Mohon tunggu...
tri bawonoaji
tri bawonoaji Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

Saya adalah manusia biasa saja seperti yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Tragedi Kampus Giliwangi

13 September 2023   00:55 Diperbarui: 13 September 2023   00:56 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
youtube.com/Prasetya DH

Bagian 1

Keterlambatan yang Membawa Sial

Sederet motor terlihat berjajar rapi di lahan parkir depan laboratorium. Jesika yang baru saja sampai, menambah lagi panjang deretan itu dengan motornya. Tampaknya dia begitu tergesa gesa, mimik wajahnya menampilkan kecemasan. Dengan tergopoh-gopoh dia berlari menuju gedung laboratorium. Menaiki puluhan anak tangga hingga sampai di lantai 3 gedung itu. Sesampainya, segera diketuk pintu ruang laboratorium bersekat kaca tembus pandang berulang kali, hingga wajah seorang asisten praktikum tampak menoleh padanya, lalu menganggukkan kepala. Tanda bahwa Jesika diperbolehkan masuk meskipun terlambat. Maka segeralah dia masuk ke dalam, setelah lebih dahulu melepas sepatunya dan menaruh di rak yang terletak di samping pintu luar ruangan.

Sebutlah nama si asisten ini Dewi, mahasiswi yang lebih senior 2 tingkat di atas Jesika. Dewi segera menjelaskan pada Jesika bahwa ia diperbolehkan ikut sesi praktikum hari itu, tapi dengan sebuah konsekuensi. Yaitu : jika nanti kegiatan praktikum telah selesai, Jesika harus membersihkan seluruh peralatan laboratorium yang habis dipakai praktek. Baik yang dipakai Jesika bersama kelompoknya, maupun yang dipakai kelompok lainnya. Tak boleh ada seorang pun yang boleh membantunya. Jesika terpaksa menerima konsekuensi itu meski dalam hati agak gondok karena merasa alasan keterlambatannya itu semestinya wajar adanya.

Gedung laboratorium yang digunakan untuk kegiatan praktikum adalah gedung baru yang lokasinya terpisah jauh dari gedung kampus utama di dekat pusat kota. Baru hari itu Jesika beserta kawan seangkatan memakainya untuk kegiatan praktikum. Gedung itu terletak jauh dari jalur jalan utama provinsi, bahkan masuk ke pelosok perkampungan yang masih dikategorikan Pemerintah Daerah setempat sebagai desa tertinggal. Berdiri bersama 4 gedung lain dalam satu kawasan berupa padang rumput hijau yang luas. Belum berpagar keliling, masih terbuka sehingga tiap hari penduduk kampung sekitar masih bisa bebas memanfaatkan kawasan itu untuk menggembalakan hewan ternaknya seperti kambing, domba, sapi dan kerbau.

Jesika berkendaraan ke kawasan itu dengan mengandalkan Google map di ponselnya. “Kampus STIPER Giliwangi”, demikian dia tuliskan di kolom pencarian Google. Dengan mengikuti petunjuk Google map itu, beberapa kali dia malah tersesat dan harus berbalik arah hingga terpaksa bertanya pada penduduk kampung. Itulah alasan kenapa dia terlambat sampai di laboratorium. Bukankah itu alasan yang wajar? Tapi rupanya Dewi dan asisten yang lain tak menerima apapun alasan keterlambatan. Dengan dalih melatih kedisiplinan mahasiswa baru seperti Jesika.

Usai kegiatan praktikum, semua kawan Jessica pun segera pulang. Waktu itu hari sudah menjelang petang, tinggal Jesika sendirian yang masih tampak sibuk mencuci peralatan kotor bekas dipakai praktek tadi. Dewi menitipkan kunci ruangan padanya dan berpesan agar memberikan kunci itu nanti kepada seorang mahasiswa tingkat akhir yang sebentar lagi akan gentian memakai ruangan untuk penelitian.

“Nanti kalau mas bayu sudah sampai sini, berikan kunci ini padanya ya ! Biasanya dia datang ke sini sekitar jam 7 malam”, jelas Dewi pada Jessica sambal mengulurkan kunci ruang laboratorium.

“Kalau kerjaanmu sudah beres sebelum mas Bayu sampai sini, kamu belum boleh pulang! Tunggu sampai dia datang!” kata salah seorang asisten praktikum yang lain dengan ketus.

Jesika hanya bisa patuh, diterimanya kunci itu dengan raut wajah dongkol.

Malam pun menjelang, tak lagi ada terang dari cahaya matahari, yang ada hanyalah terang yang terpancar dari bolam lampu listrik. Kerjaan Jesika tinggal sedikit, tapi dia tak kuasa lagi menahan hasratnya untuk buang air kecil. Bergegas dia tinggalkan ruang laboratorium menuju toilet yang posisinya berjarak satu ruangan di paling ujung gedung di lantai 3 itu. Dasar memang mungkin hari itu hari sial buat dirinya, sampai depan pintu toilet kaki Jessica terpeleset sedikit genangan air di atas lantai. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya terantuk dinding. Jesika pun seketika pingsan!

Bagian 2

Lupa Diri - Hilang Kendali

dapurbasahminimalis.blogspot.com
dapurbasahminimalis.blogspot.com

Begitu siuman, Jesika segera menatap ke sekeliling sambal berbaring. Tampaknya dia sedang berada di dalam bilik kamar yang seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu. Ingin rasanya Jesika bangkit duduk, tapi kepalanya terasa berat dan sakit, maka urunglah niatnya. Dia lalu berusaha flashback, mengingat-ingat kejadian apa gerangan yang tadi dialaminya. Berkali-kali berusaha mengingat, bukannya semakin jelas malah semakin bercampur aduk tak karuan ingatannya. Kepalanya serasa bertambah sakit saja.

Seorang ibu terlihat masuk ke dalam kamar sambil tersenyum, berusia di kisaran umur 60 tahunan, membawa baskom yang berisi air hangat dan kain handuk kecil. Si ibu lalu mengambil duduk di samping Jesika terbaring.

“Kamu sudah sadar rupanya, nak” kata si ibu.

Jesika menatapnya dengan tatapan blo’on sambil mengangguk pelan. Si ibu segera menenangkan Jesika dan memperkenalkan dirinya, juga menceritakan ihwal Jessica bisa sampai ada di dalam kamar itu. Sembari bercerita, tangannya memeras kain yang tercelup air hangat dalam baskom, lalu meletakkannya di atas dahi Jesika. Bau harum rempah-rempah pun tercium kuat. Rupanya air dalam baskom itu bercampur semacam ramuan herbal dari dedaunan dan akar-akaran.

Kata si ibu, Jesika ditemukan penduduk kampung tergeletak pingsan di tepi jalan, lalu dibawa ke rumah si ibu yang notabene seorang ahli pengobatan tradisional. Oleh anak lelakinya, Jesika kemudian diambil alih dan dibaringkan di kamar itu. Jesika yang menyimak keterangan si ibu mencoba mengingat-ingat, tapi sepertinya sia sia.

“Anwar ! Sini masuk !” teriak si ibu tiba-tiba.

Rupanya dia memanggil anak lelakinya, hendak diperkenalkan pada Jesika. Yang dipanggil tampak masuk lalu diam berdiri di samping ranjang. Si ibu buru buru menambahkan bantal untuk mengganjal kepala Jesika, supaya bisa lebih jelas menatap anak lelaki yang sedang diperkenalkan. Jesika terkesima menatap anak si ibu, ternyata dia adalah sosok lelaki yang sangat tampan, muda seumurannya. Rambutnya lurus panjang sebahu, hitam mengkilap. Kumis tipis di bawah hidungnya yang mancung makin melengkapi ketampanannya. Matanya agak sipit dan kulit tubuhnya putih bersih, lebih putih dari si ibu yang cenderung sawo matang. Jesika yang notabene penggemar berat boyband korea itu sampai tak berkedip menatapnya.

“Nah, ini Anwar, anak lelaki ibu satu satunya”, jelas si ibu pada Jesika.

Remaja tampan itu mengangguk sekali dengan senyum tipis sambil malu-malu menatap Jesika. Sebaliknya Jesika membalasnya dengan antusias dan segera memperkenalkan namanya.

“Hai ! Aku Jessika”, katanya.

Sekali lagi, remaja tampan itu membalas salam perkenalan hanya dengan sekali anggukan dan senyum tipisnya yang memikat Jessica. Si ibu yang tanggap atas respons Jesika, bergegas pamit dengan alasan hendak ke rumah tetangga. Sebelum pergi, si ibu tak lupa berpesan pada anak lelakinya itu agar melayani Jesika yang belum pulih betul kondisinya.

Jessica senang sekali atas kepergian si ibu. Kini dia bisa lebih leluasa berduaan dengan remaja tampan bernama Anwar itu. Jesika pun lupa diri, tersihir oleh ketampanannya. Tak lagi ingin mengingat-ingat kejadian apa gerangan yang telah dialami sebelumnya. Dia amini saja cerita si ibu tadi. Dia yakin sedang berada di rumah penduduk desa sekitaran kompleks gedung kampusnya yang baru. Jika sudah pulih kondisinya, toh dia bisa kembali lagi pulang ke rumah. Besok-besok juga tak jadi soal. Palingan mamanya menyangka dia terpaksa numpang tidur di rumah kost temannya karena banyaknya tugas kuliah yang mesti diselesaikan.

“Mas Anwar, ini kain kompresnya sudah agak kering nih…! Tolong diganti dong!” kata Jesika sedikit merengek.

Anwar segera mendekat. Dengan sigap diambilnya kain handuk yang menempel di dahi Jesika, dicelupkan lagi ke dalam baskom, diperas, lalu ditempelkan kembali ke tempat semula. Jesika girang bukan kepalang, bak seorang fans boyband yang dapat kesempatan bertemu idolanya. Rasa sakit di kepalanya pun hilang seketika!

Anwar dalam pandangan Jessica adalah tipe pria pemalu. Adalah sudah menjadi kegemaran Jessica untuk menggoda lelaki yang seperti itu. Jessica memang hobi gonta-ganti pacar, semuanya bertipe seperti Anwar yang pemalu, pendiam dan takut-takut sama perempuan. Tak puas hanya memandang saja, Jessica pun kembali bersiasat. Disuruhnya anwar membantunya bangkit dari rebahan, dengan begitu dia bisa merasakan sentuhan tangan anwar pada kedua lengannya.

Begitu Anwar melakukan apa yang diminta Jesika, wajah mereka berdua pun begitu dekatnya. Tak kuasalah Jesika menahan Hasrat. Dengan refleks, diciumnya pipi Anwar. Yang dicium pun kaget, kulit wajahnya yang tadinya putih seketika jadi tersipu kemerahan. Jesika sendiri juga kaget, sadar bahwa dia telah hilang kendali. Dipandangnya wajah anwar dengan tampang menyesal. Tapi diluar dugaan, Anwar justru membalasnya dengan tatapan teduh. Tangannya yang semula menopang tubuh Jesika, kini beralih membelai rambutnya dengan lembut. Wajahnya malah semakin didekatkan ke wajah Jessica. Jantung Jessica yang sedari tadi sudah berdebar-debar, kini meletup-letup tak karuan kayak petasan. Diraihnya punggung leher anwar demi bisa segera berciuman.

Dua insan remaja belia masing-masing telah kehilangan kesadarannya. Keduanya saling beradu dalam permainan nafsu menggebu. Saling berpagut bibir sambil menelanjangi tubuh masing masing. Desah nafasnya bersahut-sahutan, diselingi dengan lengguhan-lengguhan eksotis. Tanpa mereka sadari, si ibu mengintip dari balik pintu kamar sambil tersenyum geli.

Bagian 3

Makam Keramat

youtube.com/Prasetya DH
youtube.com/Prasetya DH


Sementara itu, di gedung laboratorium lantai 3, tampak seorang mahasiswa celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Cowok berkacamata tebal itu menebar pandangan matanya ke seluruh ruangan lab yang sejak dia datang pintunya tak terkunci. Kuncinya ditemukan tergeletak di atas meja, bersebelahan dengan tas punggung warna cerah yang dihiasi pernak-pernik aksesoris di beberapa sisi. Sudah bisa dipastikan itu tas cewek. Di luar tadi juga dia lihat sepatu sendal cewek terpampang di rak sepatu. Tapi ke mana orangnya?

“Ah, mungkin sedang ke kamar mandi”, gumamnya pelan.

Mahasiswa itu tak mau ambil pusing dan buang buang waktu, segera dihampirinya sederet rak yang berisi sampel objek penelitian miliknya. Jika tak segera dilakukan pencatatan data, nanti keburu kelewat jamnya. Sambil berjongkok segera diukurnya tinggi kecambah tanaman yang tumbuh di tiap lubang tray semai lalu dicatatnya ke dalam lembar kertas berisi tabel.

Sampai separuh jumlah sampel berhasil dilakukan pengukuran dan pencatatan, teringatlah dia tentang sepatu dan tas perempuan yang dilihatnya tadi. Pemiliknya sebetulnya ke mana? Sebab sudah cukup lama dia beraktivitas. Untuk separuh sampel saja dia biasa memakai waktu hampir 1 jam. Seandainya berada di kamar mandi, masa sih belum juga keluar? Rasa penasaran pun mengusik konsentrasinya. Diletakkannya semua peralatan, lalu bangkit dan melangkah keluar ruangan menuju kamar mandi.

Alangkah terkejutnya dia ketika melihat tubuh seorang gadis terbaring di lantai dalam posisi miring mepet ke tembok, tanpa busana! Jas lab, kemeja dan celana jeans tampak berserakan di sekitarnya, juga pakaian dalam. Buru buru dihampirinya tubuh si gadis, dipegangnya urat nadi di leher untuk memastikan apakah masih bernyawa atau tidak. Yakin urat nadi yang dipegangnya masih berdenyut, segera diselimutinya tubuh si gadis dengan jas lab lalu dibopongnya masuk ke dalam ruang laboratorium. Dibaringkan tubuh si gadis di atas meja yang paling panjang.

Si mahasiswa itu tampak begitu cekatan, mulai dari caranya mengecek denyut nadi, membopong, hingga upayanya menyadarkan si gadis dari pingsan. Rupanya dia itu adalah mahasiswa yang sering menjadi relawan kegiatan kemanusiaan. Perkara pertolongan pertama pada kecelakaan, dia sudah hafal di luar kepala. Dialah Bayu, mahasiswa semester akhir yang seharusnya menerima estafet kunci ruang laboratorium dari Jesika, sebagaimana pesan yang disampaiakan oleh Dewi si asisten praktikum tadi. Sedangkan si gadis tak sadarkan diri yang ditolongnya itu tentu saja adalah Jesika.

Selihai-lihainya Bayu menangani orang yang sedang pingsan, kali itu tetaplah dia agak canggung bercampur gelisah. Pertama karena aneh, tubuh si gadis yang ditolongnya itu ditemukan sudah dalam keadaan tanpa busana. Terang saja kepalanya langsung terjejali dengan berbagai pertanyaan. Kedua, ini bisa berbahaya buat dirinya sendiri. Salah-salah, dia bisa jadi tertuduh sebagai pelaku pelecehan seksual. Akhirnya, diputuskanlah untuk tetap melapor ke petugas security kampus. Ketimbang ragu-ragu, Bayu lebih memilih pasrah mengikuti prosedur. Ragu-ragu justru akan mengundang kecurigaan. Yakin bahwa kebenaran punya cara sendiri untuk menemukan jalannya.

Singkat kata, Pak Ahmadi, petugas security yang hari itu jadwal jaga malam berhasil ditemuinya dengan cepat. Beruntungnya, Pak Ahmadi ini tergolong orang yang bijak, bisa dengan mudah memahami laporan Bayu. Rupanya Pak Ahmadi itu orang asli kampung terdekat, sudah mafhum dengan kejadian-kejadian aneh di kawasan kampus baru tersebut. Lagipula, Pak Ahmadi percaya pada Bayu yang sudah dikenalnya sebagai mahasiswa semester akhir tanpa cacat reputasi. Pak Ahmadi juga sepakat dengan usulan Bayu untuk tidak terburu-buru melibatkan pihak kepolisian.

“Betul Mas Bayu, sebaiknya sebisa mungkin masalah ini berakhir di sini malam ini juga. Kalau melibatkan polisi nanti malah beritanya bisa digoreng nggak karu-karuan dan nyebar kemana-mana. Reputasi kampus bisa jatuh”, kata Pak Ahmadi menanggapi usulan Bayu.

Bayu pun akhirnya bisa bernafas dengan lega, setidaknya dia tidak dibawa ke kantor polisi untuk mintai keterangan malam ini.   

Pak Ahmadi kemudian memanggil beberapa warga kampung untuk membantunya. Bukan warga biasa, didatangkannya para tetua adat kampung notabene punya keahlian spiritual. Butuh waktu tak sebentar untuk bisa membuat sadar Jesika, juga butuh persyaratan yang tak sedikit dan tak mudah, termasuk kepala kambing segar. Sehabis dipotong, kepala kambing itu mesti segera ditanam di halaman gedung laboratorium. Ritual adat dilakukan diam-diam malam itu. Di lantai 3 gedung laboratorium berlanjut ke halaman belakang gedung.

“Sukma Jesika sedang disandera di alam siluman. Harus dikeluarkan secepatnya ! Jika tidak, nyawa anak ini nanti bisa ikut melayang”, jelas Mbah Wiro, salah satu tetua adat yang memimpin ritual. Segera setelah melakukan penerawangan dengan mata batinnya.

Bayu hanya bisa menjadi pengamat, sementara Pak Ahmadi sibuk berkoordinasi dengan petugas sekuriti yang lain. Mengkondisikan keadaan supaya aman terkendali.

Usut punya usut, gedung kampus baru itu ternyata berdiri di lahan sengketa. Beberapa warga ada yang masih belum ikhlas melepas tanahnya dengan imbalan ganti rugi yang ditawarkan pihak developer. Beberapa warga yang tak ikhlas melepas tanahnya itu, akhir-akhir ini sering bersekutu melakukan ritual-ritual kuno untuk membuka pagar gaib di kompleks makam keramat. Berharap siluman penunggu makam itu terlepas dan melakukan teror di kompleks gedung kampus baru tersebut.

Di area kompleks gedung kampus baru itu memang terdapat makam keramat yang belum dipindahkan sesuai kesepakatan bersama warga kampung sekitar. Tepatnya di halaman belakang gedung laboratorium. Ilusi yang dialami Jesika malam itu adalah ulah siluman penunggu makam keramat tersebut. Berwujud seperti manusia dengan tubuh yang dipenuhi bulu lebat, tapi kepala dan kakinya seperti kerbau.

Siluman itu dulunya berhasil ditakhlukkan oleh sang empunya makam keramat tersebut. Setia menemani kemanapun beliau pergi. Sampai beliau wafat, siluman itu juga masih setia menunggui makamnya. Area pergerakannya kemudian dibatasi pagar gaib oleh para tetua adat yang terdahulu. Hanya di sekitar kompleks makam keramat saja. Supaya tidak mengganggu warga dengan ilusinya yang aneh-aneh.

Belum jelas mulai kapan siluman itu terlepas. Yang jelas, malam itu Jesika sudah menjadi korbannya. Beruntung akhirnya masih bisa diselamatkan. Singkat cerita, Jesika berhasil siuman dari pingsan setelah ritual adat diadakan. Mbah Wiro beserta tim spiritualnya berhasil bernegosiasi dengan si siluman. Tapi tentu saja perlu waktu untuk memulihkan kondisi mentalnya sehingga harus segera dilarikan ke klinik psikiater dan menjalani serangkaian terapi psikologis.

Maka sejak kejadian itu, pihak manajemen kampus segera bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk membereskan persoalan agraria yang selama ini terus ditunda-tunda, termasuk memindahkan makam keramat tersebut ke lokasi yang telah menjadi kesepakatan dengan warga sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun