Mohon tunggu...
Sella F . Maharani
Sella F . Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Psikologi, Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Politik Islam: Ibarat Ayam Mati di Lumbung Padi

1 Desember 2015   22:17 Diperbarui: 1 Desember 2015   22:43 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MALANG - Menjelang Pilkada mendatang partai politik islam tak berkibar seperti dahulu kala. Saat ini masyarakat lebih memberikan perhatiannya pada partai nasionalis. Puncak penurunan partai politik islam mulai dirasa sejak hasil pemilu tahun 2014 lalu. Setelah tahun 1955 dimana partai islam saat itu mampu memperoleh 47% suara, lambat laun dari masa ke masa prosentasinya pun semakin menurun. Maka tak khayal, jika sejak 2 periode terakhir dari pemilu tahun 2009 dengan tahun 2014, partai politik islam tidak pernah memiliki lebih dari 39 kursi di DPR RI. Tentu lah kedudukan tersebut tidak dapat memberikan pengaruh yang signifikan dibanding partai nasionalis lainnya. Porsi tersebut seolah – olah didapat oleh partai islam hanya karena partai islam “masih dianggap ada” namun tentulah hal ini tidak terlalu memberikan pengaruh besar terhadap hak suaranya di DPR apalagi untuk Indonesia.

Namun fenomena ini dibantah oleh JK pada pidatonya saat acara pelantikan Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI), JK membantah penilaian sejumlah pihak yang menyebutkan kecenderungan partai Islam di Indonesia saat ini mengalami penurunan. Diungkapkannya, adanya sejumlah alumni HMI yang kini menjadi pimpinan berbagai partai politik menunjukkan bahwa partai-partai nasionalis itu justru menjadi Islami.

“(Trend) Partai Islam mengecil? Salah! Kalau Golkar Ketuanya saya dan Pak Akbar, apa bedanya dengan PPP. Kalau Demokrat ketuanya Anas, apa bedanya dengan PAN?” jelasnya.

Mengkritisi pernyataan JK tersebut, tentulah keberadaan para tokoh HMI yang notabennya berbasis islam tidak dapat merubah apapun dalam sistem partai nasionalis. Partai nasionalis akan tetap menjadi partai nasional yang berasaskan ideologi dan asas – asas kenegaraan. Hal ini jelas berbeda dengan iklim partai islam yang lebih menjunjung nilai- nilai islam dalam berpolitik. Meskipun banyak tokoh HMI yang menjadi pimpinan hal ini tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan partai islam terbukti dari masa kemasa partai islam mengalami penurunan dalam mendapatkan suara rakyat. Menurut JK, dengan adanya sejumlah partai nasionalis yang di pimpin oleh tokoh islam hal ini menjadikan partai nasionalis menjadi islam. Menangggapi hal tersebut penulis lebih memandang bukan partai nasionalis yang menjadi islam, akan tetapi islamlah yang “tergerus” oleh nilai- nilai nasional.

Hal ini senada disampaikan pula oleh Mahfud MD, dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI Menurut Mahfud, misi KAHMI adalah ingin meng-Indonesia-kan Islam, dan sebaliknya bukan meng-Islam-kan Indonesia.

“Meng-Indonesia-kan Islam, yaitu menyesuaikan Islam dengan fakta-fakta karakter aslinya dengan pluralisme Indonesia. Berbeda dengan meng-Islam-kan Indonesia yang memberikan kesan memaksakan Islam untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata Mahfud.

Berdasarkan pernyataan tersebut, tersirat adanya tujuan untuk mengfleksibelkan nilai – nilai islam dalam pluralisme Indonesia. Hal ini yang semestinya perlu diperhatikan lebih lanjut. Ketika nilai islam akan dibuat sedemikian fleksibel, hal ini akan menjadi hilangnya karakteristik atau ciri khas partai islam itu sendiri. Jika para petinggi KAHMI menerapkan hal serupa pada partai yang dipimpinnya, hal ini tidak akan sejalan dengan pernyataan JK, alih-alih partai nasionalis menjadi islam, yang ada partai islam semakin terancam eksistensinya karena kehilangan ciri khas yang dimiliki selama ini.

Jika memang partai nasioanalis sama halnya dengan partai islam. Lalu, mengapa JK dan Anas lebih memilih untuk memimpin partai nasionalis ketimbang partai islam, bukankah itu sama saja??

Maka, dalam meningkatkan eksistensi partai islam agar berjaya kembali perlu adanya dukungan yang solid dari para tokoh politik islam. Terlebih para kader cetakan HMI sangatlah banyak dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia namun hal ini tidak sejalan dengan kemajuan partai islam itu sendiri. Tentu hal ini sangat disayangkan karena salah satu penerus partai islam seharusnya dapat berangkat dari organisasi yang berbasis islam itu sendiri.

 

Langkah Perubahan

 

Terlepas dari hal tersebut, banyak pertanyaan yang terlontar tentang “Mengapa partai islam mengalami penurunan? padahal Indonesia memiliki mayoritas penduduk muslim?”.

Pertanyaan seperti ini sering muncul ketika banyak masyarakat lain yang ramai membicarakan penurunan partai politik islam di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat mengaca pada hal baik yang dimiliki oleh partai nasionalis selama ini yang banyak memenangkan suara di pemilu. Hal utama terpilihnya sebuah partai tentulah tak lepas dari tokoh yang memimpinnya. Jika partai nasionalis memiliki pemimpin yang berkharisma seperti jokowi atau prabowo yang mampu menggiring rakyat untuk memilih, Maka partai islam saat ini juga perlu adanya tokoh kharismatik untuk dapat mulai kembali “memikat” hati rakyat. Mengapa perlu tokoh yang kharismatik ?

Pada dasarnya mayoritas orang, termasuk rakyat Indonesia lebih senang untuk berfikir sederhana, cepat dan praktis ketimbang cara berfikir yang kompleks dengan mengelola beberapa informasi yang kemudian menimbangnya secara akurat. Tokoh kharismatik tentulah dapat “menghipnotis” secara cepat dan mudah diinggat dalam pengambilan keputusan suara. Namun dalam hal ini, tokoh kharismatik bukanlah hanya sekedar tokoh yang mampu menarik perhatian rakyat secara fisik akan tetapi tokoh kharismatik yang dimaksudkan berdasarkan konsep Max Weber ialah tokoh pemimpin yang memiliki kualitas pribadi tertentu yang membedakan nya dari orang kebanyakan yang memiliki kualitas dan kekuatan yang lebih. Diharapkan adanya tokoh kharismatik dalam partai islam mampu mengembalikan kejayaan yang dulu pernah di raih.

Adanya perpecahan dalam islam juga membentuk persepsi yang negatif pada rakyat, terbaginya islam dalam beberapa kelompok membuat rakyat muslim Indonesia tidak dapat bersatu dalam menyuarakan hak pilihnya. Terpecahnya beberapa paham tentang islam akan membuat rawan konflik antar partai islam itu sendiri. Oleh karena itu menurut teori konflik realistis, perlu adanya tujuan yang lebih tinggi (superordinate) untuk dapat kembali menghidupkan partai islam, jadi tidak hanya sekedar mementingkan kepentingan kelompok tetapi tujuan yang lebih tinggi adalah menciptakan perdamaian dan kesejahteraan pada rakyat melalui nilai- nilai islam yang sebenar – benarnya islam. Tentulah hal ini perlu adanya rasa solid dan kebersamaan yang tinggi antar partai islam di Indonesia untuk tidak saling menjatuhkan akan tetapi saling bersatu untuk membentuk partai islam yang memang menggambarkan islam itu sendiri, sehingga islam dan partainya tidak muncul dengan perbedaan paham dan terbagi dalam beberapa kelompok karena hal ini akan membingungkan rakyat tentang pilihan mereka terhadap partai islam.

Hal lain yang membuat rakyat tidak menaruh kepercayaannya pada partai islam adalah ketidakmampuan partai-partai Islam untuk menyelesaikan persoalan riil yang terjadi di tengah masyarakat, seperti isu kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Hal ini terbukti ketika tokoh partai islam mampu menduduki kursi presiden beberapa waktu lalu, banyak kebijakan – kebijakan yang dinilai tidak mampu menyelesaikan permasalahan serta adanya beberapa kinerja yang dinilai belum efektif . Maka dalam hal ini berdasarkan teori gaya kepemimpinan dari Thomas Preston dan teori pola kognitif pemimpin dari Suedfeld & Tetlock, penting bagi partai politik islam memiliki tokoh pemimpin yang memiliki kemampuan kompleksitas kognitif dan konseptual yang tinggi serta memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memiliki minat terhadap kebijakan luar negeri sehingga mampu menjawab tantangan dari dalam maupun luar negeri yang tentunya berdampak pada kesejahteraan rakyat bukan kelompok.

Selain itu adanya beberapa tokoh dari partai islam yang terjerat dalam kasus pidana, menjadikan dampaknya bukan hanya pada perorangan tapi lebih kepada kelompok, sehingga hal ini membentuk prasangka yang negatif dan memengaruhi persepsi rakyat dalam pemiluhan berikutnya. Dalam hal ini, penting bagi partai islam untuk benar – benar menjaga “image” partainya, karena partai islam yang mengusung dan menjunjung nilai islam, lebih rentan terhadap penilaian negatif dari masyarkat sebab nilai – nilai islam yang di bawa ialah sebuah nilai kesempurnaan, ketika ada beberapa tokoh yang tidak dapat berperilaku layaknya orang islam maka hal ini akan lebih mendapatkan perhatian dari rakyat berupa membandingkan perilaku individu terhadap nilai-nilai yang dianut kelompok dan dampaknya ialah penilaian yang negatif terhadap kelompok partai islam sendiri.

Dengan adanya beberapa analisis sederhana tersebut, diharapkan dapat dijadikan bahan renungan bagi elemen partai politik islam untuk meraih kejayaan kembali di dunia politik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun