Hampir setiap hari Aku melewati perlintasan Kereta itu, karena jalur tersebut menjadi rute pergi dan pulang terdekat bagiku. Aku sih sadar setiap melewati perlintasan kereta akan ngantri cukup lama. Ini dikarenakan lalu lintas padat dan kereta listrik yang lewat juga memiliki frekuensi yang tinggi. Yaa jalur itu merupakan perlintasan utama Commuter Line dari Stasiun Utama Bogor -- Jakarta.
Perlintasan Kereta ini termasuk jalur yang padat, terutama jam pergi-pulang sekolah dan Kantor. Jalur ini merupakan lintasan simpang empat dimana dari setiap arah merupakan pintu keluar masuk perumahan dan lingkungan sekolah. Dan tidak jauh dari perlintasan kereta itu juga terdapat dua sekolah yang saling berseberangan. Jadi bisa dibayangkan seperti ada situasi lalu lintas yang lalu lalang di jalur itu.
Meskipun jalurnya padat, tetapi antrian tertata rapi dan hampir tidak pernah terjadi kecelakaan. Itu sebabnya rute ini termasuk rute favoritku. Kok bisa! Yaaa bisalaaaah, karena ada para Malaikat (Volunteer) yang baik hati selalu berjaga disitu.
Banyak kenangan indah di jalur perlintasan Kereta itu. Meskipun perlintasannya bersebelahan dengan kantor Polisi, tetapi jarang Aku melihat aparat mengatur lalu lintas, karena sudah bisa ditangani secara apik dan rapi oleh para Volunteer tersebut.
Betahun-tahun Aku melintasi jalur Kereta itu, silih berganti para Volunteer yang berjaga. Sebahagian besar karena faktor Usia, karena umumnya mereka adalah orang tua yang punya niat membantu kelancaran lalu lintas dan harus berganti karena tenaganya sudah tidak mendukung. Terus darimana penghasilan Mereka, wuah kalo ini Aku enggak begitu tahu.
Andaipun ada pengendera yang berhati baik dengan memberi sedikit rupiah, itu bukan menjadi sasaran Mereka, karena Mereka bukanlah pak Ogah perempatan jalan. Aku sendiri tidak tahu persis, apakah ada pihak lain yang memberikan honor atau apalah, tetapi Mereka mengatur lalu lintas dengan sabar dan senang.
Diantara sekian banyak relawan yang silih berganti, Aku melihat satu sosok yang justru tumbuh dan berkembang di Perlintasan Kereta itu. Aku masih ingat bagaiman lucunya Ia mengatur motor dan mobil agar mengikuti perintahnya. Terkadang ada yang mengikuti, tetapi tidak sedikit yang tidak menganggap. Mungkin karena dianggap masih anak kecil, bisa apa sih Kamu (itu yang ada dalam benakku). Kala itu si Bocil berusia sekitar 7 Tahun dan Ia sudah Ikut mengatur lalu lintas seharian.
Si Bocil sangat lincah melaksanakan tugasnya dan tidak jarang Ia melotot ke pengendera Sepeda Motor yang tidak mengikuti arahannya. Maklum, masih ada pengendera sepeda motor yang berani nyelonong perlintasan, meskipun suara peringatan dari petugas penjaga lintasan sudah meraung-raung. Kalau sudah demikian, maka Ia akan berteriak sambil mengeluarkan kata-kata sumpah serapah sebagai pelampiasan kekesalan pada pengendera sepeda motor.
Di sisi lain tanpa kami sadari, terbentuk ikatan emosi yang kuat dan saling ketergantungan antara pengendera dan pengatur lintasan kereta. Ini Aku ketahui, ketika dalam beberapa minggu Bocah tersebut tidak terlihat bekerja di perlintasan.
Ternyata teman-temanku sesama pelintas juga memperbincangkan hal ini. Ada rasa kehilangan terhadap kelucuannya dalam mengatur pengendara, dan Ia juga suka menghimbau agar pengamen yang suka meringsek angkot untuk sopan dan tidak memaksa meminta uang.
Hati kecilku berharap dan berdoa, ketidakhadiran Si Bocil itu karena sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku menginginkan Ia berada di Sekolah, karena Aku sering merasa bersalah melihat Anak sekecil itu berada dijalanan seharian tanpa bimbingan sekolah dan orangtua.