Pemerintah Indonesia sedang bersiap untuk mengeluarkan kebijakan baru mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Didukung dengan pernyataan Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo, yang menyatakan kekerasan seksual pada anak telah menjadi kejahatan luar biasa. Namun, perlukah hukuman kebiri hadir di Indonesia?
Kebiri atau kastrasi dalam istilah medis, dapat dilakukan dengan dua cara. Salah satu cara adalah kebiri secara kimia. Kebiri kimia direncanakan untuk menjadi salah satu hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak.
Para peneliti dari National Center of Biotechnology Information menjelaskan kebiri kimia adalah memanipulasi hormonal untuk menurunkan kadar testosterone. Oleh karena itu, kebiri dilakukan untuk mengurangi birahi laki-laki.
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila. Wimpie menjelaskan kebiri kimia memerlukan obat khusus bernama antiandrogen. Jika pemberian antiandrogen dihentikan, seseorang yang telah dikebiri masih dapat ereksi.
Kemudian, dari sisi psikologi, Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dinastuti menjelaskan ada 2 efek psikologis yang akan diterima seseorang yang dikebiri. Pertama, seseorang tersebut akan merasa depresi, putus asa, dan stres. Tetapi yang kedua, seseorang tersebut dapat lebih agresif untuk menyalurkan fantasi seksualnya.
Efek psikologis yang kedua adalah hal yang ditakutkan oleh beberapa ahli medis. Salah satunya Dr. Boyke. Ia menjelaskan seseorang yang telah dikebiri masih berpotensi untuk melakukan kejahatan seksual, terlebih, akan semakin parah dari sebelumnya. Menurutnya, kejahatan seksual pada anak adalah penyakit jiwa, oleh karena itu, kebiri tidak menyelesaikan penyakit jiwa tersebut.
Kemudian, Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, menyatakan kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada anak tidaklah efektif. Ia juga menjelaskan bahwa kejahatan seksual pada anak juga disebabkan penyakit jiwa atau fantasi seksual yang menyimpang.
“Keterbangkitan seks tidak sebatas hormon, tetapi juga fantasi. Predator (sebutan untuk pelaku kejahatan seksual pada anak) yang sudah lumpuh bisa memakai cara non-persetubuhan dan mendorong orang lain untuk menyalurkannya,” tutur Reza.
Reza juga menambahkan, jika predator ini tidak ditangani dengan tepat, ditakutkan target penyaluran fantasi seksualnya bukan saja anak-anak, tetapi juga semua kalangan umur.
Efektivitas hukuman kebiri juga diragukan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane. Neta menjelaskan keraguannya terkait dengan hasil hukuman kebiri setelah mempertimbangkan efek psikologis si pelaku kejahatan seksual.
Oleh karena itu, Neta menjelaskan bahwa Indonesia telah mempunyai payung hukum yang mengatur hukuman berat seperti hukuman kurungan seumur hidup dan hukuman mati.
“Sebenarnya, tanpa membuat aturan baru bahwa pelaku paedofil di hukum kebiri, KUHP ‘menawarkan’ hukuman maksimal sebagai efek jera seperti hukuman seumur hidup dan hukuman mati,” jelas Neta.
Berdasarkan berbagai data dan penjelasan di atas, hukuman kebiri memang masih sekedar rencana dan wacana yang masih belum pasti kejelasan realisasinya. Efek jera bagi pelaku kejahatan seksual pada anak bukan hanya hukuman kebiri, masih ada hukuman seumur hidup dan hukuman mati.
Namun, menurut Anda, perlukah hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia?
Sumber: https://www.selasar.com/budaya/perlukah-hukuman-kebiri-di-indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H