Usut punya usut, sosok kontroversial Kharisma Jati-lah dalang dari meme yang melecehkan Iriana Jokowi ketika sedang bersanding dengan Ibu Negara Korea Selatan, Kim Keon Hee. Nama Kharisma Jati seolah familier di kalangan pencinta komik juga komikus.Â
Bukannya menyandang predikat yang baik, Kharisma justru terjerat dalam catatan hitam di dunia perkomikan Indonesia. Hal ini lantaran ia telah beberapa kali disindir soal muatan gambar eksplisit pornografi dan alur cerita amoral dalam komiknya. Ia berulah kembali setelah sebelumnya tersandung kasus "komedi sakit" di tahun 2016 silam.Â
Kali ini ia menyenggol Ibu Negara Indonesia dengan meme-nya yang merendahkan Ibu Iriana sebagai pembantu. Kaesang dan Gibran yang tidak terima ibunya dilecehkan lantas mempertanyakan maksud cuitan Kharisma tersebut. Tidak ingin meme satirenya diseret ke meja hijau, Kharisma membuat cuitan klarifikasi. Kilahnya meme tersebut hanyalah guyonan belaka. Siapa sangka, kini Kharisma terancam mendekam di balik jeruji besi akibat unggahan meme satire-nya tersebut.Â
Bebas Bersuara Bukan Berarti Asal Bicara
Kharisma Jati hanya segelintir dari banyaknya akun anonim yang menyalahgunakan meme satire sebagai pelampiasan kebencian. Kebebasan bersuara yang tidak diiringi rasa tanggung jawab hanya akan menimbulkan kekisruhan. Bagai pisau bermata dua, meme satire dapat menjadi "sentilan halus" ataupun celoteh liar yang sekadar memanjakan ego semata.Â
Berkaca dari kasus tersebut, masyarakat harus mampu lebih bijak dalam membedakan kritik dengan ujaran kebencian. Selain itu, meme satire yang sudah disampaikan secara tepat dan tidak menyinggung ranah privat perlu direspons dengan kepala dingin.Â
Kendati kebebasan bersuara telah diatur dalam Undang Undang Negara, ada etika yang perlu dijunjung dalam bermedia sosial. Muatan kebebasan berpendapat yang disematkan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak serta merta melepaskan zirah tanggung jawab yang dibebankan pada semua orang tidak terkecuali. Tidak semua intuisi harus disuarakan, terlebih lagi jika hanya memuat asumsi dan prasangka. Oleh karenanya, untuk membatasi opini yang keluar dari konteks, maka hadir Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik.
Kritik tanpa sematan solusi bukanlah cara yang tepat untuk menggerakkan roda perubahan. Perlu diakui meme satire lebih mudah menyelusup ke setiap celah kursi pemangku jabatan daripada cuitan sarkasme. Tidak hanya itu, meme satire bahkan mampu mengendurkan ketegangan penyampaian kritik. Sungguhpun demikian, perlu adanya "rem" sebelum meme satire hanya akan menjadi "arang hitam".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H