Dunia tulis-menulis juga disebut jurnalisme tak dapat dipisahkan dengan adanya media massa, seperti: koran, majalah, televisi atau semacamnya. Secara esensial, jurnalistik merupakan sesosok dokter kandungan dari terlahirnya kebenaran. Artinya, apa yang tak dapat disuarakan juga apa yang dirasa wajib diketahui oleh khalayak umum, jurnalisme hadir untuk mengeluarkan anak (re: suara) tersebut dari rahim keheningan.
Sayang sekali jurnalisme kita telah terdisrupsi oleh para oknum dokter tak berlisensi juga nihil kredibelitas yang membuka mal praktek, yang dampaknya pada anak-anak yang lahir tersebut mengalami kecacatan.
Apalagi jika kaitannya dengan era globalisasi seperti sekarang, di mana semua orang ingin ‘serba cepat’ dan serba elektronik —salah satunya perihal informasi. Tentu media-media akan berduyun-duyun menghadirkan warta atau berita.
Yang patut dikhawatirkan bukan dari segi kuantitasnya, melainkan kualitas dari informasi tersebut. Alih-alih menampilkan warta bermutu yang diharapkan akan menambah wawasan, (ini) malah menjadikan publik semakin bodoh disebabkan mengkonsumsi berita-berita tak berbobot tadi.
Ironinya tidak sampai di sini saja, media-media yang sepatutnya diberdayakan demi kepentingan bersama —kini sudah bercampur bersama dengan unsur dan kepentingan politis, seperti; digunakannya untuk alat propaganda, manipulasi massal, juga pengalihan isu.
“Jurnalisme telah mati!” Begitulah pandangan saya, tapi yang menjadi pertanyaan pokoknya adalah bagaimana “cara” jurnalisme itu mati. Inilah yang akan menjadi pokok dari pembahasan kita kali ini.
How Journalism Die?
Jika ada pertanyaan “Seberapa besar pengaruh media massa terhadap kontrol publik?”, tentu jawabannya, sangatlah besar. Ada beberapa alasan yang menunjang jawaban tersebut, pertama, kaum intelektual. Noam Chomsky memaparkan keberhasilan Presiden ke-28 Amerika Serikat; Thomas Woodrow Wilson dalam melakukan kontrol yang besar terhadap perubahan paradigma publik.
Hal tersebut dapat terjadi bukan karena pemerintahannya yang diktator, melainkan menggunakan cara yang lebih “elegan”, yaitu media —dengan membentuk komisi propaganda resmi pemerintah yang disebut sebagai Crell Comitte.
Kondisi rakyat Amerika pada waktu itu sangat anti-perang dan merasa tidak ada alasan untuk terlibat dalam perang Eropa. Sementara Wilson memiliki andil dalam perang tersebut. Maka ketika pembentukan komite propaganda tersebut, tidak lebih dari enam bulan tim ini mengubah populasi —dari yang— anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu untuk menghancurkan semua yang berbau Jerman, dengan alasan utama untuk menyelamatkan dunia.
Tentu saja keberhasilan ini tidak terlepas dari sosok di “balik layar”-nya; kaum intelektual progresif. Mereka (kaum intelek) menepuk dada dengan tulisan-tulisannya, dan menyihir rakyat dengan opini-opini bahwa dunia tengah dalam keterancaman fanatisme dan kekejaman bangsa Jerman.
Kedua, tak lain karena peran media itu sendiri. Sebagai alat, media massa tentu bukanlah suatu instrumen yang asing di tengah masyarakat modern. Seakan telah menjadi candu, setiap detik miliaran dari manusia tidak bisa lepas dari interaksi di media massa. Dan juga tanpa disadari perilaku konsumtif tadi telah mempengaruhi terhadap tingkah lakunya.
Berangkat dari hal di atas inilah kita dapat memahami bahwa media memiliki andil yang sangat besar dalam mengkonstruksi realitas. Setidaknya ada dua peran yang diperankan oleh media. Pertama, sebagai sumber dari kekuasaan hagemonik. Artinya di sini, kesadaran khalayak dikuasai dengan informasi-informasi yang disajikan. Kedua, sebagai alat legitimasi. Di mana lewat media massa, orang dapat diberi stigma sebagai pemberontak ataupun dicap orang yang baik, tergantung bagaimana media membangun “citra”-nya.
Di Balik Meja Redaksi
Kita tidak pernah mengatahui apa dan siapa yang ada di balik meja pembuat berita yang kita konsumsi sehari-hari, juga kita tidak pernah tahu kepentingan apa yang mendasari pembuatannya. Karena bisa jadi, berita-berita tersebut memiliki motif yang buruk untuk menjatuhkan kelompok satu, dan menaikkan yang lainnya.
Bahkan jika tidak disebut berlebihan menurut hemat saya pribadi —meski tidak semuanya— media-media telah kehilangan jati dirinya. Dalam arti kehilangan nurani untuk menyebarkan berita-berita penting yang patut diketahui publik juga telah menggadaikan esensi dan kode etik jurnalistik demi kepentingan-kepentingan pribadi. Sekarang media-media tersebut sudah kehilangan arah dalam mewartakan, bahkan tak jauh bedanya dengan media penyebar gosip. Kini pun media pembawa berita, membawakan informasi pribadi dan kehidupan para artis yang tidak ada gunanya, selain untuk ditertawakan.
Dan dari apa yang saya rasakan pribadi, berita atau lebih tepatnya lelucon. Ternyata disadari atau tidak, ia hadir sebagai alat untuk menutupi kasus-kasus yang terjadi. Kita ambil contoh, kasus omnibuslaw, korupsi bansos, penanggulangan covid yang tidak efektif dan masih banyak lainnya yang sekarang seolah ditutup dan ditimpa secara sengaja oleh lelucon-lelucon tadi. Yang secara tidak langsung, mengisyaratkan bahwa rakyat tidak boleh tahu lebih dalam kelanjutan penindakan kasus tersebut.
Juga yang patut disayangkan adalah pola ini terus berulang; kasus, lalu ditimpa dengan pengalihan isu. Pun benar adanya, media telah menjadi alat propaganda pemerintah untuk mengkontrol pikiran dan persepsi publik. Sehingga wajar saja, seperti yang sudah disebutkan bahwa “Jurnalisme (kita) telah mati!”.
Mungkin analisis Chomsky benar, setiap hari, bahkan setiap menit dan detiknya, kita tak habis-habisnya melahap dan menyaksiskan pertarungan kepentingan di lini massa. Ia mengatakan, bahwa informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas yang hadir di masyarakat.
Dan yang namanya, “rekonstruksi” tentunya sangat tergantung pada bagaimana orang di balik media dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, kita sepakat sudah sepatutnya jurnalisme yang independen kembali didengungkan. Dengan mempurifkasi jurnalisme dan media massa dari kepentingan-kepentingan pribadi.
Daftar Rujukan
— Chomsky, Noam. Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok. Cet. 4. Yogyakarta: Penerbit Jalan Baru, 2019.
— Seto Wahjuwibowo, Indiawan. PENGANTAR JURNALISTIK: Teknik Penulisan Berita, Artikel & Feature. Seri Buku Ajar Jurnalistik. Rumah Pintar Komunikasi, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H