Mohon tunggu...
Abdul Basir
Abdul Basir Mohon Tunggu... profesional -

Mantan guru Biologi. Sedang aktif di dunia Startup. Penulis dan pencerita macam-macam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menilik Persaingan Kantin Sekolah a la Startup Canggih

20 Mei 2016   17:02 Diperbarui: 20 Mei 2016   17:15 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
( Ini Driver Gojek beneran, pak Kasmudin, mantan Satpam SMA N 70. Dokumentasi pribadi )

Para pedagang ini tidak didukung perusahaan ventura. Tidak mungkin East Venture atau 500 Startups mau berinvestasi di mereka. Modal mereka bisa jadi diputar harian. Keuntungan hari ini diputar untuk jadi modal esok hari. Kalau sedang merugi maka mereka menggunakan simpanan uang atau meminjam ke teman.

Aktivitas bisnis cuma berlangsung 5 hari. Malahan cuma 3 jam per hari. Seminggu cuma berbisnis 15 jam. Walau satu tahun adalah 12 bulan, nyatanya hari sekolah mereka bisa menjalankan bisnis mereka tidak lebih dari 9 bulan. Terpotong libur sekolah dan bulan ramadhan.

Namun, mereka adalah individu - individu yang tangguh, yang sedang mempraktekkan langsung konsep seleksi alam.

Belakangan beberapa pedagang baru masuk ke kantin. Menjajakan produk mulai dari Bakso, Waffel, sate padang, Gulai, bubur ayam, hingga fast food ala jepang. Bakso, Waffel, dan fast food Jepang sudah undur diri karea tak sanggup berkompetisi. Mereka pendatang baru yang berhasil sintas sekarang sedang menjalani hari - hari " pendapatan tidak seberapa namun harus disyukuri " seperti halnya pedagang lain yang berhasil terseleksi dengan baik.

Tapi, bagus dong pak kalau begitu, kita kan sebagai konsumen akan diuntungkan kata rekan mengajar saya suatu waktu

Betul-betul sekali. Bergantung atas dasar konsep kemakmuran yang mau kita anut, maka persaingan ala start up kantin ini sudahlah benar adanya. Salah satu atau dua dari mereka mungkin akan survive, menguasai pasar SMA N 70, menjadi pemain dominan. Mereka akan lebih makmur. Menguasai lebih banyak kekayaan, menjadi sejahtera.

Yang lain menyingkir, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang pantang menyerah mungkin akan mencoba lagi. Hadir dengan bisnis baru yang lebih inovatif (semoga). Mereka yang tidak berdaya, memilih hidup dengan standar yang dipilih.

Tidak ada yang salah sekali lagi, namun, pemerintah, dalam hal ini pihak sekolah kan punya wewenang agar membuat apa yang sudah atau akan terjadi lebih elegan. Lebih menyenangkan. Membagi adil kesejahteraaan.

Tapi, seandainya tidak mau mengatur pun ya memang tidak salah. Pemerintah di tiap jenjang tentu punya masalah lain yang lebih penting. Pemerintah bisa lebih fokus memikirkan hal yang lain alih-alih sekedar pedagang kantin. Bergantung konsep kemakmuran yang dianut. Membiarkan mekanisme pasar bekerja kan memang lebih mudah dan praktis.

Bukankah kita memang sudah terbiasa menerima fakta tentang sebagian kecil orang yang menguasai sebagian besar kekayaan ?

Nah, seandainya, pemerintah (pihak sekolah-red) di manapun Anda sedang mengemban amanah sekarang lebih suka agar kesejahteraan itu bisa terdistribusi secara adil, berikut beberapa usul yang bisa saya ajukan untuk isu pedagang kantin yang mengalami fenomena ini. Biar tidak sekedar bunyi tanpa urunan solusi :

  1. Dimediasi oleh pihak sekolah, dilakukan kesepakatan terhadap produk yang akan dijual ( untuk pedagang baru ) dan penyesuaian produk yand telah dijual ( untuk pedagang yang lebih awal agar kembali ke produk bawaannya ).
  2. Kegiatan sekolah yang memerlukan ketersediaan konsumsi agar menggunakan jasa pedagang kantin.
  3. Dibentuk sebuah paguyuban dimana pihak kantin (bisnis), pihak perwakilan-perwakilan pelajar, guru, dan karyawan (konsumen), dan Kepala Sekolah-Kepala Tata Usaha (pemerintah) bisa bertemu dan saling membangun. Atau minimal sekedar curhat. Arisan juga gapapa. 
  4. Sekolah menghimbau agar para pelajar tidak makan dan minum menu mereka di kelas, dengan alasan utama kebersihan dan agar mereka bersosialisasi dengan teman lain kelas dan masyarakat sekolah lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun