Lina masih menatap tajam mata Arya yang sebaliknya teduh, tapi mulutnya masih belum bisa berucap sepatah katapun.
"Aku minta maaf, tidak berterus terang sedari awal. Kamu boleh marah, bahkan jika perlu menamparku. Berkali-kalipun tidak masalah," kata Arya sambil tersenyum tenang.
Lina mulai mengerti arti senyum dan sikap tenang Arya. Dia sudah mengenalnya lumayan lama. Ada kesamaan dalam diri mereka berdua, keras kepala demi mempertahankan apa-apa jika itu diyakini benar. Itu artinya, dia boleh saja marah tapi jangan sekali-kali menolak lamaran Arya. Karena jika kebenaran sudah terungkap sampai sejauh ini, ke ujung duniapun dia mencoba lari, bakalan Arya kejar sampai mati.
"Plak!" suara tamparan di pipi Arya terdengar keras menggema, terpantulkan oleh dinding ruangan mansion yang lembab dan catnya banyak terkelupas.
---
Beberapa minggu kemudian, di bawah sinar matahari yang lembut di sebuah taman kota yang jauh dari mansion tua itu, Lina dan Arya berdiri berdua, mengucapkan janji sehidup semati. Tidak ada lonceng besar atau pesta mewah, hanya mereka dan cinta yang mereka rasakan, seperti janji yang terucap berabad-abad lalu namun kini akhirnya terpenuhi.
Ketika mereka mengucapkan sumpah, angin bertiup pelan, seolah membawa kelegaan dari masa lalu. Clara dan kekasihnya kini bisa beristirahat dengan damai, karena cinta mereka akhirnya menemukan akhir yang bahagia---meskipun dalam kehidupan yang berbeda.
Lina menatap Arya dengan senyum hangat. "Aku merasa... segalanya akhirnya masuk akal."
Arya mencium kening Lina lembut. "Kita berhasil, Lin. Kita telah menulis cerita kita sendiri."
Mereka berdiri di sana, membiarkan masa lalu dan masa depan melebur dalam harmoni. Kali ini, cinta mereka tidak akan terhenti oleh waktu.
---