Mohon tunggu...
tri bawonoaji
tri bawonoaji Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

Saya adalah manusia biasa saja seperti yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ingin Lekas Memelukmu Lagi

22 Oktober 2024   12:58 Diperbarui: 22 Oktober 2024   13:06 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hatiku mulai dirundung keraguan atas semua yang telah kulakukan. Apa gunanya kesuksesan kalau aku tak bisa membaginya dengan orang yang kucintai? Apa artinya semua pencapaian ini kalau setiap malam aku pulang ke ruang apartemen mewah yang sepi, bukannya ke pelukan Kedasih?

Pada malam itulah, aku menyadari satu hal yang tak pernah benar-benar kuakui sebelumnya. Aku terjebak dalam ambisiku sendiri. Aku terus mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa mengisi kekosongan di dalam diriku. Aku pikir, dengan jabatan dan uang, aku akan bahagia. Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin aku kehilangan diriku.

Dan semakin aku kehilangan Kedasih.

Beberapa hari setelah itu, proyek besar yang kami garap akhirnya rampung. Semua orang di kantor merayakan keberhasilan dengan pesta besar di salah satu hotel paling mewah di Beijing. Berbagai makanan mewah tersaji, juga berbotol-botol anggur bermerk yang dengan kualitas terbaik. Aku harusnya bahagia, kan? Tapi ternyata aku hanya merasakan hampa. Bahkan saat CEO perusahaan datang dan menawarkan jabatan yang lebih tinggi dengan paket gaji yang lebih fantastis, aku cuma tersenyum datar.

Sesuatu dalam diriku pecah malam itu. Aku melihat diriku sendiri, berdiri di puncak kesuksesan yang dulu kuimpikan, tapi dengan hati yang kosong.

Ketika pesta selesai, aku memilih pulang kembali ke apartemen, alih-alih tidur dengan perempuan-perempuan cantik yang bebas dipakai. Sempoyongan aku duduk di tepi ranjang dan memegang ponsel. Namanya, "Kedasih," tertera di layar. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami benar-benar berbicara panjang lebar. Rasanya sudah berabad-abad.

Aku menekan panggilan video.

Setelah beberapa nada tunggu, akhirnya muncul juga wajah di layar kaca. Ia sedang duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana, dengan daster bermotif batik dan wajah yang selalu membuatku tenang. Matanya berkaca-kaca melihatku, tapi ada senyum di wajahnya.

"Jimmy... kamu kelihatan capek," katanya pelan.

Aku mengangguk tapi berkata, "Bukan, aku mabuk."

"Kamu...?" suaranya terputus, ada jeda yang panjang setelahnya. Kami sama-sama tahu, ada banyak hal yang tak selalu bisa terucap. Matanya tampak kembali berkaca-kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun