Terlepas dari hal tersebut, banyak pertanyaan yang terlontar tentang “Mengapa partai islam mengalami penurunan? padahal Indonesia memiliki mayoritas penduduk muslim?”.
Pertanyaan seperti ini sering muncul ketika banyak masyarakat lain yang ramai membicarakan penurunan partai politik islam di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat mengaca pada hal baik yang dimiliki oleh partai nasionalis selama ini yang banyak memenangkan suara di pemilu. Hal utama terpilihnya sebuah partai tentulah tak lepas dari tokoh yang memimpinnya. Jika partai nasionalis memiliki pemimpin yang berkharisma seperti jokowi atau prabowo yang mampu menggiring rakyat untuk memilih, Maka partai islam saat ini juga perlu adanya tokoh kharismatik untuk dapat mulai kembali “memikat” hati rakyat. Mengapa perlu tokoh yang kharismatik ?
Pada dasarnya mayoritas orang, termasuk rakyat Indonesia lebih senang untuk berfikir sederhana, cepat dan praktis ketimbang cara berfikir yang kompleks dengan mengelola beberapa informasi yang kemudian menimbangnya secara akurat. Tokoh kharismatik tentulah dapat “menghipnotis” secara cepat dan mudah diinggat dalam pengambilan keputusan suara. Namun dalam hal ini, tokoh kharismatik bukanlah hanya sekedar tokoh yang mampu menarik perhatian rakyat secara fisik akan tetapi tokoh kharismatik yang dimaksudkan berdasarkan konsep Max Weber ialah tokoh pemimpin yang memiliki kualitas pribadi tertentu yang membedakan nya dari orang kebanyakan yang memiliki kualitas dan kekuatan yang lebih. Diharapkan adanya tokoh kharismatik dalam partai islam mampu mengembalikan kejayaan yang dulu pernah di raih.
Adanya perpecahan dalam islam juga membentuk persepsi yang negatif pada rakyat, terbaginya islam dalam beberapa kelompok membuat rakyat muslim Indonesia tidak dapat bersatu dalam menyuarakan hak pilihnya. Terpecahnya beberapa paham tentang islam akan membuat rawan konflik antar partai islam itu sendiri. Oleh karena itu menurut teori konflik realistis, perlu adanya tujuan yang lebih tinggi (superordinate) untuk dapat kembali menghidupkan partai islam, jadi tidak hanya sekedar mementingkan kepentingan kelompok tetapi tujuan yang lebih tinggi adalah menciptakan perdamaian dan kesejahteraan pada rakyat melalui nilai- nilai islam yang sebenar – benarnya islam. Tentulah hal ini perlu adanya rasa solid dan kebersamaan yang tinggi antar partai islam di Indonesia untuk tidak saling menjatuhkan akan tetapi saling bersatu untuk membentuk partai islam yang memang menggambarkan islam itu sendiri, sehingga islam dan partainya tidak muncul dengan perbedaan paham dan terbagi dalam beberapa kelompok karena hal ini akan membingungkan rakyat tentang pilihan mereka terhadap partai islam.
Hal lain yang membuat rakyat tidak menaruh kepercayaannya pada partai islam adalah ketidakmampuan partai-partai Islam untuk menyelesaikan persoalan riil yang terjadi di tengah masyarakat, seperti isu kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Hal ini terbukti ketika tokoh partai islam mampu menduduki kursi presiden beberapa waktu lalu, banyak kebijakan – kebijakan yang dinilai tidak mampu menyelesaikan permasalahan serta adanya beberapa kinerja yang dinilai belum efektif . Maka dalam hal ini berdasarkan teori gaya kepemimpinan dari Thomas Preston dan teori pola kognitif pemimpin dari Suedfeld & Tetlock, penting bagi partai politik islam memiliki tokoh pemimpin yang memiliki kemampuan kompleksitas kognitif dan konseptual yang tinggi serta memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memiliki minat terhadap kebijakan luar negeri sehingga mampu menjawab tantangan dari dalam maupun luar negeri yang tentunya berdampak pada kesejahteraan rakyat bukan kelompok.
Selain itu adanya beberapa tokoh dari partai islam yang terjerat dalam kasus pidana, menjadikan dampaknya bukan hanya pada perorangan tapi lebih kepada kelompok, sehingga hal ini membentuk prasangka yang negatif dan memengaruhi persepsi rakyat dalam pemiluhan berikutnya. Dalam hal ini, penting bagi partai islam untuk benar – benar menjaga “image” partainya, karena partai islam yang mengusung dan menjunjung nilai islam, lebih rentan terhadap penilaian negatif dari masyarkat sebab nilai – nilai islam yang di bawa ialah sebuah nilai kesempurnaan, ketika ada beberapa tokoh yang tidak dapat berperilaku layaknya orang islam maka hal ini akan lebih mendapatkan perhatian dari rakyat berupa membandingkan perilaku individu terhadap nilai-nilai yang dianut kelompok dan dampaknya ialah penilaian yang negatif terhadap kelompok partai islam sendiri.
Dengan adanya beberapa analisis sederhana tersebut, diharapkan dapat dijadikan bahan renungan bagi elemen partai politik islam untuk meraih kejayaan kembali di dunia politik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H