Berburu makanan untuk berbuka puasa, tarawih bersama di mushola yang super express, begadang bersama membuat tugas di bulan Ramadhan.
Aku rindu. Dan merasa beruntung menjadi anak rantau.
Hingga di ujung hari, suara telfon berdering, ada lelaki dengan suara hangat di ujung telfon, "Assalamualaikum Nduk, sehat? Puasanya lancar? Bapak, masak sayur asem nih sama teri dan sambel. Enak deh, kasian deh kamu, pasti sahur besok masak mie instan?", ledek suara ayahku di ujung sana. Aku tahu dia pasti sedang rindu -- rindu nya, masakannya aku makan. Sampai -- sampai laporan ia punya menu apa untuk sahur besok.
"Pak, aku sehat. Nanti aku pulang masak yang banyak yaaa. Tahu kan disini aku kekurangan gizi. Heheee. Tapi aku sehat dan banyak teman -- teman disini. Besok telfon ya bangunin aku sahur", jawabku untuknya
Begitulah keromatisan, ayah dan anak dalam long distance relationship di bulan Ramadhan. Kerinduan yang bisa disampaikan lewat telfon. Dan ia rumah utama, sebanyak -- banyaknya aku memiliki keluarga di rantau. Bapak adalah prioritas keluargaku, yang pintunya senantiasa terbuka menyambutku pulang kapan saja. Dan karena doanya, aku jadi bisa menemukan orang -- orang baik di rantau. Kebaikannya berbuah manis mengalir untuk anak -- anaknya.
Dan sekarang, saat masa perantauanku selesai. Berpuasa didekatnya, selalu jadi hal berharga. Sahur bersama, Â Semoga kita selalu bersama dan berjumpa dengan Ramadhan tahun -- tahun selanjutnya. Â Juga salam rinduku untuk keluargaku di Semarang.
Salam Hangat,
Aku. si Ex Perantauan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H