Mas Agus hanya diam.
"Politik itu jahat, Mas... "
Menanggapi diamnya mas Agus, Annisa memutuskan berpindah tempat duduk. Dia berdiri. Lalu, berpindah duduk di sisi kanan masnya.
"Ibuk bilang apa, Mas? Aku kok ragu kalau ibuk itu setuju ya... ""Kenapa bukan mas Ibas saja sih, Mas... Kamu sudah bilang begitu sama bapak? "
Dirangkulnya mas Agus. Diletakkannya pipinya di pundaknya yang bidang. Lalu, dielus-elusnya dia.
Diluar dugaan, Mas Agus menolaknya dengan aga kasar. Annisa punya alasan untuk marah. Tapi, dia memilih menahannya.
Mas Agus berdiri dan mulai berteriak.
"Nissa! Dia tidak cuma bapakku! Dia adalah jenderal Susilo Bambang Yudhoyono! Dia atasan ku! Dia seorang mantan Presiden! Dia seorang pimpinan partai! Dia adalah seorang yang punya kuasa besar! ""Kamu kira, bagaimana aku akan menolak ketika aku ia telpon tentang hal ini? Kamu kira aku bisa mengucapkan apa, Nisa?! Aku bahkan langsung bilang iya! Cuma iya Nis! "
" Ketika itu bahkan aku tidak sempat memikirkan karirku Nis! Tidak juga sekolah ku selama ini Nis! Aku bahkan tidak bisa memikirkan kamu dan Almira waktu itu Nis! "
" Aku bilang iya Nis. Cuma bilang IYA! "
Mas Agus meluapkan semuanya. Ditatapnya sang istri yang sekarang mulai menitikkan air mata.
Ketahuilah, Mas Agus, ketika itu, sesungguhnya amat menyesal. Dia adalah seorang pribadi yang penyayang. Suami dan ayah yang penuh kasih.
Mas Agus berpindah tempat duduk ke seberangnya. Tempat Annisa sebelumnya duduk. Dia menunduk lagi. Menyesal. Penuh gejolak. Tapi, tidak tahu mau bilang apa.
Diseberangnya. Annisa sedang kesulitan mengendalikan diri. Antara tangis, marah, dan rasa sayang yang memenuhi hatinya saat itu.
Hening. Hening yang menyesakkan.
Tiba-tiba Annisa berdiri. Dia hampiri tempat duduk sang suami.