Nama Iriana Jokowi sempat ramai diperbincangkan di platform Twitter hingga masuk ke dalam trending Indonesia. Meme satire dari pengguna akun @kaprofiljati yang melibatkan sosok Iriana Jokowi ini, tuai sorotan sebab dinilai telah menyinggung SARA. Meme yang umumnya dipakai sebagai ekspresi politik, praktiknya di dunia maya nyatanya justru kian diperkeruh dengan menyoal hal yang seharusnya tidak dijadikan bahan canda ataupun satire.Â
meme selain menjadi guyonan menggelak tawa, tetapi juga dapat menjadi media kritik dalam balutan satire. Namun tidak jarang, meme satire malah disalahgunakan untuk menyerang individu secara personal. Lalu yang kini menjadi pertanyaan, apakah eksistensi meme masih menjadi bagian dari komedi satire ataukah hanya cuitan asal tak bermoral?Â
KedudukanMeme Culture sebagai Konstelasi Politik
Meme satire dalam jagat politik sudah tidak asing, bahkan menjadi santapan sehari-hari. Kental akan selipan-selipan kritik, meme satire diusung oleh dua faktor dominan, yakni superioritas-inferioritas dan bisosiasi. Konteks superioritas-inferioritas terletak pada positioning, yaitu adanya pihak yang ditertawakan dan menertawakan.Â
Bisosiasi melirik tajam keganjilan dan kemerosotan kinerja politikus sebagai suatu humor sarkas. Hal ini selaras dengan tutur yang diucapkan Hasan (1981) dalam Humor dan Kepribadian, yakni meme satire dalam ranah politik dianggap sebagai "kotak suara segar" atau bentuk media kreatif baru hasil kombinasi degradasi dan agresif politik. Â
Menjamurnya meme culture sebagai sarana kritik, memunculkan simplifikasi alat yang mampu menciptakan meme-nya sendiri. Kemudahan tersebut yang dimanfaatkan pengguna media sosial untuk vokal menyuarakan partisipasi politiknya. Strategi politik dengan format kreatif mampu melawan secara simbolik terhadap realitas sosial politik yang chaos.Â
Namun, patut disayangkan kritik yang seharusnya membangun melalui narasi dalam meme dikesampingkan esensinya. Media baru atau new media memberikan celah untuk muatan ujaran kebencian terselip dalam meme dengan dalih guyon dan tak perlu dibawa serius.Â
Perundungan dengan Dalih Komedi Satire
Awalnya, meme hanyalah guyonan antar pengguna media sosial tanpa melibatkan unsur politik di dalamnya. Pesatnya perkembangan kesadaran politik di tengah masyarakat, mendobrak kebiasaan baru dalam menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah.Â
Dalam hal ini, meme satire menyuguhkan kritik serta masukan dalam kemasan humor menggelitik. Meme satire yang dikemas apik dalam cuitan-cuitan Twitter sudah ada sejak lama, bahkan melanglang buana. Beda halnya dengan sarkas yang "pedas", satire sifatnya "menyentil" oposisi tertentu dalam balutan cuitan jenaka. Tentu tujuan utamanya adalah agar pihak yang dijadikan meme satire bermawas diri. Namun bagaimanapun, komedi tetap harus kontekstual dan tidak menyerang individu hingga ke ranah privat.
Belakangan ini, meme satire kembali dipertanyakan esensinya. Pasalnya kali ini meme satire bernada melecehkan, menyerang figur Iriana Jokowi. Pengguna Twitter dengan username @kaprofiljati kian diburu layaknya buron dunia maya. Netizen yang turut kesal dengan gesit mengantongi sekaligus menguliti identitas pemilik akun tersebut.Â
Usut punya usut, sosok kontroversial Kharisma Jati-lah dalang dari meme yang melecehkan Iriana Jokowi ketika sedang bersanding dengan Ibu Negara Korea Selatan, Kim Keon Hee. Nama Kharisma Jati seolah familier di kalangan pencinta komik juga komikus.Â
Bukannya menyandang predikat yang baik, Kharisma justru terjerat dalam catatan hitam di dunia perkomikan Indonesia. Hal ini lantaran ia telah beberapa kali disindir soal muatan gambar eksplisit pornografi dan alur cerita amoral dalam komiknya. Ia berulah kembali setelah sebelumnya tersandung kasus "komedi sakit" di tahun 2016 silam.Â
Kali ini ia menyenggol Ibu Negara Indonesia dengan meme-nya yang merendahkan Ibu Iriana sebagai pembantu. Kaesang dan Gibran yang tidak terima ibunya dilecehkan lantas mempertanyakan maksud cuitan Kharisma tersebut. Tidak ingin meme satirenya diseret ke meja hijau, Kharisma membuat cuitan klarifikasi. Kilahnya meme tersebut hanyalah guyonan belaka. Siapa sangka, kini Kharisma terancam mendekam di balik jeruji besi akibat unggahan meme satire-nya tersebut.Â
Bebas Bersuara Bukan Berarti Asal Bicara
Kharisma Jati hanya segelintir dari banyaknya akun anonim yang menyalahgunakan meme satire sebagai pelampiasan kebencian. Kebebasan bersuara yang tidak diiringi rasa tanggung jawab hanya akan menimbulkan kekisruhan. Bagai pisau bermata dua, meme satire dapat menjadi "sentilan halus" ataupun celoteh liar yang sekadar memanjakan ego semata.Â
Berkaca dari kasus tersebut, masyarakat harus mampu lebih bijak dalam membedakan kritik dengan ujaran kebencian. Selain itu, meme satire yang sudah disampaikan secara tepat dan tidak menyinggung ranah privat perlu direspons dengan kepala dingin.Â
Kendati kebebasan bersuara telah diatur dalam Undang Undang Negara, ada etika yang perlu dijunjung dalam bermedia sosial. Muatan kebebasan berpendapat yang disematkan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak serta merta melepaskan zirah tanggung jawab yang dibebankan pada semua orang tidak terkecuali. Tidak semua intuisi harus disuarakan, terlebih lagi jika hanya memuat asumsi dan prasangka. Oleh karenanya, untuk membatasi opini yang keluar dari konteks, maka hadir Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik.
Kritik tanpa sematan solusi bukanlah cara yang tepat untuk menggerakkan roda perubahan. Perlu diakui meme satire lebih mudah menyelusup ke setiap celah kursi pemangku jabatan daripada cuitan sarkasme. Tidak hanya itu, meme satire bahkan mampu mengendurkan ketegangan penyampaian kritik. Sungguhpun demikian, perlu adanya "rem" sebelum meme satire hanya akan menjadi "arang hitam".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H