Mohon tunggu...
Seliara
Seliara Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Dentist

Bahagia berkarya dan berbagi sebagai wujud rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Hidup (Bukan) Sebuah Kompetisi

20 Juni 2021   01:03 Diperbarui: 2 November 2023   21:59 2070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi burung laut dan kepiting laut. Sumber: Gambar oleh Sergio Sartirana dari Pixabay

Pengumuman SBMPTN baru saja berlalu. Beberapa hari belakangan ini, di berbagai beranda medsos banyak orang tua yang dengan bangga mengabarkan sang anak diterima di PTN ternama. 

Ada sebagian yang memajang tangkapan layar lengkap dengan nama anak, fakultas serta nama PTN yang bersangkutan. Sontak kabar gembira itupun langsung dibanjiri tanda 'like' dan ucapan selamat. 

Saya bisa merasakan kebahagiaan orang tua itu. Ya, saya juga pernah mengalaminya, saat si bungsu lulus SBMPTN dua tahun lalu. 

Bedanya, saat itu anak saya tidak mau saya menulis kabar itu di beranda medsos saya, alasannya banyak temannya yang belum dapat PTN, termasuk sepupunya pada saat itu.

Memang, bagi yang sama-sama lulus SBMPTN, sama sekali tak masalah, bahkan bisa merayakan kebahagiaan bersama-sama.

Tapi hal berbeda akan dirasakan bagi yang tidak lulus SBMPTN. Pasti ada rasa sedih, kecewa dan mungkin merasa 'kurang beruntung' melihat keberhasilan mereka yang sudah mendapatkan kampus impian.

Nah, setelah sang sepupu dan teman-temannya diterima di PTN melalui jalur mandiri, barulah si bungsu mengizinkan saya menulis berita gembira itu di beranda medsos saya. 

Apakah hidup sebuah kompetisi?

Ilustrasi anak kura-kura menuju pantai. sumber: iStockphoto
Ilustrasi anak kura-kura menuju pantai. sumber: iStockphoto
Sangat mudah untuk mengatakan bahwa hidup bukanlah kompetisi, tetapi sulit untuk menghilangkan kecemburuan dalam diri kita. Dibutuhkan lebih banyak refleksi diri dan pemahaman tentang siapa dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita, untuk mengatasi kecemburuan itu.

Kita hidup dalam budaya yang sangat kompetitif. Di awal kehidupan, secara langsung atau tidak, kita terbiasa berkompetisi dengan saudara kandung (sibling rivalry). 

Sibling rivalry bisa diartikan sebagai kompetisi antar saudara kandung, baik antar saudara kandung yang berjenis kelamin sama ataupun berbeda. 

Kompetisi ini diwarnai oleh rasa iri, cemburu, dan persaingan. Bersaing untuk mendapatkan sesuatu, seperti perhatian ibu, mainan baru, dan lain-lain. 

Saat kita keluar ke 'dunia nyata', saat masih kecil hingga beranjak dewasa, kita mulai bersaing dengan teman-teman bermain, teman-teman sekolah, rekan kerja, dan lainnya, terutama dalam kehidupan profesional kita.

Kita diajari secara langsung dan tidak langsung bahwa kompetisi ini adalah hal yang baik dan penting untuk kesuksesan. Fokus pada kompetisi, membuat kita berhubungan dengan kehidupan sebagai permainan yang ingin kita menangkan atas orang-orang yang menjadi pesaing kita, bahkan jika mereka adalah orang yang paling kita cintai dan sayangi.

Sejak kecil, kita terkesan dihadapkan pada kompetisi. Misal berkompetisi untuk mendapatkan sekolah terbaik, berkompetisi dengan ratusan ribu siswa di seluruh Indonesia untuk memperebutkan kursi di PTN yang jumlahnya terbatas. Setelah lulus kuliah juga berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, dan seterusnya.

Betapa melelahkannya hidup dengan beragam kompetisi yang tiada akhir dan ujungnya itu!

Efek negatif kompetisi

Ilustrasi burung laut dan kepiting laut. Sumber: Gambar oleh Sergio Sartirana dari Pixabay
Ilustrasi burung laut dan kepiting laut. Sumber: Gambar oleh Sergio Sartirana dari Pixabay
Dalam kompetisi selalu ada pihak yang menang dan kalah. Bila tidak menang, berarti kita berada di pihak yang kalah. Sangat jarang untuk mendapat nilai 'seri' dalam sebuah kompetisi. Kalah sering diartikan 'tak cukup baik' dibanding sang pemenang. 

Celakanya itulah efek negatif kompetisi. Sering berada di pihak yang 'kalah' dengan beragam lawan yang lebih hebat, sangat berpotensi meluncurkan harga diri ke kedalaman samudera. 

Hal itu secara langsung maupun tidak langsung bisa mempengaruhi hubungan kita dengan anggota keluarga, orang yang dicintai, teman, dan bahkan kolega. Hal ini kemudian dapat menyebabkan kecemasan, penilaian, kemarahan, kesepian, dan stress.

Sangat penting untuk mengubah efek negatif ini, sehingga kita bisa tumbuh, belajar, dan menerima diri kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Tapi bagaimana cara melakukannya?

Ilustrasi kepiting. Sumber: Gambar oleh Franklin Medina dari Pixabay
Ilustrasi kepiting. Sumber: Gambar oleh Franklin Medina dari Pixabay
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keinginan untuk 'memenangkan kompetisi' apa pun yang kita usahakan dalam hidup. 

