Teman-temannya menjadi iri, "Andai bapak kami syahid saat peperangan, pasti kami akan seperti engkau."
Tapi waktu tetap berjalan tanpa memikirkan kerikil-kerikil yang hendak menyandungnya. Sampailah waktu di mana hari wafatnya Rasulullah. Anak itu kembali kehilangan kekasih hatinya, kembali meratapi nasibnya. "Celaka, sungguh celaka. Kini aku terasing kembali. Aku bukan siapa-siapa lagi. Aku kini menjadi yatim yang kesepian."
Kegundahan itu disaksikan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, dipeluknya anak itu. Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiqlah yang mengambil peran pengasuhannya.
Perjumpaan istimewa itu kian terkenang di berbagai kalangan sahabat. Diteladaninya kasih sayang Rasulullah kepada sesama manusia. Maka sebagai muslim, mengapa kita malah membiarkan sesama manusia tertindas?
Kasih sayang ini penting untuk kita teladani, saling menolong tanpa melihat latar belakang. Hal ini dapat kita amalkan mulai dari lingkup keluarga, pertemanan, dan masyarakat luas. Penting juga untuk kita menyayangi anak-anak yatim sebagaimana kita menyayangi anak-anak kita sendiri.
Dalam salah satu Hadist, Rasulullah bersabda "Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini. Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya." (HR Imam Al-Bukhari).
Dengan demikian, marilah kita mengembangkan peduli kasih kita. Membangun kerukunan dan kedamaian sebagaimana tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H