Setelah beberapa kata penyemangat dari Reni, Lina akhirnya menutup telepon dan keluar dari mobil. Dia menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengusir kegelisahannya. Kamera sudah siap di tangan, dan langkahnya membawa dia mendekati pintu kayu besar di depan mansion.
Mansion tua itu konon peninggalan seorang pengusaha kaya di masa kolonial, terletak di tepi hutan rimba di sebuah kawasan pedesaan. Dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan semak-semak yang rimbun, bangunan ini berdiri megah dengan arsitektur kolonial yang megah, mencerminkan kejayaan dan kekayaan pemiliknya yang telah lama tiada. Dinding mansion yang dulunya mungkin putih bersih kini terlihat kusam dan pudar, dengan cat yang terkelupas di beberapa sudutnya, menandakan betapa lamanya bangunan ini ditinggalkan.
Atapnya yang tinggi, terbuat dari genteng merah tua, menambahkan kesan anggun dan klasik pada keseluruhan bangunan. Jendela-jendela besar berhiaskan tirai kuno yang berdebu, memberikan kesan bahwa setiap ruangan di dalamnya menyimpan rahasia dan kenangan yang terpendam. Halaman depan mansion dipenuhi dengan rumput liar yang tumbuh tinggi, seolah-olah alam berusaha merebut kembali apa yang pernah dimiliki, sementara jalan setapak berbatu yang sempit dan berliku mengarah ke pintu masuk utama, di mana gerbang besi berkarat berdiri angkuh, mengingatkan siapa pun yang mendekat akan kemewahan yang telah pudar.
Suara derit pintu tua yang terbuka perlahan membuat bulu kuduknya meremang. Di dalam, suasana suram menyambutnya. Lorong panjang dengan lantai kayu yang berderit setiap kali dia melangkah membuat suasana semakin mencekam. Debu tebal mengambang di udara, terpantul oleh cahaya tipis dari jendela yang retak-retak.
Saat Lina melangkah ke dalam mansion, hawa sejuk menyentuh kulitnya, dan bau lembap serta dedaunan busuk menyeruak ke indra penciumannya. Suasana di dalam mansion terasa angker dan misterius, dengan suara burung dan angin yang berbisik di antara pepohonan di luar, seolah mengingatkan setiap pengunjung bahwa mereka tidak sendirian.
Terlihat beberapa perabotan antik yang terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi, meski kini berdebu, masih mencerminkan keanggunan dan kemewahan yang pernah menghiasi mansion tersebut. Lukisan-lukisan potret keluarga pemilik yang terpasang di dinding terlihat memudar, seakan-akan mereka memandang dengan nostalgia, menceritakan kisah hidup yang telah lama berlalu.
Setiap ruangan tampak seperti saksi bisu dari kisah cinta dan kehilangan yang terlupakan, penuh dengan misteri dan rasa sakit yang tak terucapkan. Lina merasakan bahwa mansion ini tidak hanya sekadar bangunan tua, tetapi juga sebuah entitas yang memiliki nyawa, memanggilnya untuk menyelidiki lebih jauh dan menemukan rahasia yang terpendam di dalamnya.
Langkah-langkah kakinya terdengar jelas di lantai kayu yang lapuk, setiap deritannya seperti peringatan agar dia berhati-hati. Lina mendongak ke langit-langit yang tinggi, di mana lampu gantung besar menggantung tak bergerak. Lampu itu sepertinya sudah lama tidak menyala, tapi masih berdiri megah, seperti saksi bisu dari masa lalu mansion ini.
"Ayo, Lina. Fokus pada pekerjaan," katanya pada diri sendiri. Lina mengangkat kameranya dan mulai memotret. Dia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, mengabadikan detail-detail kusam dari mansion itu---cermin tua yang retak, lukisan-lukisan berdebu, dan furnitur antik yang terlihat seperti tak tersentuh selama bertahun-tahun. Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela memberikan kontras indah pada bayang-bayang gelap di dalam mansion.
Setelah beberapa saat, Lina menemukan sebuah ruangan yang terasa lebih pribadi. Sebuah perpustakaan kecil dengan rak-rak buku yang sudah lapuk, dan di dindingnya tergantung serangkaian foto-foto tua. Foto-foto itu tampak biasa saja pada pandangan pertama---potret keluarga dari masa lalu, dengan pakaian formal yang rapi dan ekspresi serius.
Tapi ada satu yang membuatnya tertegun.