Gagasan tentang sistem presidensial yang diperkuat dengan kabinet yang akan diisi oleh para profesional digulirkan Jokowi dan PDIP menjelang pilpres 2014. Sesuatu yang sebenarnya sejak 16 tahun reformasi telah lama dirindukan oleh rakyat yang menginginkan perubahan mendasar di negeri ini. Ide baru yang mirip sebuah utopia itu menginginkan sistem pemerintahan yang jauh dari bau menyengat parlementer yang selama ini identik dengan kesepakatan koalisi transaksional partai politik dan bagi bagi kekuasaan. Seperti lagi dagang sapi di pasar!
Baik partai maupun tokoh tokohnya semakin hari semakin menampakkan wajah oportunis yang tak ingin jauh jauh dari kekuasaan. Etika politik pun makin bergeser dengan hanya mementingkan paradigma kekuasaan. Setiap Usai pileg, tidak pernah lagi terdengar faktor "demi kepentingan rakyat" ketika partai politik berproses mengambil keputusan. Yang ada di kepala mereka hanya tujuan kemenangan, pemerintahan dan parlemen yang kuat dan tujuan pragmatis lainnya.
Maka ketika ide si Jokowi ini muncul terasa mengejutkan, sekaligus seakan mengingatkan kita kembali tentang seperti apa sebenarnya pemerintahan Indonesia yang ideal. Perdebatan bisa panjang soal ini, namun Jokowi yang berada diatas angin memang punya momentum untuk melontarkan gagasan yang "nyeleneh" ini sekaligus melakukan perombakan paradigma dan cara berpikir yang selama ini sudah kita anggap lumrah.
Tentu gagasan ini membuat banyak pihak mulai kebakaran jenggot. Beberapa hari yang lalu, Menko Ekuin kita yang pintar itu mencoba mengaburkan pemahaman apa itu politikus dan apa itu profesional. Beliau mengatakan politikus banyak yang juga profesional dan profesional itu juga banyak yang politikus. Sehingga menurutnya tidak bisa dibedakan antara politikus dan profesional. Sederhana mencerahkannya.
"Politikus itu jika dipecat karena tak mampu akan menimbulkan goncangan politik di parlemen. Sedangkan profesional jika diganti dengan profesional yang lain, hanya anak bininya saja yang mungkin terguncang. Sudah jelaskan bedanya sekarang?"
Namun pertanyaan sesungguhnya mungkinkah gagasan itu dilakukan?
Tentu bisa! Bisa dong.. bisa saja... Asalkan Oowi (eh.. Jokowi gak pake JK, soalnya saya gak suka JK) atau siapapun presiden terpilih nanti berani mengambil resiko untuk dimusuhi oleh semua partai politik bahkan oleh partai pengusungnya sekalipun. Penyusunan kabinet dengan hak prerogatif yang melekat padanya hanya dilakukan dengan satu pertimbangan yaitu demi kepentingan rakyat Indonesia, demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Selebihnya biarkan sejarah yang akan mencatat!
Kalo bahasa gaulnya "emang gue pikirin, loe mau dukung gue kek, mau menjegal gue kek, rapopo.., yang penting gue kerja dan rakyat bisa melihat dan merasakannya"
Nah.. sampai disini jika kita mau optimis dan gak mau gagasan yang manis dan pasti laris ini hanya menjadi sekedar wacana dan alat untuk memenangkan pertarungan pilpres, tentu harus ada gagasan lain untuk menindak lanjutinya secara konkret. Misalnya tentang bagaimana dan siapa yang akan menduduki kursi menteri kabinet nanti? Kita pasti berharap para profesional yang benar benar teruji dan ahli dibidangnya yang menahkodai setiap kementerian. Sosok the right person in the right place lah. Muncullah pertanyaan baru.
Caranya?
Salah satu cara yang bisa diambil untuk menemukan sosok profesional yang ideal untuk menduduki sebuah jabatan tinggi adalah dengan melakukan konvensi calon menteri dan lembaga tinggi. Semua pejabat tinggi diluar militer yang masih dalam kewenangan prerogatif presiden harus dijaring dengan fit and proper test dan uji publik yang ketat. Dimana masyarakat dilibatkan aktif untuk menilai dan menguji track record, ide dan gagasan setiap kandidat, meskipun keputusan akhirnya tetaplah di tangan presiden.
Cara konvensi terbuka ini juga akan meringankan beban presiden jika di kemudian hari misalnya harus memberhentikan menteri karena gagal mencapai target. Sebab sejak awal masyarakat sudah tahu ide gagasan dan langkah yang akan diambil sang menteri. Setiap resistensi partai politik soal pemecatan hanya akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan publik sebab sang menteri itu dikontrak tidak hanya oleh presiden, tapi gerak geriknya juga diawasi langsung oleh publik.
Konvensi dapat menjadi sebuah kebiasaan baru untuk menjaring setiap pejabat tinggi di semua bidang pemerintahan, syukur syukur jika bisa menjadi budaya baru di Indonesia. Selanjutnya para pemodal politik dan pelaku politik dagang sapi hanya dapat terbengong bengong, gigit jari sambil mengelus dada.
Masih mungkinkah Indonesia menjadi hebat?
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H