MINGGU, 25 AGUSTUS 2024
Anak tuan dijadikan seperti anak sendiri, entah dipaksakan untuk seperti itu atau memang mengalir menjadi begitu... Perasaan ini tidak pernah menjadi menyenangkan.
Mengelap embun di jendela menjadi pekerjaan yang tidak menarik lagi, ada sesuatu yang lebih menggaet perhatiannya. Memasak mungkin menjadi awal dia diterima di rumah gedong ini, tapi kerepotan Tuan mengurus sang bayi membuat pekerjaannya bercabang.
"Mima, hari ini Mima jangan masak ya. Temenin aku main Ultraman."
"Mima ga ikut pergi ya? Terus nanti aku makannya sama siapa?"
"Sapunya sengaja aku umpetin! Biar Mima main aja sama aku. "
"Mima jangan nikah dong. Nanti Mima ga di sini lagi."
Belasan tahun lalu keluhan sejenis itu masih bernyanyi di telinga, begitu riang, begitu gemas, begitu tengil. Jeritannya ketika jatuh dari sepeda masih terputar, tangisannya ketika melihat SpongeBob dimarahi Tuan Krabs masih tergantung, gelak tawanya saat menonton Curious George juga masih tersimpan.
"Papa kan sudah bilang sama kamu. Papa tidak setuju kamu berteman sama perempuan itu. Memang tidak ada perempuan lain untuk kamu temani?!" Bentakan tajam itu terlalu menusuk bagi anak remaja yang baru mengenal kata 'teman'.
"Apa urusannya dengan Papa? Aku bahkan berani bilang kalau aku suka sama perempuan itu!" Keras kepala anak remaja terkadang membuahkan sedikit tamparan. Tapi panas, sakit, perih, begitu menurut penjelasan sang keras kepala.
Tapi tahun-tahun kenakalannya berhasil ditangani. Satu yang tidak bisa, anak lelaki ini ternyata tumbuh dengan membawa perasaan pada teman perempuannya. Apa mau dikata, perasaan ini memang mengalir begitu saja. Seperti air yang berjatuhan di setiap daun yang miring.
"Mima, kenapa harus pulang? Aku belum melamar perempuan itu. Aku ingin Mima hadir di hari pernikahanku."
Itu keluhannya 9 tahun lalu, tangisan pertamanya setelah pulang dari asrama. Di stasiun malam itu.. di tengah bisingnya orang-orang, tangannya memegang tangan keriputku. Dia terlihat mengusap gusar wajahnya berkali-kali, memijat batang atas hidungnya sampai memerah, membenarkan kemejanya dengan gerakan kaku.
"Mbok doakan semoga pernikahanmu lancar. Jadi suami yang baik, sabar, sayang sama keluarga. Uang tabungannya harus semakin diisi, biar nanti ga repot kalau ada anak. Mbok minta maaf kalau Mbok bikin salah, baik-baik ya di sini. Jaga Papa, jangan sampai sakit."
Salam terakhir itu berakhir dingin, angin kencang tetap meringkusku untuk pulang, seerat apa pun dahan menahannya. 9 tahun lalu terasa hanya satu menit, momen-momen saat pemuda itu dalam asuhanku sedikit demi sedikit mulai pudar.
Tapi pagi ini rasanya ada secangkir teh hangat yang membawa kembali tetesan-tetesan kenangan itu. Tehnya pahit, kabar ini seburuk-buruknya kabar bagiku. Wartawan duda ini terlalu tajam, tulisannya terlalu berapi-api dengan asap yang menghitam. Tapi yang kali ini tulisannya terlalu penuh makian. Menjadikannya sebagai sasaran amarah bagi siapa yang ditodongnya. Potret wajah lebamnya karena dipukuli oknum tercetak di ratusan lembaran koran, memicu banyak polemik panas yang belum ditemukan pemadamnya.
Putraku... Dia butuh perlindungan... Dia perlu sebuah penawar...Â
Putraku... Tangannya hanya tangan kecil yang bermain dengan pensil...Â
Putraku... Ya ampun... Bagiku bahkan dia hanya anak sembilan tahun yang penuh tanya...
"Mima... Ini Bara..."
Perawakan jangkungnya terdiam di tengah pintu, wajah lebamnya masih terlihat membiru dengan darah kering. Jalannya tak lagi seimbang, mungkin karena diinjak-injak oleh oknum. Badannya sedikit bungkuk, mungkin karena dipukuli oleh oknum.
Tangan keriputku memegang wajahnya yang tak lagi halus. Sekali lagi, dia bersuara "Mima... Perempuan itu pengkhianat, dia penuduh yang andal... Aku tidak pernah memaki Mima... Aku jujur dengan setiap rangkaian baitnya..."
Putraku... Putraku...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H