Mohon tunggu...
Abdul Basir
Abdul Basir Mohon Tunggu... profesional -

Mantan guru Biologi. Sedang aktif di dunia Startup. Penulis dan pencerita macam-macam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namaku Annisa (Sebuah Fiksi dari Seorang Pemilih Agus)

17 Februari 2017   23:53 Diperbarui: 18 Februari 2017   08:41 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus dan Annisa Yudhoyono (Sumber : Brilio)

Deru mobil mas Agus sudah terdengar. Tidak lama kemudian, terdengar juga pagar rumah berdecit saat satpam membukakan.

Saat itu, Annisa sedang duduk di ruang tamu. Dia sedari tadi memang menunggu. Secepatnya dia ingin memastikan kabar itu.

Tak lama, terdengar salam diucapkan mas Agus.

"Assalammualaikum"
"Waalaikumsalam " 

Annisa segera menghampiri pintu. Tampaklah disana sang suami. Masih berpakaian dinas lengkap.

Diraihnya tangan mas Agus. Lalu di ciumnya dengan sayang. Dibawakannya tas kerja suaminya ke ruang kerja bagian tengah. Sedangkan mas Agus menghampiri salah satu sofa ruang tamu untuk duduk dan melepas sepatu.

"Aku buatin minum dulu ya, Mas"

kata Annisa dari arah dapur.

Agus tidak menjawab. Dia duduk termangu. Dia tahu cepat lambat dia harus mengabarkan berita ini kepada istrinya. Dia malah menduga bahwa Annisa sudah mengetahuinya lebih dulu dari berita di televisi.

Beberapa saat kemudian, Annisa datang kembali dengan secangkir teh. Diletakkannya di atas meja menghadap mas Agus. Lalu, dia duduk di kursi seberangnya.

Mas Agus menyeruput teh itu sedikit. Lalu, meletakkan cangkir nya lagi. Dia belum siap menghadapi tatapan istrinya.

Lalu ada jeda keheningan.

Mereka berdua tidak tahu, bagaimana memulai percakapan ini dengan benar.

"Aku sudah tahu kabarnya dari TV mas... "

Annisa memberanikan diri memulai pembicaraan. Sebisa mungkin dia mematutkan intonasi suaranya

Mas Agus tidak menjawab. Sekilas diliriknya sang istri. Tersirat raut kekhawatiran diwajahnya.

"Kamu bilang apa sama Bapak? Kamu sudah pikirkan konsekuensi nya kan, Mas? "

desak Annisa. Dua pertanyaan itu sebenarnya sudah dia perkirakan jawabannya.

Mas Agus masih tidak menjawab. Pandangannya beralih dari istrinya, ke foto keluarga mereka yang dijadikan lukisan besar di ruang tamu. Disitu ada gambar dirinya berpakaian dinas lengkap, sedang menggendong putrinya di lengan. Sang istri yang berkebaya biru merangkul lengan gagahnya.

Lalu hening lagi.

Mas Agus menunduk kembali. Annisa di seberang melihat dengan gemas karena tidak kunjung masnya bicara.

Lalu, Mas Agus menghadap wajah sang istri.

"Kamu tahu kan, aku gabisa nolak? "

tantangnya pada Annisa.

Tidak semerta-merta Annisa menjawab.

"Tapi, kamu sudah jelaskan tentang karirmu, tentang kesiapan mu, tentang... yah hal-hal seperti itu kan, Mas? "

tanyanya dengan lembut.

"Dia tidak sekedar bapakku, Nis...""Tapi, ini politik lho, Mas. Di Jakarta. Kamu kan tidak pernah punya pengalaman disana... "

Mas Agus hanya diam.

"Politik itu jahat, Mas... "

Menanggapi diamnya mas Agus, Annisa memutuskan berpindah tempat duduk. Dia berdiri. Lalu, berpindah duduk di sisi kanan masnya.

"Ibuk bilang apa, Mas? Aku kok ragu kalau ibuk itu setuju ya... ""Kenapa bukan mas Ibas saja sih, Mas... Kamu sudah bilang begitu sama bapak? "

Dirangkulnya mas Agus. Diletakkannya pipinya di pundaknya yang bidang. Lalu, dielus-elusnya dia.

