Berangkat dari hal di atas inilah kita dapat memahami bahwa media memiliki andil yang sangat besar dalam mengkonstruksi realitas. Setidaknya ada dua peran yang diperankan oleh media. Pertama, sebagai sumber dari kekuasaan hagemonik. Artinya di sini, kesadaran khalayak dikuasai dengan informasi-informasi yang disajikan. Kedua, sebagai alat legitimasi. Di mana lewat media massa, orang dapat diberi stigma sebagai pemberontak ataupun dicap orang yang baik, tergantung bagaimana media membangun “citra”-nya.
Di Balik Meja Redaksi
Kita tidak pernah mengatahui apa dan siapa yang ada di balik meja pembuat berita yang kita konsumsi sehari-hari, juga kita tidak pernah tahu kepentingan apa yang mendasari pembuatannya. Karena bisa jadi, berita-berita tersebut memiliki motif yang buruk untuk menjatuhkan kelompok satu, dan menaikkan yang lainnya.
Bahkan jika tidak disebut berlebihan menurut hemat saya pribadi —meski tidak semuanya— media-media telah kehilangan jati dirinya. Dalam arti kehilangan nurani untuk menyebarkan berita-berita penting yang patut diketahui publik juga telah menggadaikan esensi dan kode etik jurnalistik demi kepentingan-kepentingan pribadi. Sekarang media-media tersebut sudah kehilangan arah dalam mewartakan, bahkan tak jauh bedanya dengan media penyebar gosip. Kini pun media pembawa berita, membawakan informasi pribadi dan kehidupan para artis yang tidak ada gunanya, selain untuk ditertawakan.
Dan dari apa yang saya rasakan pribadi, berita atau lebih tepatnya lelucon. Ternyata disadari atau tidak, ia hadir sebagai alat untuk menutupi kasus-kasus yang terjadi. Kita ambil contoh, kasus omnibuslaw, korupsi bansos, penanggulangan covid yang tidak efektif dan masih banyak lainnya yang sekarang seolah ditutup dan ditimpa secara sengaja oleh lelucon-lelucon tadi. Yang secara tidak langsung, mengisyaratkan bahwa rakyat tidak boleh tahu lebih dalam kelanjutan penindakan kasus tersebut.
Juga yang patut disayangkan adalah pola ini terus berulang; kasus, lalu ditimpa dengan pengalihan isu. Pun benar adanya, media telah menjadi alat propaganda pemerintah untuk mengkontrol pikiran dan persepsi publik. Sehingga wajar saja, seperti yang sudah disebutkan bahwa “Jurnalisme (kita) telah mati!”.
Mungkin analisis Chomsky benar, setiap hari, bahkan setiap menit dan detiknya, kita tak habis-habisnya melahap dan menyaksiskan pertarungan kepentingan di lini massa. Ia mengatakan, bahwa informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas yang hadir di masyarakat.
Dan yang namanya, “rekonstruksi” tentunya sangat tergantung pada bagaimana orang di balik media dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, kita sepakat sudah sepatutnya jurnalisme yang independen kembali didengungkan. Dengan mempurifkasi jurnalisme dan media massa dari kepentingan-kepentingan pribadi.
Daftar Rujukan
— Chomsky, Noam. Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok. Cet. 4. Yogyakarta: Penerbit Jalan Baru, 2019.
— Seto Wahjuwibowo, Indiawan. PENGANTAR JURNALISTIK: Teknik Penulisan Berita, Artikel & Feature. Seri Buku Ajar Jurnalistik. Rumah Pintar Komunikasi, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H