Pengumuman SBMPTN baru saja berlalu. Beberapa hari belakangan ini, di berbagai beranda medsos banyak orang tua yang dengan bangga mengabarkan sang anak diterima di PTN ternama.Â
Ada sebagian yang memajang tangkapan layar lengkap dengan nama anak, fakultas serta nama PTN yang bersangkutan. Sontak kabar gembira itupun langsung dibanjiri tanda 'like' dan ucapan selamat.Â
Saya bisa merasakan kebahagiaan orang tua itu. Ya, saya juga pernah mengalaminya, saat si bungsu lulus SBMPTN dua tahun lalu.Â
Bedanya, saat itu anak saya tidak mau saya menulis kabar itu di beranda medsos saya, alasannya banyak temannya yang belum dapat PTN, termasuk sepupunya pada saat itu.
Memang, bagi yang sama-sama lulus SBMPTN, sama sekali tak masalah, bahkan bisa merayakan kebahagiaan bersama-sama.
Tapi hal berbeda akan dirasakan bagi yang tidak lulus SBMPTN. Pasti ada rasa sedih, kecewa dan mungkin merasa 'kurang beruntung' melihat keberhasilan mereka yang sudah mendapatkan kampus impian.
Nah, setelah sang sepupu dan teman-temannya diterima di PTN melalui jalur mandiri, barulah si bungsu mengizinkan saya menulis berita gembira itu di beranda medsos saya.Â
Apakah hidup sebuah kompetisi?
Kita hidup dalam budaya yang sangat kompetitif. Di awal kehidupan, secara langsung atau tidak, kita terbiasa berkompetisi dengan saudara kandung (sibling rivalry).Â
Sibling rivalry bisa diartikan sebagai kompetisi antar saudara kandung, baik antar saudara kandung yang berjenis kelamin sama ataupun berbeda.Â
Kompetisi ini diwarnai oleh rasa iri, cemburu, dan persaingan. Bersaing untuk mendapatkan sesuatu, seperti perhatian ibu, mainan baru, dan lain-lain.Â
Saat kita keluar ke 'dunia nyata', saat masih kecil hingga beranjak dewasa, kita mulai bersaing dengan teman-teman bermain, teman-teman sekolah, rekan kerja, dan lainnya, terutama dalam kehidupan profesional kita.
Kita diajari secara langsung dan tidak langsung bahwa kompetisi ini adalah hal yang baik dan penting untuk kesuksesan. Fokus pada kompetisi, membuat kita berhubungan dengan kehidupan sebagai permainan yang ingin kita menangkan atas orang-orang yang menjadi pesaing kita, bahkan jika mereka adalah orang yang paling kita cintai dan sayangi.
Sejak kecil, kita terkesan dihadapkan pada kompetisi. Misal berkompetisi untuk mendapatkan sekolah terbaik, berkompetisi dengan ratusan ribu siswa di seluruh Indonesia untuk memperebutkan kursi di PTN yang jumlahnya terbatas. Setelah lulus kuliah juga berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, dan seterusnya.
Betapa melelahkannya hidup dengan beragam kompetisi yang tiada akhir dan ujungnya itu!
Efek negatif kompetisi
Celakanya itulah efek negatif kompetisi. Sering berada di pihak yang 'kalah' dengan beragam lawan yang lebih hebat, sangat berpotensi meluncurkan harga diri ke kedalaman samudera.Â
Hal itu secara langsung maupun tidak langsung bisa mempengaruhi hubungan kita dengan anggota keluarga, orang yang dicintai, teman, dan bahkan kolega. Hal ini kemudian dapat menyebabkan kecemasan, penilaian, kemarahan, kesepian, dan stress.
Sangat penting untuk mengubah efek negatif ini, sehingga kita bisa tumbuh, belajar, dan menerima diri kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tapi bagaimana cara melakukannya?
Masalahnya adalah karena rasa tidak aman di hati, kita sering fokus untuk mengalahkan orang lain, atau berpikir bahwa kesuksesan, bakat, atau bahkan kebahagiaan orang lain ada hubungannya dengan kita. Sering ada rasa sesak di dada jika melihat orang lain lebih berhasil atau lebih sukses dari kita.
Dengan kata lain, kita berusaha 'mengalahkan' orang lain, untuk merasa diri lebih baik, lebih superior dan lebih segalanya. Hal ini sangat berbahaya, sering menimbulkan stress, kontra produktif dan penyakit mental lainnya.
Di atas langit masih ada langit. Mustahil akan selamanya menjadi pemenang. Â Selalu ada orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih keren, lebih cantik, lebih ganteng, lebih dermawan dan lain-lain.
Jadi bagaimana kompetisi yang sehat itu? Bukankah sebenarnya tak ada yang salah dengan keinginan untuk memenangkan kompetisi?
Perbedaan Penting antara Kompetisi Positif dan Kompetisi Negatif
Kompetisi negatif, berasal dari pengalaman selama ini bahwa ketika kita menang, kita merasa 'lebih baik', dan ketika kalah, kita merasa 'lebih buruk'. Ini semua tentang menjadi merasa lebih baik atau lebih rendah dari orang lain. Berdasarkan faktor eksternal, hasil, dan pencapaian tertentu, tidak ada yang pernah 'menang'Â dalam skenario ini.
Kompetisi positif adalah kompetisi yang menantang diri kita sendiri, mendorong dan membiarkan bakat, keterampilan, dan dukungan orang lain membantu kita ke tingkat berikutnya, melangkah lebih maju, dengan memaksimalkan potensi kita.Â
Dengan kompetisi positif ini, kita bisa mengadaptasi cara dan kerja keras orang lain dalam meraih sukses, sebagai motivasi dan inspirasi.Â
Kompetisi positif memandang orang lain sebagai satu tim, bukan sebagai lawan. Bila ada teman yang berhasil lulus SBMPTN, ucapkan selamat dan berikan doa terbaik.Â
Ikut berbahagia dengan keberhasilan orang lain, akan membuat kita terinspirasi dan bersemangat.Â
Ketika kita berkompetisi dengan cara yang positif dan sadar ini, percayalah, hidup akan terasa lebih indah, bermakna, dan sehat.Â
Kita tak perlu merasa lebih baik atau lebih buruk dari orang lain, tak perlu menentukan siapa yang menjadi pemenang atau pecundang. Semua orang punya zona waktunya masing-masing.
Satu hal yang perlu dicatat, saat kita mengukur pencapaian kita dengan keberhasilan orang lain, sebenarnya itu tidak adil. Karena semuanya berbeda starting point, finishing point maupun track-nya.
Setiap orang unik, punya latar belakang berbeda, punya minat bakat berbeda, punya hobi dan interest yang berbeda, tak bisa dipukul rata.
Cara Sehat Menggunakan Kompetisi untuk Memberdayakan dan Menginspirasi
Ketika kita bisa berdamai dengan pemahaman keliru tentang kompetisi di masa lalu, dan mengetahui apa-apa yang bisa membuat kita 'sukses' di masa depan, kita akan dapat melangkah ke versi diri kita yang lebih otentik dan sehat.
Dengan memberdayakan dan menginspirasi diri sendiri, kita akan merasakan kehangatan dan kualitas dalam berinteraksi dengan sesama, bersemangat dalam menunaikan tugas dan pekerjaan, serta menjalani sisi kehidupan lainnya dengan hati bahagia, penuh kesyukuran.Â
Selebihnya, kita pun bisa mendefinisikan mimpi dan kesuksesan versi diri kita sendiri. Tentu saja tak harus sama dengan kesuksesan yang sudah diraih oleh orang lain.Â
Semoga tulisan di atas bermanfaat, mohon maaf bila ada salah dalam penyampaiannya.
Jakarta, 20 Juni 2021
Seliara
ReferensiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H