Diluar dugaan, Mas Agus menolaknya dengan aga kasar. Annisa punya alasan untuk marah. Tapi, dia memilih menahannya.

Mas Agus berdiri dan mulai berteriak.

"Nissa! Dia tidak cuma bapakku! Dia adalah jenderal Susilo Bambang Yudhoyono! Dia atasan ku! Dia seorang mantan Presiden! Dia seorang pimpinan partai! Dia adalah seorang yang punya kuasa besar! ""Kamu kira, bagaimana aku akan menolak ketika aku ia telpon tentang hal ini? Kamu kira aku bisa mengucapkan apa, Nisa?! Aku bahkan langsung bilang iya! Cuma iya Nis! "
" Ketika itu bahkan aku tidak sempat memikirkan karirku Nis! Tidak juga sekolah ku selama ini Nis! Aku bahkan tidak bisa memikirkan kamu dan Almira waktu itu Nis! "
" Aku bilang iya Nis. Cuma bilang IYA! "

Mas Agus meluapkan semuanya. Ditatapnya sang istri yang sekarang mulai menitikkan air mata.

Ketahuilah, Mas Agus, ketika itu, sesungguhnya amat menyesal. Dia adalah seorang pribadi yang penyayang. Suami dan ayah yang penuh kasih.

Mas Agus berpindah tempat duduk ke seberangnya. Tempat Annisa sebelumnya duduk. Dia menunduk lagi. Menyesal. Penuh gejolak. Tapi, tidak tahu mau bilang apa.

Diseberangnya. Annisa sedang kesulitan mengendalikan diri. Antara tangis, marah, dan rasa sayang yang memenuhi hatinya saat itu.

Hening. Hening yang menyesakkan.

Tiba-tiba Annisa berdiri. Dia hampiri tempat duduk sang suami.

Annisa berlutut di depan suaminya. Dibuatnya wajah keduanya saling berhadapan.

Diraihnya wajah mas Agus dikedua pipi.

Seraya menitikkan airmata, dia berkata, janjinya untuk sang suami diulang lagi.

"Kamu ingat ini ya, Mas.... Namaku Annisa. Annisa Agus Yudhoyono"
"Di masa lalu, sekarang, dan di masa depan Aku, Annisa Agus Yudhoyono, akan selalu ada disamping mu.
"Mendampingimu. Menemanimu. Mendengarkan mu. Mengingatkan mu. Jatuh dan bangun bersama mu."
"Bukan hanya karena aku mau. Atau karena aku harus. Juga karena aku bisa."
"Tapi, karena sejak hari itu engkau aku ikhlaskan jadi suamiku, aku yakin kita berdua memang diciptakan untuk selalu bersama."
"Aku tidak akan mundur mas. Aku tidak akan pergi dari pertempuran mu kali ini mas. Walau saat itu pun hanya tinggal aku seorang, Mas"

Menangis. Annisa mengucapkan semua itu dengan diiringi tangis.

Mas Agus terdiam. Dia mulai menitikkan air mata yang tak kuasa ia tahan.

Dengan sayang, Mas Agus memeluk istrinya. Annisa. Yang selama ini telah menemaninya. Yang telah dengan sabar menunggunya pulang dinas dan sekolah. Bertahun-tahun. Wanita yang telah jadi istri, ibu sang anak, asisten, mentor, juga teman terbaiknya.

Jarang ia mengeluh atau protes. Walau saat-saat bahagia juga berat juga telah ia lalui, tidak hanya segala hal tentang keluarga Yudhoyono nya. Tapi, juga tentang sang ayah.

Mas Agus seharusnya tahu itu. Bahwa adalah istrinya, yang memang selama ini selalu mengisi kurangnya. Menambah kelebihannya.

Lama sekali, mereka berpelukkan dalam haru dan cinta yang saling bertautan.

.

Agus Yudhoyono dan para pengikutnya, kemudian berangkat ke medan pertempuran. Secara sendiri atau berkelompok.

Ke perang yang mereka tahu tidak akan bisa mereka menangkan.

( Hanyalah sebuah cerita fiksi yang saya buat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun