Mohon tunggu...
Abdul Basir
Abdul Basir Mohon Tunggu... profesional -

Mantan guru Biologi. Sedang aktif di dunia Startup. Penulis dan pencerita macam-macam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Mengajar Dibayar Pakai Singkong dan Ganja, Serta Kisah Sedih yang Itu-itu Saja Soal Profesi Guru

19 Februari 2016   16:49 Diperbarui: 19 Februari 2016   17:17 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Bersama rekan guru di SMA N 70 Jakarta dalam upacara peringatan Hari Guru Tahun 2015"][/caption]

Saya ga melulu suka tentang hal-hal berbau sosial. Misal, singkat saja, saya ga suka kalau mengajar itu gratis. Dan untuk kamu yang lagi berpikir untuk bikin suatu kegiatan mengajar gratis alias sukarela, mohon pertimbangkan lagi niatan mu itu.

Ayo cari cara dong, gimana agar para sukarelawan mu itu terakomodasi. Jangan bicara panggilan hati melulu. Baper amat.

Menjadi seorang guru, mengajar dan/atau mendidik selayaknya selalu punya harga yang harus diterima. Tidak perlu melulu bicara besar nominal sih. Yang penting harus ada usaha yang dikeluarkan oleh pengguna jasa untuk mengakomodasi sang guru. Tidak baik membiasakan masyarakat untuk berpangku tangan apalagi mengkategorikan guru adalah profesi yang remeh. Guru harus jadi golongan yang teristimewa.

Guru adalah perwakilan segenap rakyat Indonesia untuk mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Bukan saya yang bilang. Itu perkataan pak Anies dalam sambutan Hari Guru yang akan selalu saya ingat.

 

-

Cerita ini saya dapatkan sewaktu berkunjung ke Surabaya dalam suatu kegiatan dan berdiskusi dengan salah satu mahasiswa dari kampus Universitas Negeri Surabaya (UNESA). "Saya pernah mengajar dibayar pakai Singkong lho Mas". Mas Tutut, sang empunya cerita, mengajar selama satu bulan di salahs atu kantor kelurahan di Sidoarjo, Jawa Timur. Yang dia ajar adalah pelajar SD kelas 4 -6. Mas Tutut mengajar bersama beberapa orang lain dari berbagai kampus. Mas Tutut sendiri adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Masyarakat setempat tentu senang sekali mendapatkan aksi pengabdian dari para mahasiswa/i baik hati tersebut. Tapi, mereka tidak mau menjadi lemah. Mereka ingin menghargai tamu-tamu mereka yang mulia.

Mengajar sebulan, warga memastikan semua pengajar mendapatkan makanan, minuman dan tempat tinggal yang layak. Dan selesai pengabdian, warga yang sulit diajak urunan uang, bahu-membahu membawa hasil bumi untuk sekedar buah tangan. Jadilah para pengabdi ini membawa serta tebu, jagung, dan singkong dalam perjalanan pulang.

 

Di lain cerita, Joe Edward, rekan profesi saya sesama "guru", punya pengalaman yang lebih unik lagi. "Once, the parent would give me weed as a gratitude to teach their kids" atau singkatnya "Gile Bas, Gue pernah lho mau dibayar pakai ganja sehabis ngajar". Joe adalah pengajar bahasa Inggris di dua sekolah; SMA N 70 Jakarta dan SMA Lab School Kebayoran. Sekolah yang tersebut pertama adalah tempat saya bertemu dengan guru cowok melek fashion dan perawatan ini.

[caption caption="Beberapa siswi saya di SMA N 70 Jakarta"]

[/caption]

Selain mengajar dibayar, Joe juga mau mengajar tidak dibayar. Dia tergabung di Red Nose Foundation dan mengajar di salah satu daerah kumuh di Jakarta Utara selama dua tahun. Sehari-hari memang Joe tidak dan minta dibayar. Tidak oleh Red Nose, tidak oleh para orangtua.

Tapi, namanya manusia sejati, para orangtua ingin memperlakukan para guru ini dengan baik. Mereka ingin mengakomodasi para guru. Biar merasa senang dan dihargai.

Dan terjadilah kejadian dimana Joe suatu kali pernah ditawari ganja sebagai bayaran telah mengajar.

Joe, berdasarkan ceritanya, menolak pemberian manis tersebut. Dia senang bahwa masyarakat setempat ingin memperlakukannya dengan baik. Sekaligus sedih karena memikirkan bagaimana bisa masyarakat memiliki ganja alih-alih biaya untuk makan sehari-hari.

Joe selalu mengklaim bahwa mengajar adalah tentang hati dan bukan tentang piti belaka.

Ini saya setuju nih. Begini bunyi pesannya: "Kamu tuh ga bisa jadi orang kaya dengan jadi guru..." Kalau mau jadi orang kaya, ya punya bisnis. Atau jadi konsultan pajak, atau apa gitu. Kalau jadi guru itu gabisa. Gausah berharap juga. Saran yang sama juga saya titipkan untuk kamu yang calon guru. Ingat baik-baik : "Kalau memang niat jadi guru, kamu tuh jangan berharap jadi orang kaya..."

 

Saya berpendapat bahwa seorang guru harus dibayar dengan jauh diatas layak. Guru itu profesi super. Tidak hanya harus mengajarkan ilmu, tapi juga berbagi pengalaman, kebijakan, objektivitas, serta merazia pakaian ketat para pelajar dan model rambut yang tidak sesuai. Dalam satu paket profesi.

Guru juga harus berperan sekaligus sebagai konsultan, pengawas, diplomator, auditor, perawat, psikolog, komedian, ilmuwan, teman, orangtua, dan kakak. Kecuali pacar.

"Guru-guru ini bagaimana sih, masa nilai anak saya begini-begini saja" Adalah satu kalimat frustasi, penyesalan, kepasrahan, putus asa, atau kemarahan dari orangtua yang sering di dengar. Jeleknya, saya sering ngedumel sendiri. "Ibu ga mau tau sih anak nya di sekolah kayak apa...". 

Penuh tekanan jadi guru itu. Makanya sedih banged kalau denger kisah ada guru zaman sekarang masih di gaji sekian rupiah (ga tega nyebutin nominal nya). Dan karena itu lah saya setuju kalau guru-guru yang belum diangkat jadi PNS itu diangkat semua saja jadi PNS secepatnya. Pemerintah harus tanggung jawab terhadap golongan kecil rakyat dimana masa depan bangsa ini sedang disandarkan. Bukan malah bersembunyi dan bermanis-manis di media terus habis itu lupa.

Wah, saya kenal banyak guru yang sudah mengajar puluhan tahun, menunggu jadi PNS, tapi ya gitu-gitu aja akhir ceritanya. Puluhan tahun lho itu ! Bayangkan kalau bisa dimanfaatkan untun mengerjakan hal lain yang lebih produktif. Atau setidaknya, dikonversi jadi singkong deh.

Walaupun begitu, kesalahan tidak hanya ada di pemerintah. Para guru terutama calon guru juga kebagian salah.

Kabar sedihnya profesi guru itu kan tidak pernah dirahasiakan. Kita bisa melihatnya dengan bebas pada berita di televisi. Membaca keprihatinannya di koran. Mendengar kepiluannya dari sesama teman.

Lha kok sudah begitu masih pada mau saja jadi guru?

Apalagi kamu-kamu yang bersatus calon guru. Atau bercita-cita jadi guru. Lha sudah tahu seperti apa profesi guru itu kok yo tetap punya niat jadi guru? Lalu setelah itu protes sana-sini tentang tunjangan dan kesejahteraan. Lha kan kamu sudah tahu dari awal? Harusnya ga boleh protes dong!

Mungkin demo tempo hari itu kurang greget buat pemerintah. Media saja sudah malas ngeliput perkembangannya. Ayo kita keluar saja ramai - ramai dari profesi guru. Biar pemerintah yang kemudian memanggil kita kembali dan mewujudkan janji-janji kesejahteraan untuk bapak ibu guru sekalian.

Saya tidak usah, karena ini adalah tahun terakhir saya menjadi seseorang yang berprofesi guru. Tapi, Insya Allah saya akan selalu mengajar.

Klaim :

Tulisan ini adalah opini pribadi saya, tidak mewakili organisasi dan instansi mana pun. Salam sayang dan hormat saya untuk bapak dan ibu guru se-Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun