Pak, lilinnya hampir habis
Bapak tak menjawab
Pak, lilinnya akan padam
Bapak tak menjawab
Maka lilin itu betulan mati
Membiarkan kami kepada gelap yang inti
Pak, adakah lilin lainnya?
Takut kami semakin besar terlihatnya
Kami tertunduk, badan semakin bungkuk, menitik gelap di bulu kuduk
Hampir-hampir kami terkunyah oleh gelap, Bapak balik badan
Brak.. Lima buah korek terlempar, hampir-hampir pipi kami tertampar
Bapak memulai khotbahnya. Aku memberi lilin, amat tinggi, amat menerangi
Lalu kalian meniupnya, tak menghargai pada empunya, dengan dalih 'hanya'
Akalkah akalmu? Bapak berhenti berkhotbah
Tangan kami berkeliaran mengambil korek, memantiknya, menitah agar apinya menggerayangi kegelapan
Sedang cahaya masih jauh, lama, masih bergelung di bayangan
Maka kali ini kami merasakan yang lain, sesuatu yang singgah untuk membelokkan
Jemari kami tak kuat, perasaan yang hanya pegal itu menang dua putaran
Kegelapan dengan mudah mengunyah dan menelan kami, tak sakit, hanya terasa dada kami tertumpuk sesak benturan
Maka yang terdengar, Bapak menabur makian pada kami yang bertumpahan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI