Penjurusan di tingkat SMA resmi dihapus. Siswa tidak lagi memilih IPA, IPS, dan Bahasa sebagai kiblat utama konsentrasi belajar.Â
Pertimbangan menghapus sistem penjurusan bisa dipahami karena sejalan dengan Kurikulum Merdeka Belajar yang mana siswa diperbolehkan memilih pelajaran apa yang ingin dikuasai.Â
Namun, perubahan kurikulum ini menjadi masalah jika tidak disertai dengan kajian ilmiah lebih lanjut.Â
Apakah murid mampu memilih mata pelajaran? Apakah murid mengetahui minat dan bakatnya? Apakah sekolah mengadakan tes minat bakat sebelumnya?Â
Apakah guru sanggup mengontrol murid jika disesuaikan oleh basis minat bakatnya? Serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang perlu menjadi catatan penting sebelum diresmikan perubahan kurikulum.Â
Dilansir dari tirto.id (diunggah 22 Juli 2024), praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, menilai bahwa setiap perubahan kebijakan atau kebijakan baru perlu diiringi dengan adanya kajian akademik.Â
Sayangnya, implementasi Kurikulum Merdeka yang akhirnya menghapus sistem penjurusan SMA tidak disokong dengan kajian yang ilmiah.Â
Sebuah kebijakan yang dieksekusi tentunya perlu didasari oleh pertimbangan hal-hal khusus yang menjawab kebutuhan lapangan. Dari beberapa kanal berita online disampaikan bahwa dihapusnya sistem penjurusan dikarenakan sudut pandang stereotipe timbang sebelah yang melekat pada siswa dengan pilihan jurusan tertentu.Â
Disampaikan bahwa siswa jurusan IPA memiliki pilihan lebih banyak dalam menentukan program studi saat kuliah nanti. Sedangkan, untuk jurusan IPS dan Bahasa lebih terbatas pilihan studi lanjut di perkuliahan.Â
Stereotipe yang berkembang ini selanjutnya memengaruhi pandangan orangtua yang keuhkeuh anaknya memilih jurusan IPA sehingga menyebabkan terjadinya konflik pemilihan jurusan antara anak dan orangtua.Â
Berdasarkan pemaparan pemerhati dan pejabat pendidikan, maka penulis dapat menyumbang kebijakan alternatif yang sekiranya tidak memberatkan siswa dan guru sebagai penyelenggara utama kebijakan.Â
Pertama, melakukan revisi persyaratan dan kriteria penerimaan mahasiswa menjadi lebih spesifik. Rasanya tidak masuk akal ketika siswa IPA mengambil prodi ilmu sosial saat kuliah dan sebaliknya.Â
Namun, tidak menutup kemungkinan untuk beberapa prodi spesial sifatnya linear dengan beberapa penjurusan sekaligus.Â
Kedua, sistem penjurusan tetap diberlakukan dengan ketentuan siswa wajib memilih 2-3 mata pelajaran peminatan yang linear dengan pemilihan prodi kuliah.Â
Sebagai contoh, siswa IPA yang ingin studi lanjut di bidang Psikologi dipersilahkan memilih mata pelajaran peminatan seperti sosiologi dan antropologi.Â
Guru Bingung, Murid Juga Bingung
Pemberitaan ditiadakannya sistem penjurusan dirasakan penulis tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan.Â
Hal ini dikarenakan poin yang ditekankan lebih berfokus pada stereotipe dan kebebasan murid memilih mata pelajaran (sistemnya mirip seperti tawar menawar mata kuliah). Sayangnya, kebijakan ini kurang mempertimbangkan sampai dimana batas kebebasan itu diberikan.Â
Perubahan kurikulum Merdeka Belajar hingga saat ini belum 100% diterapkan di seluruh sekolah. Evaluasi dari kurikulum Merdeka Belajar masih terus dilakukan, sehingga belum memberikan jaminan keberhasilan penerapannya di lingkup sekolah secara keseluruhan.Â
Pada waktu sulit ini, guru dan murid masih beradaptasi dengan perubahan kurikulum. Pola guru mengajar, cara murid belajar, pendekatan, dan komunikasi antar murid-guru mengalami perubahan besar-besaran.Â
Bisa dikatakan banyak sudah trial error yang dilewati, bahkan mungkin masih terjadi hingga sekarang. Sangat disayangkan perubahan kebijakan tidak dibarengi dengan survey kesiapan guru dan murid.Â
Masa transisi pendidikan di Indonesia masih terus berlanjut, khususnya transisi perubahan kurikulum Merdeka Belajar. Esensi dari Kurikulum ini adalah Student Centre Learning atau pembelajaran yang terpusat pada anak.Â
Artinya, pusat dari proses pendidikan adalah untuk mengembangkan dan mengarahkan anak sesuai dengan potensi minat dan bakatnya. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah hendaknya tidak memberatkan murid dan guru.Â
Kebijakan ini ditujukan agar murid bebas memilih mata pelajaran yang diminatinya, tetapi tanpa patokan atau panduan jelas seperti kategori keilmuan yang dihubungkan dengan pemilihan prodi di tingkat pendidikan lanjut maka murid akan mengalami kebingungan.Â
Selanjutnya, resiko terjadinya kesenjangan jumlah murid pada setiap mata pelajaran sangat mungkin terjadi, sehingga berpotensi pula terjadinya kesenjangan jumlah tenaga pengajar yang dibutuhkan.Â
Bayangkan saja apabila murid lebih banyak memilih mata pelajaran Bahasa daripada Matematika. Guru Matematika lebih sedikit waktu kerjanya daripada guru bahasa, sehingga berdampak pada insentif yang diterima. Jujur saja, hal ini adalah sebagian dari kekhawatiran penulis terhadap kebijakan baru ini.Â
Disisi lain, yang masih menjadi pertanyaan penulis adalah sejauh mana kesiapan murid memetakan mata pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan di tingkat lanjut.Â
Jika dikembalikan ke peran sekolah, maka guru Bimbingan dan Konseling memiliki andil besar dalam mengatasi masalah ini. Diperlukan sesi konsultasi khusus antar guru kelas, murid, dan guru BK secara pribadi untuk diskusi mendalam mengenai career path yang dimulai dari pemilihan mata pelajaran di tingkat SMA.Â
Akhir kata, perubahan kebijakan dalam sistem pendidikan Indonesia menjadi bukti bahwa Pemerintah masih meraba-raba kurikulum yang tepat dan sesuai dengan karakteristik anak bangsa.Â
Oleh karena itu, diperlukan kajian akademik dan ilmiah lebih lanjut guna mendapatkan informasi rampung terkait perkembangan murid di Indonesia. Hal ini bertujuan agar kebijakan yang dikeluarkan tidak menjadi bumerang bagi guru dan murid. Sekian. Â
ReferensiÂ
Peniadaan Jurusan IPA-IPS di SMA, Anggota Dewan Pendidikan Jatim: Masalahnya Ada di Guru - Tekno Tempo.coÂ
Potensi Masalah Usai Kebijakan Pemerintah Hapus Penjurusan SMA (tirto.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H