"Kedasih...," aku berucap segera. Menarik napas panjang, lalu mengatakannya, "Aku... mau pulang."
Raut muka Kedasih berubah seketika, jelas terlihat dia terkejut. Matanya membesar, mencari penjelasan dalam wajahku. "Maksudmu?"
"Aku mau pulang. Ke kamu. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Apa gunanya semua ini kalau aku harus jauh dari orang yang paling aku cintai?"
Dia terdiam, tapi seulas senyum muncul kembali di wajahnya, kali ini lebih lebar dan lebih hangat. Air mata yang tadinya tertahan di sudut matanya akhirnya jatuh juga. "Aku... aku sudah lama nunggu kamu bilang itu, Koh"
Aku tertawa kecil, lega. "Aku bodoh ya? Lama banget baru nyadar."
"Kamu bukan bodoh," jawabnya lembut, "Kamu cuma terlalu sibuk mengejar sesuatu yang kamu kira penting."
Benar. Itu dia. Aku terlalu sibuk mengejar dunia yang kupikir bisa membahagiakan, sementara kebahagiaanku yang sejati selalu ada di sana, di Yogyakarta, bersama Kedasih.
Seminggu setelah percakapan itu, aku benar-benar pulang. Aku menolak tawaran promosi besar itu, dan rekan-rekan kerjaku menganggap aku gila. Papaku juga marah-marah via telepon begitu tahu itu. Tapi Mama terdengar buru-buru menenangkannya. Aku tak peduli! Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, aku merasa ringan. Seperti beban yang selama ini kupikul akhirnya menguap begitu saja.
Saat pesawat mendarat di Jogja, dadaku dipenuhi rasa yang tak bisa kugambarkan. Ada gugup, ada bahagia, dan yang paling kuat: kerinduan yang sudah tak tertahankan.
Dan ketika akhirnya aku melihat Kedasih di bandara, berdiri di sana dengan senyum yang paling kurindukan, aku tahu, tak ada kesuksesan di dunia ini yang lebih berarti daripada memeluknya lagi.
Dia berlari menghampiriku. Dan saat kami berpelukan, aku tahu satu hal dengan pasti: rumahku bukanlah Beijing, bukan karir yang menjulang, melainkan dia---Kedasih. Dan kali ini, aku tak akan pernah pergi lagi.