Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah Tidak Wajib, Tetapi Pilihan!

22 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 22 Mei 2024   11:09 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang kelas universitas. Photo by Pixabay from Pexels.com

Kemendikbud menghebohkan publik dengan pernyataan, "Pendidikan di Perguruan Tinggi adalah tersier", sehingga sifatnya tidak wajib didanai penuh oleh Pemerintah. Entah apa maksud sebenarnya dibalik pernyataan tersebut, tetapi yang jelas banyak pihak yang menolak tegas. Kalimat pendek yang diucapkan oleh Sekjen Dikti, tanpa disadari juga berefek pada anak muda yang masih bersemangat menimba ilmu hingga pendidikan lanjut, seperti dipatahkan niatnya oleh negara. Khususnya mereka dengan latar belakang kurang beruntung.  

Berkaca dari negara lain, seperti Jerman dan Kanada yang sangat menjunjung tinggi pendidikan yang layak kepada warga negaranya dengan berbagai upaya seperti layanan biaya pendidikan murah hingga gratis biaya sekolah. Bahkan tidak jarang ada beberapa negara Eropa memberikan biaya pendidikan tinggi secara penuh kepada murid internasional. Melihat perbandingan ini, penulis berpikir bahwa negara tercinta kita ini memang lah berbeda.

Apakah pendidikan tinggi tidak wajib?

Pendidikan tinggi adalah layanan satuan pendidikan yang mencakup jenjang diploma, sarjana, magister, doktor, spesialis. Dimana setiap lulusannya diyakini memiliki keterampilan dalam bidang keilmuan tertentu yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Dibandingkan dengan sekolah menengah, sudah pasti lulusan pendidikan tinggi akan lebih dilirik oleh pencari tenaga kerja karena kapasitas kompetensinya yang berbeda.

Layanan pendidikan tinggi menawarkan fokus pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan negara. Program sarjana berkutat pada kegiatan akademisi yang kemudian berlanjut pada jenjang magister profesi atau sains.  Selanjutnya, program doktor dikhususkan pada mereka yang ingin memperdalam keabsahannya sebagai peneliti akademis mandiri dan pengadaan program spesialis yang bertujuan untuk memperkaya kompetensi seseorang dalam bidang tertentu. Disisi lain, program diploma mempersiapkan lulusannya memiliki keterampilan praktek di bidang wirausaha dan industri. Namun, sangat disayangkan program diploma masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.

Menjawab pertanyaan diatas, Apakah pendidikan tinggi wajib?  Berdasarkan sudut pandang penulis, pendidikan tinggi sifatnya wajib karena merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum nasional dan internasional. Namun, tidak salah juga disebut sebagai pilihan. Artinya, jika berminat pada ilmu pengetahuan dan akademik maka dapat memilih melanjutkan pada program sarjana. Sebaliknya, apabila berminat pada kegiatan praktik langsung di lapangan maka dapat menempuh jalur pendidikan vokasi atau diploma.  

Pernyataan diatas menggambarkan "kondisi ideal" bagaimana seharusnya sistem pendidikan kita berjalan. Tetapi pada realita di lapangan, berbanding terbalik. Tuntutan permintaan kerja minimal ijazah S1, regulasi penyerapan tenaga kerja SMA dan SMK yang belum memadai, upah yang diperoleh berdasarkan level pendidikan dinilai belum cukup layak, gengsi masyarakat terkait level pendidikan tanpa memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan biaya pendidikan yang semakin meroket menjadi faktor utama anak bangsa terhambat lanjut ke pendidikan tinggi. Pada akhirnya, banyak lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuan, meskipun hal ini mulai dianggap biasa sebagai cara bertahan hidup.

Oleh karena itu, dibandingkan mengatakan Pendidikan Tinggi tidak wajib, penulis lebih setuju dengan pernyataan "Pendidikan tinggi adalah pilihan program pengembangan kompetensi diri yang wajib diperoleh sebagai modal generasi muda memasuki usia produktif kerja". 

Data

Dilansir dari databoks.id (diunggah Februari 2024), jumlah pekerja dengan persentase tertinggi yaitu sebanyak 36.54% merupakan lulusan SD ke bawah. Disusul dengan SMA (20.55%), SMP (18.15%), SMK (12.09%), Diploma IV/S1/S2/S3 (10.28%), dan Diploma I/II/III (2.39%).

Disamping itu, menurut data BPS tentang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berdasarkan level pendidikan pada Agustus 2023 ditemukan kenaikan jumlah pengangguran mulai dari lulusan SMA/SMK hingga pendidikan tinggi (lihat disini). Hal ini sungguh mengenaskan karena harapannya semakin tinggi level pendidikan, maka dapat membantu meningkatkan kemakmuran masyarakat. Kira-kira siapa yang harus bertanggungjawab atas hal ini?  

Tidak berhenti disitu, data terbaru dari BPS disebut sebanyak 9 juta gen z belum bekerja. Gen z dengan usia antara 20-24 tahun yang lulusan SMA ditemukan paling banyak menganggur (3.57 juta) dan lulusan SMK (2.29 juta). Sedangkan, lulusan perguruan tinggi sangat disayangkan mengalami peningkatan jumlah pengangguran meskipun secara total pengangguran menurun.

Berdasarkan data diatas, maka dapat dikatakan bahwa lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi makin sulit mendapatkan pekerjaan sehingga masih menjadi pekerjaan besar bagi Pemerintah untuk menuntaskan masalah ini. Bukan malah manambah beban rakyat dengan menyampaikan pernyataan yang menyinggung.    

Solusi yang bisa ditawarkan
Melihat fakta pengangguran tertinggi pada level pendidikan SMA/SMK dan apabila menurut Pemerintah kuliah tidak wajib karena biaya pendidikan tinggi bukan tanggung jawab penuh, maka ada beberapa solusi yang penulis tawarkan guna menekan jumlah pengangguran di masa depan :

1. Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan serius untuk kurikulum SMA wajib berfokus juga pada pengembangan keterampilan kerja dasar melalui program magang, kerja kreatif, dan wirausaha untuk membantu pelajar membangun portfolio.

2. Gencar sosialisasi pekerjaan yang bisa dilakoni oleh lulusan SMA sesuai dengan kebutuhan pasar kerja ke sekolah-sekolah. Sedangkan untuk SMK, Pemerintah harus menyediakan program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar.

3. Pengadaan sertifikasi pelatihan gratis kepada lulusan SMA. Kemudian menjembatani kompetensi yang mereka dapatkan dengan perekrutan oleh lembaga negeri/swasta untuk dipekerjakan. Tujuannya agar menambah pengalaman kerja nyata dan membantu mereka mengetahui kompetensi apa yang perlu dikembangkan.

4. Menggiatkan kerjasama antara SMK-DUDI, serta mendorong kemajuan program SMK unggulan menjadi lebih inklusif.  

Akhir kata, mengenyam pendidikan yang layak merupakan hak semua warga negara tanpa terkecuali. Kesenjangan antara level pendidikan dan ekonomi perlu diminimalkan karena merupakan indikator kemajuan suatu negara. Oleh karenanya, negara perlu menjamin kelangsungan pendidikan yang tidak membebani rakyat karena kunci memperbaiki taraf hidup adalah juga dari pendidikan. 

Referensi
Data BPS: 9,9 Juta Gen Z di Indonesia Tidak Bekerja atau Sekolah (kompas.com)

Ada 10% Penduduk Indonesia yang Berpendidikan Tinggi pada Maret 2023 (katadata.co.id)

Tamatan Tingkat Pendidikan Warga Indonesia Terbanyak dari SMA pada Maret 2023 (katadata.co.id) 

Awal 2024, Pekerja Indonesia Didominasi Lulusan SD ke Bawah (katadata.co.id) 

Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan - Tabel Statistik - Badan Pusat Statistik Indonesia (bps.go.id)

Di Mata DUDI: Lulusan SMK Kini Lebih Kompeten, Terampil dan Loyal (kompas.com)  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun