Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Penghuni Peron Stasiun Emerald

19 April 2024   12:12 Diperbarui: 25 April 2024   19:16 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stasiun kereta. (Freepik/Wirestock)

Kereta terakhir baru saja berangkat. Andai saja Dira berlari lebih cepat beberapa detik saja, pasti sempat menyelinap masuk ke dalam kereta. Malam ini lebih panjang dari biasanya karena Dira harus menempuh rute perjalanan pulang terjauh dengan menggunakan taksi. Tidak ada pilihan lain.

Dengan napasnya yang tergopoh-gopoh karena lelah berlari sejauh 500 meter dari halte bus terdekat. Dira beristirahat sebentar hingga napasnya kembali normal sebelum berjalan keluar. Langkah kakinya terhenti kala melihat seseorang sedang duduk persis di ujung peron. Wajahnya tidak tampak jelas.

"Apa yang sedang dia lakukan di sana? Sepertinya sedang menunggu seseorang," pikir Dira. Tiba-tiba sosok tersebut menatap tajam ke arah Dira. Saking terkejutnya, Dira langsung berbalik badan dan berlari menuju pintu keluar.

"Taksi," teriak Dira keras sambil mengangkat tangan memberi kode kepada taksi kosong warna kuning yang baru saja melintas tepat di depan pintu keluar stasiun. Waktu yang tepat.

Badannya yang letih ditambah pegal kakinya akibat berlari terburu-buru membuat Dira mengantuk. Dira menegakkan sandaran kursi dan membenarkan posisi duduk hingga menemukan posisi nyaman untuk mengistirahatkan kepalanya.

"Apakah Nona ketinggalan kereta? Maaf jika saya lancang bertanya," ucap supir taksi memecahkan keheningan.

"Tidak mengapa. Anda benar. Saya sedang kurang beruntung hari ini," jawab Dira.

"Apakah anda baik-baik saja didalam sana? Sepertinya anda adalah orang terakhir yang keluar dari stasiun," timpal sang supir.

"Apa maksudnya? Seperti yang anda lihat. Saya baik baik saja kan," Dira bingung dengan pertanyaan supir taksi.

Seketika rasa kantuk Dira dibuyarkan oleh jawaban supir taksi yang mengejutkan. Pak Supir menceritakan sebuah gosip menyeramkan tentang penghuni peron Stasiun Emerald. Katanya hampir setiap malam ada sosok anak kecil terlihat sedang duduk di ujung peron setelah kereta terakhir berangkat. Tidak ada yang pernah berhasil melihat dengan jelas bagaimana wujud anak tersebut. Dira yang mendengar cerita tersebut berusaha tetap tenang dan menjernihkan pikirannya. Ia berusaha mengingat sosok yang ditemuinya beberapa menit lalu, tetapi ia terlalu lelah untuk melakukan itu.

Keesokan harinya....

Dira kembali ke stasiun. Pikirannya masih terusik dengan cerita supir taksi. Untuk menjawab rasa penasarannya, Dira memberanikan diri bertanya pada dua orang petugas stasiun di dekat pintu masuk. Mereka membenarkan bahwa di kamera pengawas sering tampak sosok anak kecil di ujung peron setiap malam saat kereta terakhir berangkat. Anehnya, sosok tersebut tidak pernah ditemui karena tiba-tiba menghilang begitu saja saat petugas datang.

"Hmm... kalau itu adalah makhluk halus, lantas tidak mungkin wujudnya tertangkap jelas di kamera," pikirannya pun mengawang membayangkan segala kemungkinan. Hingga ia tiba pada satu kesimpulan, "aku akan membuktikannya sendiri malam ini." Hingga waktunya tiba, Dira berdiam diri di dalam toilet yang dekat dengan tempat di mana ia melihat sosok itu duduk. 

Waktu menunjukkan pukul 9.40 malam. Lima menit lagi kereta terakhir akan berangkat. Pada saat itulah Dira bersiap melakukan penyergapan. Jantungnya berdebar kencang, napasnya mulai terasa sesak, dan tangannya berkeringat banyak. 

Sebenarnya Dira sangat ketakutan, tetapi rasa penasarannya lebih kuat dari rasa takutnya. Bunyi desis kereta terdengar dan perlahan menghilang sunyi di kejauhan. 

"Kereta sudah berangkat. Sebentar lagi pasti sosok itu muncul." ucap Dira berbisik. Di balik pintu toilet yang sengaja dibuka sedikit celah, Dira berdiri sambil mengintai dengan hati-hati. Lampu peron tiba-tiba mati dan hanya tersisa di bagian ujung yang menyala. Dira menarik napas panjang, matanya terbelalak, dan suaranya tertahan seperti susah untuk berbicara ketika dilihatnya dengan jelas sosok itu melangkah ke dalam cahaya lampu. Wujudnya yang samar-samar kini mulai tergambar jelas.

Sosok mungil anak kecil kira-kira usia sekolah dasar, memakai sendal jepit dan pakaian rumahan kusut. Rambutnya bagian depan cukup panjang hingga menutupi pelipis mata, sehingga tidak terlihat jelas wajahnya. Sambil duduk ia mengayunkan kaki kecilnya dan bersenandung ceria layaknya anak-anak pada umumnya.

Perasaan Dira menjadi tak karuan. Selain fakta menyeramkan ada sosok anak kecil sendirian di stasiun larut malam, tampaknya tidak ada yang aneh dari anak itu. Kakinya menapak tanah, bukan makhluk tembus pandang, dan dia tampak nyata. Belum selesai Dira memproses apa yang dilihat. Kemudian muncul seorang Bapak muda menghampiri si anak. Mereka berbincang singkat kemudian Bapak tersebut berlalu. 

Dira pun memutuskan untuk menghampiri anak kecil tersebut. Ia berjalan keluar toilet dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Sedikit jinjit, langkah kaki lebarnya perlahan mendekat, dengan tenang ia beranikan diri menyentuh halus pundak si anak. 

"Aaaaaa....", teriak si anak kaget. Gerak tangan Dira refleks membengkap mulut si anak. "Tenang aku tidak ada maksud jahat. Aku hanya ingin mengobrol. Hentikan teriakanmu," kata Dira berusaha menenangkan. Diraihnya dari dalam tas minuman coklat dan memberikannya pada anak itu. Keduanya duduk berdampingan sambil mencuri tatapan singkat. Suasana hening yang aneh. Dira mendapati kesadarannya penuh kembali.

"Aku bukan orang jahat. Aku hanya penasaran dengan kebenaran cerita terkenal di luar sana bahwa ada sosok anak kecil penghuni peron stasiun emerald. Ternyata itu kamu ya?" ucapnya mengawali percakapan.

"Apa maksudnya penghuni? Ayahku bekerja di sini. Aku hanya ikut menemaninya sepanjang malam," balas anak itu. Dira masih penasaran dan bertanya banyak hal. Khususnya tentang kebiasaan anak itu duduk di ujung peron dan tidak pernah ditemui oleh petugas. 

Anak itu menjelaskan bahwa itu hanya bualan belaka. Cerita yang sengaja dibesar-besarkan supaya stasiun ini terkenal. Katanya, semua petugas keamanan stasiun di sini mengenalnya. Ia menyukai duduk di ujung peron karena dari sini terlihat jelas pemandangan bintang di langit malam. 

"Di sini sangat tenang dan aku bisa berpikir tentang bagaimana besok aku datang ke sekolah," begitu kalimat si anak. 

"Apa maksudnya?" tanya Dira heran. 

"Aku takut ke sekolah. Tidak ada yang ingin berteman denganku. Sejujurnya aku tidak pernah menceritakan ini kepada Ayah. Dia tidak perlu mengetahuinya," wajah anak itu tampak sedih dan muram. 

Ia melanjutkan bahwa dirinya merasa nyaman saat duduk berlama-lama di peron sambil menungguh Ayahnya yang sedang bertugas. Setelah lelah seharian menghadapi banyak orang di sekolah yang melakukan perundungan kepadanya, ia merasa menemukan tempat aman di peron yang sepi ini. Isi kepalanya yang semerawut akhirnya bisa tenang dan merasa syahdu kala ia senandungkan lagu kesukaanya. Itulah alasan mengapa dia selalu menikmati kesendiriannya duduk di ujung peron stasiun dan sengaja menghindari keramaian stasiun. 

Dira akhirnya paham dan bisa mengerti perasaan anak tersebut. Jauh dalam benaknya, Dira sangat menyayangkan malangnya nasib anak sekecil ini yang tidak bisa menikmati masa kanak-kanaknya dengan rasa gembira bermain bersama teman-teman. 

"Aku Dira. Bolehkah aku menjadi temanmu?" sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan. 

"Aku Gio," sambil menjabat kuat tangan Dira. 

Kurang lebih 30 menit mereka berbincang. Dira berhati-hati sekali saat berbicara karena ia sadar betapa traumanya Gio bertemu dengan orang baru. Pertemuan malam itu memberikan pelajaran baru kepada Dira bahwa manusia ternyata lebih menyeramkan daripada hantu. Perkataan dan perbuatan buruk tanpa sadar dapat membuat orang lain trauma. Dan hal tersebut jauh lebih menakutkan dibanding bertemu hantu.

Ilustrasi peron. Photo by Thiago Matos: Pexels.com
Ilustrasi peron. Photo by Thiago Matos: Pexels.com

Misteri penghuni peron Stasiun Emerald malam itu terpecahkan oleh Dira. Rasa penasarannya akhirnya terjawab sekaligus haru mendengar kisah malang dari penghuni peron yang terkenal. 

Sejak saat itu, Dira hanya tersenyum saat mendengar cerita tentang sosok misterius di peron stasiun. Hari hari selanjutnya, selama menunggu kereta terakhir tiba, Dira menghabiskan waktu bersama Gio dalam keramaian di ujung peron Stasiun Emerald.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun