktober 2016   21:17 Diperbarui: 30 Oktober 2016   07:23 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Tulisan ini merupakan tulisan saya pada Juni 2014, sebagai catatan/note di Facebook yang saya edit dan publish di kompasiana untuk sekedar mengingatkan kembali bahwa jabatan profesor adalah jabatan akademik bukan gelar.*

------------------------------------19 Juni 2014

Saya merasa heran atas begitu mudahnya seseorang (bukan dosen tetap, misalnya politisi) memperolah jabatan profesor di Indonesia. Padahal bagi dosen tetap yang memang jenjang karir tertingginya profesor, tidak mudah untuk mencapainya. Paling tidak dalam waktu 2 bulan terakhir ada dua orang petinggi negara ini dianugerahi jabatan profesor, sebuah jabatan akademik tertinggi bagi seorang dosen di lingkungan perguruan tinggi.

Karena rasa heran itu, saya mencoba mencari tahu aturan-aturan terkait dengan jabatan akademik prestisius ini.

A. Kedudukan dan fungsi Profesor

Tentang pendidikan tinggi di Indonesia, telah diatur dalam UU no. 12 tahun 2012. Dijelaskan di UU ini fungsi dari pendidikan tinggi, adalah:

  1. "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
  2. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
  3. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora."

Kata kuncinya adalah fungsi "mengembangkan". Kata ini adalah kata kerja dan menjadi predikat dan bersifat kata aktif. Pendidikan tinggi adalah subjeknya. Lalu coba kita lihat lebih detil apa saja komponen pendidikan tinggi yang berfungsi "mengembangkan" tersebut. Tidak lain adalah Sivitas Akademika yakni masyarakat akademik yang terdiri atas, diantaranya dosen dan mahasiswa. 

Coba sekarang kita lihat fungsi Dosen, dari pasal 12 ayat 1 -3 , dari UU no. 12 tahun 2012 tersebut, disebut ada 3 fungsi dosen:"

  1. Dosen sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada Mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif mengembangkan potensinya.
  2. Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
  3. Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika".

Dalam UU no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebut bahwa, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepadamasyarakat. Menurut UU yang sama ada 4 jabatan dosen; Asisten ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Guru besar (Profesor). UU no 14 2005 juga menyebut bahwa Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Harus dicatat kata-kata "masih mengajar di lingkungan pendidikan tinggi".

Jadi kedudukan dan fungsi profesor (termasuk jabatan dosen yang lain) adalah sebagai motor penggerak kegiatan pendidikan tinggi untuk mencapai tujuan (output) tertentu yang menjadi visi dan misi pendidikan tinggi. Orientasinya adalah output, bukan karena sesuatu yang telah dihasilkan. Untuk itulah seorang profesor dipersyaratkan untuk aktif di lingkungan pendidikan tinggi. Implikasi dari ini adalah bahwa dosen berjabatan profesor harus menjalankan tugas mengajar mhs, membimbing mhs, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Profesor yang sudah tidak berfungsi mestinya harus rela berhenti. Demikian juga mereka yang telah berumur 70 tahun, juga harus rela untuk melepaskan jabatan akademiknya karena sudah otomatis lepas/tidak menjabat lagi. Sebagaimana diatur dalam UU no 12 2012 pasal 4.

"Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan."

B. Siapa yang berhak menjadi dosen?

Suatu perguruan tinggi dapat memiliki 2 jenis dosen, yaitu dosen tetap dan dosen tidak tetap. Dosen tetap memiliki jenjang karir dari jabatan akademik asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar atau disebut profesor. Adalah Permenpan no 46 thn 2013 yang mengatur tentang bagaimana seorang dosen tetap dapat naik jabatan sebagai jalur karirnya. Lalu bagaimana dengan dosen tidak tetap? Tidak diatur jelas apakah dosen tidak tetap harus mengikuti permenpan no 46 ini atau tidak. Yang jelas Menteri bisa mengangkat siapa saja yang berprestasi luar biasa sebagaimana disebut dalam pasal 72 UU no 12 2012, sebagai berikut.

"Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul perguruan Tinggi. "

Untuk itu Mendikbud telah mengeluarkan produk turunan dari undang-undang tersebut dalam bentuk peraturan menteri, Permendikbud no 40 tahun 2012 untuk mengatur pelaksanaan pasal 72 tersebut,, utamanya untuk mengatur pengangkatan seseorang yang bukan dosen tetap, untuk menjabat sebagai profesor.

Dari UU dan Permendikbud tersebut jelas bahwa siapa saja (yang berprestasi) berpeluang bisa menjadi dosen (tetap/tidak tetap) dengan jabatan profesor. Saya menilai tidak ada masalah dengan pasal 72l tersebut. Akan tetapi saya menduga, pasal inilah yang menjadi sumber masalah. Pasal ini mengandung makna menghargai prestasi yang telah dilakukan. Kalau kasusnya adalah menghargai tentang apa yang sudah dilakukan oleh seseorang, maka pengangkatan seseorang menjadi profesor hanya semacam penghargaan selayaknya penghargaan kepada pahlawan. Seharusnya, pengangkatan seseorang menjadi profesor memiliki implikasi tugas/beban pekerjaan sebagai profesor. Bisa dianalogikan misalnya, dalam kasus pengangkatan seseorang menduduki jabatan presiden. Kalaupun orang tersebut telah punya pengalaman menjadi gubernur atau wapres, pengalaman tersebut hanya menjadi bahan untuk menilai/mengukur bahwa orang tersebut kira-kira akan mampu menjalankan tugas sebagai presiden. Bukan lalu bisa dianugrahi untuk menjabat sebagai presiden karena prestasinya kan? Lagipula setelah menjabat harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai presiden. Demikian juga untuk kasus pengangkatan seseorang diangkat menjadi profesor. Sudah semestinya pengangkatan didasari atas penilaian bahwa seseorang tersebut akan mampu menjabat sebagai profesor yang berfungsi sebagai motor penggerak dalam perguruan tinggi dalam fungsinya "mengembangkan" ilmu pengetahuan. Tentu saja setelah diangkat harus aktif dan tinggal di kampus, karena fungsinya.

Sekarang kita lihat kasus 2 petinggi negara yang dianugerahi gelar profesor (HP dan SBY).

Untuk kasus SBY:

Secara aturan tidak ada masalah dengan pengangkatan SBY menjadi profesor. Yang ada adalah ketidaklayakan:

  1. Tidak layak seseorang mempunyai jabatan presiden dan profesor dalam waktu yang bersamaaan. Jabatan presiden mempunyai tugas tanggung jawab yang besar. Sehingga tidak layak seorang presiden merangkap jabatan(Ketua partai, ketua dewan pembina partai, presiden dan profesor). Jabatan presiden ada wakilnya, ketua partai ada wakilnya, tetapi apakah penyandang jabatan profesor bisa mempunyai wakil dalam melaksanakan tugas-tuganya? Ooo tidakkkk....Untuk SBY idealnya, jabatan profesor disandang setelah berhenti dari jabatan presiden, agar berfungsi seperti yang diharapkan.
  2. Tidak layak seorang yang mempunyai jabatan profesor, tidak berada di lingkungan kampus.
  3. Tidak layak seorang presiden diangkat menjadi profesor dengan UU dan Permen yang dibuat/disetujui sendiri. Perlu dicatat bahwa semua aturan yang dipakai untuk mengangkat menjadi profesor dibuat semasa beliau menjadi presiden.
  4. Tidak layak seseorang diusulkan oleh perguruan tinggi yang beliau ikut menjadi pendirinya.
  5. Yang tanda tangan pada SK profesor adalah Presiden. Sehingga tidak layak seorang presiden mengangkat dirinya sendiri menjadi profesor. Apalagi semua aturan yang digunakan dibuat/disetujui sendiri.
  6. Tidak layak jabatan profesor diberikan kepada seseorang untuk menghargai prestasi masa lalu tanpa memikirkan/melaksanakan tugas-tugas yang diemban dalam jabatan tersebut

Ketidaklayakan yang ke-6 inilah yang mungkin akan membuat pendidikan tinggi di Indonesia akan tetap "mandul" di masa depan. Memang menjanjikan, bahwa dengan UU dan Permen, menteri dapat mengangkat siapa saja menjadi profesor. Ada jutaan orang di Indonesia yang masuk kriteria dapat diangkat menjadi pejabat profesor. Akan tetapi, jika pengangkatan jutaan pejabat profesor tersebut dilakukan untuk tujuan non akademis (tidak untuk aktif sebegai penggerak perguruan tinggi) justru akan mengakibatkan pendidikan tinggi kita akan suram. Banyak profesor, tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Untuk kasus HP:

Disebutkan bahwa HP telah lulus S3 Filsafat UGM dan telah menduduki jabatan lektor kepala sejak beliau pensiun. Beliau diusulkan oleh perguruan tinggi yang beliau dirikan sendiri semasa masih menjabat di BIN. Disebutkan juga beliau telah mengumpulkan 850 kredit (persyaratan menjabat sebagai profesor). Hanya sayangnya tidak ada bukti bahwa beliau mempunyai NIDN. Nomer ini merupakan nomer induk dosen. Kalau jabatan beliau lektor kepala, sudah pasti beliau harus ber-NIDN.Berdasarkan informasi di atas, sudah jelas beliau diangkat dalam jabatan profesor menggunakan permenpan no. 46 tahun 2013 (yang terbaru). Hanya saja, menjadi aneh apabila pengangkatan beliau dikaitkan dengan umur beliau yang sudah 69 tahun. Sudah diatur dalam PP No. 32 Th 1980 bahwa batas umur pensiun dosen yang menjabat lektor kepala adalah 65 thn.

Tidak layak karena:

  1. Aturan yang dipakai adalah permenpan no 46 tahun 2013 (atau sebelumnya), tetapi tidak kena aturan umur pensiun
  2. Diusulkan oleh perguruan tinggi yang beliau dirikan sendiri.
  3. Setelah menjabat profesor tidak produktif di kampus, sebagaimana diharapkan.

Apa konsekuensinya?

UU dan Permendikbud no 40 thn 2012 membuka peluang, pengangkatan seseorang menjadi pejabat profesor dapat dengan mudah ditunggangi kepentingan politik, pribadi dan kekuasaan. Kalau ini terjadi, benar-benar suram.

UU menciptakan ketidakadilan bagi dosen tetap dan dosen tidak tetap. Bagi seorang dosen tetap, tidak mudah mencapai karir tertinggi yakni jabatan profesor. Mereka harus berjuang dulu berfungsi sebagai motor penggerak pendidikan tinggi dalam hal mengembangkan ilmu pengetahuan, agar dapat menjabat sebagai profesor. Sementara itu, mereka yang dosen tidak tetap dapat dengan mudah menduduki jabatan profesor hanya karena dinilai layak menjadi profesor, tanpa melihat apakah yang bersangkutan mau menjalankan tugas sebagai profesor atau tidak. Seadainya profesor tipe ini (diangkat karena prestasi luar biasa) semakin banyak, tidak ada jaminan bahwa beliau akan berfungsi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pengangkatan seseorang karena alasan penghargaan cenderung akan berhenti berkarya setelah mendapat jabatan itu. Ini tentu kontradiktif dengan tujuan sebenarnya dan ada kecenderungan tidak produktif karena tidak disertai pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan tersebut. Ini pun terjadi dengan profesor yang diangkat berdasar Permenpan no 46 thn 2013. Penerapan Permenpan no 46 telah membentuk sistem bahwa mereka yang diangkat menjadi profesor adalah dalam rangka untuk menghargai apa yang telah dikerjakan (KUM), cenderung bukan oleh karena diminta untuk melaksanakan tugas mencapai visi dan misi perguruan tinggi. Lagipula, pada saat diangkat menjadi profesor umumnya sudah berumur sehingga sebagian besar sudah sulit untuk produktif lagi.  

Kesimpulan saya, adanya aturan tentang pengangkatan profesor akan berakibat semakin bagusnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Kita berpikir positif saja, bahwa semoga saja mereka yang diangkat menjadi profesor bisa dapat menjalakan tugasnya di kampus. Mereka menjadi profesor kerja, bukan profesor penghargaan. Profesor penghargaan hanya puas dengan hasil kerja yang telah mengantarnya menjadi profesor, tetapi profesor kerja adalah mereka yang merasa bahwa jabatan adalah amanah/tugas/beban. Kalau semua profesor adalah profesor kerja, maka akan semakin kuat pengembangan ilmu di negara tercinta INDONESIA. Semakin banyak publikasi ilmiah Indonesia di jurnal internasional, sehingga mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun