Mereka berdua tidak tahu, bagaimana memulai percakapan ini dengan benar.
"Aku sudah tahu kabarnya dari TV mas... "
Annisa memberanikan diri memulai pembicaraan. Sebisa mungkin dia mematutkan intonasi suaranya
Mas Agus tidak menjawab. Sekilas diliriknya sang istri. Tersirat raut kekhawatiran diwajahnya.
"Kamu bilang apa sama Bapak? Kamu sudah pikirkan konsekuensi nya kan, Mas? "
desak Annisa. Dua pertanyaan itu sebenarnya sudah dia perkirakan jawabannya.
Mas Agus masih tidak menjawab. Pandangannya beralih dari istrinya, ke foto keluarga mereka yang dijadikan lukisan besar di ruang tamu. Disitu ada gambar dirinya berpakaian dinas lengkap, sedang menggendong putrinya di lengan. Sang istri yang berkebaya biru merangkul lengan gagahnya.
Lalu hening lagi.
Mas Agus menunduk kembali. Annisa di seberang melihat dengan gemas karena tidak kunjung masnya bicara.
Lalu, Mas Agus menghadap wajah sang istri.
"Kamu tahu kan, aku gabisa nolak? "
tantangnya pada Annisa.
Tidak semerta-merta Annisa menjawab.
"Tapi, kamu sudah jelaskan tentang karirmu, tentang kesiapan mu, tentang... yah hal-hal seperti itu kan, Mas? "
tanyanya dengan lembut.
"Dia tidak sekedar bapakku, Nis...""Tapi, ini politik lho, Mas. Di Jakarta. Kamu kan tidak pernah punya pengalaman disana... "