Mohon tunggu...
Sellyn Nayotama
Sellyn Nayotama Mohon Tunggu... -

Siswa SMP kelas 2 (thn 2018), suka membaca dan menulis. Novel pertama "Queen Kendzie" (terbitan Kompas Gramedia); cerpen "Jam Weker Shabby" dalam antologi (Penerbit Mizan). Baca juga di akun: www.kompasiana.com/sellynnayotama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cemburu] Aldo Suka Warna Pink

4 November 2018   20:25 Diperbarui: 5 November 2018   00:10 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aldo Suka Warna Pink

            Aldo namanya. Rambutnya hitam berkilau, kadang kusut, kadang rapi, tapi lebih sering kusut. Ia murid baru di kelas kami waktu itu. Hari itu hari Senin, tepatnya di bulan Februari 2013. Guru bahasa Indonesia kami, Bu Ratri, sedang menjelaskan materi pola kalimat, ketika pintu kelas diketuk pelan.

            "Masuk," ujar Bu Ratri, mempersilahkan suara di luar. Seorang anak laki-laki  memasuki pintu kelas 8 SMP Cempaka, ditemani bapak Kepala Sekolah, Pak Johan.

            Kalau kuperhatikan, anak laki-laki itu terlihat murung. Rambutnya tak terawat, entah kapan terakhir kali ia keramas. Huh, tak tahulah. Mungkin aku terlalu cepat menilai.  

Pak Johan tersenyum, dan menepuk pundak anak itu. Ia berbicara pelan, mungkin memintanya memperkenalkan diri. Sunyi sesaat, lalu beberapa detik kemudian terdengar suara. "Nama saya Aldo Putra Daniswara. Saya dari Semarang. Salam kenal semuanya," ucap anak laki-laki itu, kaku. Aku sedikit mengernyit. Nada bicaranya aneh Beberapa temanku berbisik sambil menunjuknya.

Pak Johan menghentikan keributan kecil di kelas, lalu pamit menuju kantornya. Bu Ratri melanjutkan kegiatan belajar mengajar. "Silahkan kerjakan Uji Kompetensi Bab 2 di halaman 51," ujar Bu Ratri sambil memperbaiki letak kacamatanya.

Aku tak terlalu memperhatikan kata-kata Bu Ratri. Aku lebih tertarik memerhatikan si anak baru, Aldo. Ia duduk di samping Yovi. Dengan tenang ia membuka bukunya. Namun ada yang menarik.

Aldo sepertinya sangat suka warna pink. Aku menyadari warna tasnya, tempat pensilnya, dan..oh, ya, dia memang menyukai warna merah jambu. Buku tulisnya..hampir semua yang dia bawa hari itu.

Maisie, teman sebangkuku, tampaknya sudah menyadari hal ini sebelumnya. Ia berbisik padaku, "Khisan, l..lihat itu. Aldo, dia benar-benar menyukai warna pink," Maisie menahan tawanya. Nada suaranya merendah, "Aku tak menyangka. Benar-benar aneh," ia terdengar mengejek. Aku setuju dengan Maisie. Kami bersahabat sejak kecil, dan seringkali berbeda pendapat.

Namun kali ini, aku setuju dengannya. Aldo memang aneh. Saat istirahat, aku dan teman-temanku membicarakan Aldo di kelas.

"Ya ampun, anak itu. Sampai botol minumnya pun warnanya pink," Munira terkikik geli.

Ada temanku yang menyanggah Munira, Feiza. "Hei, janganlah kamu tertawakan dia itu. Suka warna pink, kan, bukan dosa. Jahat banget, sih."

Akibat topik tersebut, terjadi perdebatan kecil antara kami. Namun langsung bubar ketika bel tanda selesainya istirahat berbunyi. Kami pun duduk di bangku kami masing-masing. Keesokan harinya, aku memutuskan untuk meneliti sikap Aldo. Hh, benar juga. Menyukai warna pink itu bukan suatu dosa, pikirku.

Aku terbiasa berangkat pagi. Jadi hari itu, ketika aku selesai merapikantas dan mengeluarkan buku di jam pertama, pintu berdecit. Aku menoleh. Aldo yang datang. "Kamu duduk dimana?" Aku spontan bertanya. Ia menjawab, "Disana," ia menunjuk ke pojok kelas, di belakang. Aku mengernyit. Matanya terlihat lelah. Meski bajunya terlihat rapi, dimasukkan ke dalam seragam, aku tahu baju itu kusut. Mungkin belum diseterika, entahlah. Bukan urusanku. Aku lantas membuka novel yang kupinjam dari perpustakaan. Lalu aku larut dalam ceritanya, hingga temanku, Elvira, menepuk pundakku.

"Khisan! Jangan melamun, nanti kesambet, lho," ia menahan tawa. Setelah meletakkan tas di bangkunya, Elvira tertarik dengan novel yang telah selesai aku baca tadi. Aku pun menyodorinya buku tersebut. Elvira sama denganku, kutu buku. Bedanya, buku bacaannya lebih bervariasi, tidak sekadar novel remaja atau cinta yang biasa populer di kalangan remaja. Elvira anak yang pintar. Bahkan buku fisika setebal apapun ia baca, kalau sudah tertarik.

Hari itu berjalan dengan baik. Saat pelajaran Matematika, Pak Justan mengadakan ulangan mendadak. Kami mengeluh. Namun Aldo, anak itu, tetap tenang. Cih, benar-benar sok gayanya. Lihat saja nanti, pikirku.

Soal-soal yang diujikan sedikit sulit. Untunglah kebanyakan soal bisa kupahami dengan logika. Aku melirik Aldo. Tampaknya ia bisa melewati ujian ini. Sesaat ruangan sunyi. Beberapa temanku yang putus asa memutuskan untuk bekerja sama mengisi lembar jawaban. Tiba-tiba, Aldo mengangkat tangannya.

"Pak, Tigran dan Alesha menyontek," ujarnya nyadar.

Kami semua terperanjat. Kelas kami sudah biasa melakukan 'aksi solidaritas' saat ulangan, yaitu menyontek jawaban dan yang melihat tidak melapor ke guru. Namun, anak ini!

Pak Justan tersenyum mafhum. "Silahkan lanjutkan mengisi lembar jawaban. Anak-anak yang bersangkutan, harap temui bapak di kantor guru nanti siang."

Aku sedikit geram. Ya ampun, kasihan Tigran. Wajahnya merah padam. Apalagi Alesha. Kesimpulanku, Aldo memang sok suci. Akibat dari perbuatannya, Aldo jadi benar-benar dibenci teman-teman sekelas. Mereka jadi harus ekstra hati-hati kalau ingin menyontek. Saat ulangan Matematika dibagikan, nilai Aldo yang terbaik. Aku kembali melongo.

Biasanya, nilaiku yang terbaik di kelas. Tapi kali ini ... seketika aku merasa tersaingi. Kekesalanku memuncak melihat rambutnya yang makin tidak karuan. Aku berbisik kepada Maisie. "Mai, aku punya rencana. Mari kita ikuti anak itu, sebenarnya dia kenapa aneh begitu? Sudah suka warna pink, sok suci, lalu di.." belum sempat menyelesaikan kalimatku, Maisie menyikut lenganku.

"Hei, menyukai warna pink itu nggak aneh. Tapi aku setuju denganmu bahwa anak itu sok suci. Omong-omong, apa rencanamu?"

"Kita ikuti dia suatu saat nanti. Ini harus dilakukan," kataku mantap.

Aku melihat kembali suasana kelas. Alesha dan Tigran yang mencak-mencak karena tertangkap basah sedang menyontek, dan teman-teman lain menimbrung mereka untuk memprovokasi.

Aku mendekat, dan menyimak. Tarawilla alias Tarla menceletuk, "Kalian tahu, nggak? Setiap pulang sekolah, dia suka nongkrong bareng mbak Widi di kantin. Sedangkan sama kita-kita, malah nggak pernah ngomong. Sombong benar, kan?"

Pada hari yang lain, Jodie juga ikut menyampaikan pendapatnya mengenai Aldo. "Anak itu sih, hobinya bikin prakarya. Baru-baru ini, aku memergoki dia memotong-motong kertas origami menjadi bentuk hati. Padahal kan Bu Frilla nggak menyuruh kita melakukannya."

"Mungkin itu untuk ...ehm, kekasihnya," tawa Berlin. Tiba-tiba, Aldo masuk kelas. Kami menoleh ke arahnya, dan spontan saja aku melihat sesuatu di mejanya. Sebuah kartu ucapan, dengan kertas origami berbentuk hati di atasnya yang tertempel manis. Ada mahkota bunga yang terbuat dari sulur-sulur ranting, dan bunga mawar kecil. Buat apa semua itu? Berlin mengejek, "Kamu pasti punya pacar, ya. Sombong benar sih, tak pernah dikenalkan ke kami semua," katanya. Aldo hanya terdiam, lalu duduk. Aku berdecak, Aldo menoleh datar tanpa ekspresi.  

Beberapa hari kemudian, aku dan teman-teman sekelas sepakat untuk menguntit Aldo.

Pulang sekolah, aku menaiki sepedaku. Pun dengan Maisie, Berlin, Christo dan Tonni. Namun, sejenak aku tercekat. "Mai," panggilku. "Apaan lagi?" Maisie memutar bola matanya.

"M..memangnya kita tahu dimana anak itu tinggal?"

Christo menepuk jidatnya. "Ya ampun, Khisan. Bahkan kamu pun nggak memikirkannya. Lalu gimana?"

"Tenang. Kita tak perlu tahu rumahnya. Cukup ikuti saja," Berlin menengahi, dan kami semua pun setuju. Kami pun langsung keluar dari sekolah menuju warung, menunggu di sana. Aldo belum keluar dari sana. Beberapa saat kemudian, muncullah batang hidungnya. Kami siap. Menyusuri jalan dengan hati-hati, agar tidak ketahuan. Tempat pertama yang dikunjungi Aldo.. toko roti Croissant yang terkenal di kota kami. "O, kalau kutebak, Aldo jadi tukang pel disana," Tonni terkikik. Aku menyuruhnya diam. Bagaimana kalau kami ketahuan?

Lalu Aldo keluar dari sana, dan tersenyum simpul. Lalu ia melanjutkan perjalanannya. Kali ini menuju toko bunga. Kami melongo. Aku dalam hait menyangka-nyangka, mungkinkah Aldo memiliki kekasih? Sehabis mampir ke toko kue, ia pergi ke toko bunga, jangan-jangan..

Ternyata rumah Aldo cukup jauh. Hingga ke ujung kota. Aku ngos-ngosan mengikutinya. Tubuh Tonni yang tambun juga sepertinya tidak kuat. Ia mengelus perutnya yang setiap hari ia isi dengan keripik di kantin. Tonni lalu bertanya apakah kami akan melanjutkan perjalanan ini. Aku mengangguk pasti.

Aldo berhenti di sebuah rumah. Lho, aku mengenal tempat ini. Tempat tanteku, Tante Vida, biasa menyalurkan sebagian rezekinya. Panti Asuhan. Terpatri di papan Namanya, "Panti Asuhan Cemara."

Dari seberang jalan yang cukup aman untuk mengintip, kami bisa melihat anak itu. Aldo di sana, di halaman panti. Bermain dengan seorang anak perempuan yang memakai dress berwarna merah jambu. Aku terperanjat. Anak perempuan itu ..tak satupun rambut tumbuh di kepalanya. Dan Aldo menyanyikannya sebuah lagu, dan membawa balon berwarna pink, sambil berjongkok. Kemudian anak-anak panti yang lain datang bergabung. Mereka tertawa bersama.

"Anak-anak itu dekat sekali dengannya," komentar Berlin. Aku mengangguk. Kejadian tadi menimbulkan spekulasi baru bagiku. Semua kemungkinan yang ada. Apakah Aldo kakak dari anak yang memakai dress pink itu?

Tunggu, aku malu bila menyadarinya. Lebih baik kami pulang saja sekarang. Kami berbalik badan, dan bercakap-cakap, memutuskan pulang. Akan tetapi.. terdengar suara bel sepeda berbunyi. Bukan milikku, pun Maisie, juga dengan Berlin, Christo, ataupun Tonni. Kami menoleh, dan Aldo menatap kami.

"Ayo masuk," ajaknya. Aku kehilangan kata-kata. Dengan keki, kami mengayuh sepeda menuju panti. Bertandang kesana, dan mengikuti Aldo yang kembali menghampiri anak perempuan tadi. "Vena, kenalkan teman-teman kakak," ia mengelus rambut anak itu.

"Khisan, Berlin, Christo, Maisie, Tonni, ini adikku, Vena Putri Daniswara."

Lalu kami semua berjabat tangan dengan Vena. Vena terlihat sangat cantik. Matanya berbinar, dan senyumnya manis bak susu karamel. Aldo berdeham, lalu berbicara. "Jadi begini. Selama ini aku tinggal di panti, dan saat kelas 7, aku bersekolah di SMP dekat panti, SMP Mulia." ceritanya.

"Lalu aku pindah ke SMP Cempaka. Jujur saja, aku belum bisa bersosialisasi dengan baik. Aku pendiam, murung, dan sedih saat itu, karena aku baru saja mendengar kabar bahwa adikku divonis penyakit kanker otak, dan sudah stadium 3. Aku merasa terpuruk, dan, ya, itulah mengapa aku menutup diri dari kalian. Aku memutar otak untuk mencari uang yang nantinya akan dipakai untuk pengobatan Vena. Dan alasan mengapa aku pindah ke SMP Cempaka, biaya sekolahnya lebih murah dari SMP Mulia."

Rasa-rasanya, keringatku lenyap mendengarnya.

"Aku kerja di toko roti Croissant sebagai pembuat kue. Sejak kecil, ibuku pintar memasak, jadi aku diajarinya resep-resep kue yang keren," ia tersenyum, sendu. Kasihan anak ini, lalu dimana ayahnya?

"Yaaah, ayahku meninggal saat aku masih di dalam kandungan. Dan saat aku kelas 1 SD, ibuku meninggal karena kecelakaan sehabis pulang dari kantor. Jadi aku dikirim ke sini, oleh keluarga besarku. Oya, selain bekerja membuat roti di Croissant, aku juga bertugas merangkai bunga-bungaan di toko bunga Menggale. Kalian pasti tahu tempat itu kan," ia tersenyum mafhum. Jangan-jangan, ia tadi memergoki kami menguntitnya.

Berlin menutup mulutnya. Juga Christo. Tonni tak lagi mengelus perutnya yang buncit. Maisie.. tak hentinya ia memilin rambut bergelombangnya yang indah.

"O, tentu kalian bertanya-tanya mengapa aku menyukai warna merah jambu," katanya. Kami semua lalu memasang telinga baik-baik.

"Itu karena.. adikku. Adikku menyukai warna pink, dan sejak ia sakit, aku meminjam beberapa barangnya untuk mengenang adikku. Aku sering rindu padanya, dan aku sayang pada adikku, Vena. Jadi di sekolah aku seringkali berbuat aneh, bukan? Membuat rangkaian mahkota dari sulur ranting dan mawar, membuat kartu ucapan."

"Itu karena aku mencintai adikku, Khisan. Hanya informasi saja, terkadang, sekecil itu, Vena, sudah berpikir bahwa ia beban di pundakku. Aku tak tega melihatnya murung, maka aku selalu menyemangatinya dengan kata-kata motivasi di setiap kartu ucapanku. Christo, Maisie, Tonni, Berlin -- kalian semua mengerti, kan?"

Aku mengangguk. Bagaimana mungkin seorang remaja seperti dia, yang terlihat biasa-biasa saja, ternyata berbuat semulia ini. Aldo tersenyum lagi, sampai Berlin yang duduk di sebelahku tak berkutik. Entah anak ini kemasukan jin atau bagaimana, aku tak mengerti.

"Lalu, bagaimana dengan rutinitasmu saat pulang sekolah dengan mbak Widi, penjaga kantin? Berbincang santai dengannya -- kamu.."

"Dia kakak dari anak panti sini. Nama adiknya Rio. Sudah jelas, kan, semuanya? Mengenai ulangan Matematika itu, aku harap kalian nggak melakukannya lagi. Bagaimanapun, itu perbuatan yang keliru. Sebenarnya bisa saja kalian mendapat nilai bagus semua kalian saat ulangan. Namun, hasil Ujian Nasional nanti, di tahun terakhir di SMP, tak akan berdusta. Itulah kemampuan otak kalian, bukan kemampuan otak teman kalian," nasihatnya panjang lebar.

Ya ampun, aku sedikit kesal, sih, sebenarnya. Anak ini dengan santainya bicara seperti itu. Teman-temanku jadi sedikit tersinggung. Berlin menginjak kakiku. Akan tetapi di saat yang sama, aku juga terharu melihat kasih sayangnya pada Vena. Vena beruntung sekali memiliki kakak yang tulus seperti itu. Kakak laki-lakiku, Oswald, pasti nggak akan berbuat begitu.

Lalu kamipun bermain dengan Vena di halaman panti. Berkenalan dengan bu Veve, pengurus panti, membuatku menyadari bahwa Aldo adalah pekerja keras. "Aldo seperti keajaiban di panti asuhan Cemara. Ia tak pernah pelit berbagi rezeki, selain dari para donator, ia sangat membantu," bu Veve berkaca-kaca.

Aku terdiam, dan menatap Vena yang tersenyum sambil menarik tanganku. Aku tak menyangka kehidupan Aldo seperti ini. Namun kurasa dia bahagia dalam keadaan yang sekarang.

Aku tersenyum menatap Vena. Kuharap, anak itu cepat sembuh.

Keesokan harinya di sekolah, kami menjadi akrab dengan Aldo. Anak itu ternyata periang, cukup menyenangkan diajak bercanda, dan ternyata ia punya selera humor yang baik. Awal-awal, beberapa teman kami menjauhi kami dan menganggap kami aneh karena bergaul dengan Aldo, namun kami tidak apa-apa.

Beberapa minggu setelahnya, Aldo "diterima" di kelas 8C. Sosoknya yang periang memnbuat hidup suasana kelas. Secara berkala, kami mengunjungi panti asuhan Cemara untuk mengunjungi Vena, dan anak-anak lainnya. Aku dan teman-temanku juga membawa mainan, dan barang-barang yang sekiranya berguna di sana.

Aku sendiri, tergerak dengan perjuangan keras Aldo dalam menghadapi hidup ini. Terdengar berlebihan, tapi aku benar-benar terinspirasi olehnya. Pada suatu sore, aku datang ke panti, sendiri, mengunjunginya, dan kami membuat kue bersama.

"Khisan, adonan buatanmu jelek," ledeknya, dan wajahku berubah masam. Aku melemparinya dengan adonan kue. Ia menghindar sambil tertawa.

Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Terima kasih, Aldo. Berkat kamu, aku jadi tahu, bahwa kita harus memperjuangkan hidup kita sendiri, dan berbahagialah selalu, dimulai dengan cara bersyukur. Aku mungkin tak sekuat dia dalam menghadapi hidup, tapi aku belajar banyak dari Aldo.

You deserve a meaningful life, that is to be useful to others.

"Kamu berhak mendapatkan hidup yang bermakna, yaitu untuk dapat berguna bagi sesama". *Sellyn Nayotama*

Cerpen Sellyn lainnya, silakan baca:

Puisi: Saya ini Apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun