Annisa berlutut di depan suaminya. Dibuatnya wajah keduanya saling berhadapan.
Diraihnya wajah mas Agus dikedua pipi.
Seraya menitikkan airmata, dia berkata, janjinya untuk sang suami diulang lagi.
"Kamu ingat ini ya, Mas.... Namaku Annisa. Annisa Agus Yudhoyono"
"Di masa lalu, sekarang, dan di masa depan Aku, Annisa Agus Yudhoyono, akan selalu ada disamping mu.
"Mendampingimu. Menemanimu. Mendengarkan mu. Mengingatkan mu. Jatuh dan bangun bersama mu."
"Bukan hanya karena aku mau. Atau karena aku harus. Juga karena aku bisa."
"Tapi, karena sejak hari itu engkau aku ikhlaskan jadi suamiku, aku yakin kita berdua memang diciptakan untuk selalu bersama."
"Aku tidak akan mundur mas. Aku tidak akan pergi dari pertempuran mu kali ini mas. Walau saat itu pun hanya tinggal aku seorang, Mas"
Menangis. Annisa mengucapkan semua itu dengan diiringi tangis.
Mas Agus terdiam. Dia mulai menitikkan air mata yang tak kuasa ia tahan.
Dengan sayang, Mas Agus memeluk istrinya. Annisa. Yang selama ini telah menemaninya. Yang telah dengan sabar menunggunya pulang dinas dan sekolah. Bertahun-tahun. Wanita yang telah jadi istri, ibu sang anak, asisten, mentor, juga teman terbaiknya.
Jarang ia mengeluh atau protes. Walau saat-saat bahagia juga berat juga telah ia lalui, tidak hanya segala hal tentang keluarga Yudhoyono nya. Tapi, juga tentang sang ayah.
Mas Agus seharusnya tahu itu. Bahwa adalah istrinya, yang memang selama ini selalu mengisi kurangnya. Menambah kelebihannya.
Lama sekali, mereka berpelukkan dalam haru dan cinta yang saling bertautan.
.
Agus Yudhoyono dan para pengikutnya, kemudian berangkat ke medan pertempuran. Secara sendiri atau berkelompok.