Sudahkah anda melihat berita seorang Ibu hamil yang mengalami keguguran setelah emosional dalam kereta?Â
Kejadian tidak menyenangkan baru saja menimpa seorang Ibu hamil yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di transportasi umum. Kejadian viral tersebut bukan yang pertama kalinya terjadi. Attitude mengambil video/foto orang lain seenaknya tanpa izin dan mengunggahnya ke sosial media merupakan tindakan yang mengganggu bahkan mengancam privasi orang lain. Sangat diharapkan attitude ini tidak berubah menjadi kebiasaan masyarakat kita. Dari kejadian tersebut juga sangat disayangkan bahwa empati dan simpati dalam masyarakat masih menjadi masalah serius.
Dikutip dari KBBI, empati dan simpati memiliki perbedaan yang signifikan. Apakah kompasianer tahu perbedaannya?Â
Simpati adalah keterlibatan emosi seperti rasa kasihan kepada seseorang meskipun belum pernah mengalami hal yang sama. Sedangkan, empati adalah keterlibatan pikiran dan perasaan jika kejadian yang sama menimpa dirinya. Â
Memiliki empati dalam diri memungkinkan kita untuk tidak dengan mudahnya menghakimi orang lain. Empati membantu kita meninjau kembali hal yang boleh dan tidak boleh disampaikan. Empati mengarahkan kita untuk berperilaku lebih manusiawi terhadap sesama. Empati membedakan kita sebagai ciptaan yang memiliki hati nurani.Â
Kebebasan bersuara menyampaikan pendapat di era digital melalui peran sosial media. Tidak hanya berdampak positif untuk perubahan, tetapi juga menumpulkan kemampuan masyarakat kita berempati. Sebut saja kasus cyberbullying, ujaran kebencian, dan perang komentar sudah banyak terjadi bahkan untuk anak-anak dibawah umur. Oleh karena itu, tidak bosan-bosannya selalu mengingatkan pentingnya orangtua mengawasi dan mengatur screen time pada anak-anaknya.Â
Saya setuju bahwa sosial media menjadi wadah bagi masyarakat menyuarakan pendapat. Namun, sebagian besar masyarakat belum terlatih bagaimana cara menyampaikan pendapat dengan baik dan benar.Â
Sosial media dijadikan sebagai ajang debat oleh netizen yang sibuk membuktikan bahwa opininya paling benar. Ada juga netizen yang memposisikan diri senetral mungkin dan menawarkan pandangannya dari sisi berbagai pihak yang terlibat. Saya sangat mengapresiasi netizen yang berpikir demikian.
Disisi lain ada pula kebiasaan netizen yang gampang menilai kehidupan orang lain berdasarkan postingan. Gampang terjebak memberikan komentar seenaknya tanpa mencari info lebih lanjut tentang konteks permasalahan. Mudah tersulut emosi akibat provokasi media massa hingga mengganggu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Â
Lalu, apakah berempati itu berarti selalu berada di tengah untuk main aman?Â
Menurut saya, tidak. Perbedaan pendapat sudah pasti ada dan bukan suatu pelanggaran. Masalahnya adalah apakah kita bisa menghargai perbedaan tersebut? Apakah kita tetap bisa hidup berdampingan tanpa mengkotak-kotakan perbedaan?Â
Disinilah peran empati diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik yang merugikan. Kenyataannya tidak mudah untuk mengaplikasikan empati. Bukan karena tidak bisa, tetapi lebih kepada niat. Misalnya, supaya bisa mendapatkan eksposure maka sengaja dibuat narasi yang menyinggung kelompok masyarakat tertentu. Ujungnya, ada pihak yang diuntungkan dan lainnya dirugikan.Â
Pengaruh era digital berefek pada pergeseran hidup masyarakat Indonesia ke arah individualistis. Pelan-pelan budaya bangsa kita yang mengutamakan musyawarah, diskusi sehat, menghargai perbedaan mulai terkikis. Terlalu banyak informasi yang tidak disaring terlebih dahulu rawan menyesatkan pola pikir dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, masyarakat kita akan terperangkap dalam lingkaran setan saling menyalahkan alih-alih bekerja sama mencari solusi untuk memajukan bangsa.Â
Sekian. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H