Nampak hitam legam mulai menyelimuti sekolah itu, tatkala endemik hutan mulai menyapa malam. segrombolan relawan mulai memutar otak, akan-kah sekolah ini berkelanjutan? seiring nasib anak-anak desa hutan memiliki hak mengenyam pendidikan, namun fasilitas bahkan realitas mereka jauh dari kecukupan.
Usai berbincang, 5 relawan sekolah itu pun memutuskan untuk bergerilya. lebih dari 10 rumah penghuni 2 kampung (karanggondang, sambirata) yang jelas jauh dari pusat desa-lah harapan untuk sekolah itu tetap bisa difungsikan.
Gendut, sapaan akrab salah satu relawan dengan nama (window) berhasil meyakinkan kesadaran orang tua dan anaknya untuk terus melanjutkan (semoga).
Kekhawatiran akan ketidakjelasan adanya siswa baru di sekolah itu-lah, akhirnya aku pun memutuskan ikut berkunjung dari rumah kerumah.
Hembusan angin malam itu sangat berasa, aku yang nampak segar karena cukup basah oleh guyuran air hujan berteman satu relawan (ngato) lulusan pertama sekolah itu, akhirnya sampai di depan rumah yang masih jauh dari layak, rumah beralaskan tanah, berpagar anyaman bambu dan kayu dihuni 3 orang itu. Pak Suparno bapak dari calon siswa sekolah itu.
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC.
 Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumpies10/rtc-event-bulan-kemanusiaan-rtc_5794e637f37e61350b63884b
Sapaan hangat di malam yang dingin, ibu Sodah nampak sibuk usai menyalami saya dengan berucap, maturnuwun pak sampun kerso tindak gugug kulo (terimakasih sudah mau datang ke rumahs saya), sembari berucap penuh kelembutan dan keprihatinan yang ada. Namun itu tergantikan, ketika khas sajian orang desa hutan, air minum teh sepet tanpa menggunakan gula pasir, nasi puneldengan lauk oseng daun singkong pun disajikan, sangat hangat dan benar-benar hangat ketika obrolan soal anaknya yang harus tetap sekolah pun mulai jelas, usai melahap nikmatnya makanan penuh kesederhanaan dan keikhlasan itu.
Kami pun bergegas pamit, berpindah dari rumah ke rumah, hampir semua rumah yang saya kunjungi tidak jauh kondisinya seperti rumah pak Suparno berikut keramahan dan kehangatan yang diberikan.
Tepat pukul 22.30 WIB, saya pun kembali untuk berkumpul dengan kawan-kawan relawan di sekolah kecil itu, al-hasil jawaban dari semua yang bergerilya semua positif, bahwa sekolah kita akan terus lanjut kita perjuangkan, walau hanya menerima 9 siswa tapi semoga tidak menjadi ancaman sekolah itu di tutup.
Akan-kah sekolah menjadi pemicu membunuh kehidupan? bisa saja kan, ketika dunia pendidikan kita tanpa pandang bulu memberlakukan sistem pendidikan dengan standar yang sama. Tentu tidak menjadi ancaman ketika seberapa pun yang harus dilayani tetap harus dilayani, seperti sekolah itu (MTs PAKIS), yang kemudian kita bersepakat untuk memberlakukan sistem daftar ulang sekolah mereka kita bebani untuk membawa hasil bumi atau hasil tani orang tua mereka. Kenapa hasil bumi, tanya kawan-kawan relawan pun terlontar dan seolah-olah tidak bisa dilakukan.
Hari pertama dunia pendidikan memasuki babak baru, ingat moto sekolah kita terunik dan terbaik, pendidikan adalah proses penyampaian pesan yang didalamnya ada proses pembelajaran dan pengajaran yang harus terus diperjuangkan. Upaya mengenal diri dan sekolah pun mulai kita dengungkan, dan pada akhir pertama mereka masuk menghasilkan satu kesepakatan, dihari ke-2 mereka kita himbau untuk datang bersama orang tua dengan membawa hasil bumi atau tani sebagai bentuk ikatan kepercayaan bahwa yang kita bangun adalah proses pendidikan untuk kemajuan bersama.
Keterbatasan kita adalah pemicu tumbuhnya kekuatan yang mampu merubah kondisi hidup dan kehidupan kita, sekolah kecil itu kerap dengan segala keterbatasan fasilitas belajar, namun tidak menyurutkan bahwa kita harus terus belajar.
Belajar dari bulan kemanusiaan, bayar sekolah dengan hasil bumi, kearifan lokal desa harus terus diperjuangkan karena sekolah itu, harus hidup untuk kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H