Masalahnya adalah karena rasa tidak aman di hati, kita sering fokus untuk mengalahkan orang lain, atau berpikir bahwa kesuksesan, bakat, atau bahkan kebahagiaan orang lain ada hubungannya dengan kita. Sering ada rasa sesak di dada jika melihat orang lain lebih berhasil atau lebih sukses dari kita.

Dengan kata lain, kita berusaha 'mengalahkan' orang lain, untuk merasa diri lebih baik, lebih superior dan lebih segalanya. Hal ini sangat berbahaya, sering menimbulkan stress, kontra produktif dan penyakit mental lainnya.

Di atas langit masih ada langit. Mustahil akan selamanya menjadi pemenang.  Selalu ada orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih keren, lebih cantik, lebih ganteng, lebih dermawan dan lain-lain.

Jadi bagaimana kompetisi yang sehat itu? Bukankah sebenarnya tak ada yang salah dengan keinginan untuk memenangkan kompetisi?

Perbedaan Penting antara Kompetisi Positif dan Kompetisi Negatif

Ilustrasi dua kupu-kupu. Sumber: Gambar oleh Gerhard Bögner dari Pixabay
Ilustrasi dua kupu-kupu. Sumber: Gambar oleh Gerhard Bögner dari Pixabay
Baiklah, ada baiknya kita mengenal dua jenis kompetisi, yaitu kompetisi positif dan kompetisi negatif. Selama ini secara tidak sadar kita sering dihadapkan pada kompetisi negatif. 

Kompetisi negatif, berasal dari pengalaman selama ini bahwa ketika kita menang, kita merasa 'lebih baik', dan ketika kalah, kita merasa 'lebih buruk'. Ini semua tentang menjadi merasa lebih baik atau lebih rendah dari orang lain. Berdasarkan faktor eksternal, hasil, dan pencapaian tertentu, tidak ada yang pernah 'menang'  dalam skenario ini.

Kompetisi positif adalah kompetisi yang menantang diri kita sendiri, mendorong dan membiarkan bakat, keterampilan, dan dukungan orang lain membantu kita ke tingkat berikutnya, melangkah lebih maju, dengan memaksimalkan potensi kita. 

Dengan kompetisi positif ini, kita bisa mengadaptasi cara dan kerja keras orang lain dalam meraih sukses, sebagai motivasi dan inspirasi. 

Kompetisi positif memandang orang lain sebagai satu tim, bukan sebagai lawan. Bila ada teman yang berhasil lulus SBMPTN, ucapkan selamat dan berikan doa terbaik. 

Ikut berbahagia dengan keberhasilan orang lain, akan membuat kita terinspirasi dan bersemangat. 

Ketika kita berkompetisi dengan cara yang positif dan sadar ini, percayalah, hidup akan terasa lebih indah, bermakna, dan sehat. 

Kita tak perlu merasa lebih baik atau lebih buruk dari orang lain, tak perlu menentukan siapa yang menjadi pemenang atau pecundang. Semua orang punya zona waktunya masing-masing.

Satu hal yang perlu dicatat, saat kita mengukur pencapaian kita dengan keberhasilan orang lain, sebenarnya itu tidak adil. Karena semuanya berbeda starting point, finishing point maupun track-nya.

Setiap orang unik, punya latar belakang berbeda, punya minat bakat berbeda, punya hobi dan interest yang berbeda, tak bisa dipukul rata.

Cara Sehat Menggunakan Kompetisi untuk Memberdayakan dan Menginspirasi

Ilustrasi kupu-kupu yang terbang tinggi. Sumber: Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Ilustrasi kupu-kupu yang terbang tinggi. Sumber: Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Hidup bukan tentang bersaing dengan semua orang di sekitar kita. Tapi tentang menantang diri kita sendiri untuk menjadi versi terbaiknya, menghargai dan mensyukuri semua perjalanan yang sudah kita lewati hingga kita sampai di titik sekarang ini. 

Ketika kita bisa berdamai dengan pemahaman keliru tentang kompetisi di masa lalu, dan mengetahui apa-apa yang bisa membuat kita 'sukses' di masa depan, kita akan dapat melangkah ke versi diri kita yang lebih otentik dan sehat.

Dengan memberdayakan dan menginspirasi diri sendiri, kita akan merasakan kehangatan dan kualitas dalam berinteraksi dengan sesama, bersemangat dalam menunaikan tugas dan pekerjaan, serta menjalani sisi kehidupan lainnya dengan hati bahagia, penuh kesyukuran. 

Selebihnya, kita pun bisa mendefinisikan mimpi dan kesuksesan versi diri kita sendiri. Tentu saja tak harus sama dengan kesuksesan yang sudah diraih oleh orang lain. 

Ilustrasi pengumuman SBMPTN 2019. Sumber: Dokpri dikreasikan dengan Canva
Ilustrasi pengumuman SBMPTN 2019. Sumber: Dokpri dikreasikan dengan Canva
Ingat bahwa diri kita sangat berharga, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jangan pernah merasa rendah atau merasa tak sebaik atau seberuntung orang lain. Semua bunga mempunyai keindahannya masing-masing, begitu juga dengan kita.

Semoga tulisan di atas bermanfaat, mohon maaf bila ada salah dalam penyampaiannya.

Jakarta, 20 Juni 2021

Seliara

Referensi 

satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun