Mohon tunggu...
Politik

Kasus Rembang: Pertarungan Bisnis Semen di Indonesia

13 Desember 2016   19:30 Diperbarui: 14 Desember 2016   14:51 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini semua tuduhan berhasil dijawab dan dibuktikan secara baik oleh pihak Semen Indonesia, apakah itu di pengadilan TUN tingkat pertama di Semarang, maupun di pengadilan TUN tingkat banding di Surabaya. Namun, anehnya, entah mengapa, di tingkat kasasi Mahkamah Agung mengabulkan permintaan Peninjauan Kembali oleh pihak penggugat yang merupakan kelompok-kelompok perlawanan tersebut.

Persaingan Bisnis: Asing dan Swasta

Apabila kita menarik lagi kepada motif ekonomi, maka ada asumsi bahwa para pemain-pemain baru di industri semen mulai menggeliat. Beberapa laporan menunjukkan bahwa mulai munculnya pemain-pemain baru seperti Tiongkok yang ingin bermain di sektor semen nasional. BUMN seperti Semen Indonesia hanya  menguasai 36% kapasitas domestik pasar semen nasional. Pihak asing yang telah mampu menguasai pasar semen nasional diantara lain Lafarge/de Holcim (Holcim-Swiss ) dengan 15%, PT Indocement dibawah bendera perusahaan Jerman Heilderberg dan Salim Grup (minoritas) dengan 30 %, dan pemain-pemain baru lainnya yang mampu menguasai total 19% kapasitas domestik.

Belum lagi, pemain-pemain baru bermunculan dengan segala kontroversinya. Baru-baru ini, industri semen nasional dikejutkan dengan kontroversi pembangunan pabrik semen milih perusahaan China, PT Conch di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Permasalahan tersebut terletak pada berkas perizinan perusahaan yang tidak dilengkapi dan berdampak pada legalitas pendirian pabrik dan melawan hukum yang ada di negara ini. Masyarakat menyebut keadaan tersebut sebagai “Semen Spanyol”.

Penggunaan istilah Semen Spanyol diartikan sebagai singkatan dari “Separo Nyolong”. Hal tersebut disematkan kepada perusahaan semen China  sebagai bentuk kekhawatiran atas penetrasi perusahaan semen asing yang kurang mematuhi aturan dan regulasi yang berdampak pada kerugian konsumen.  Aturan tersebut antara lain penggunaan TKA Cina dan investasi bodong yang berpotensi merugikan investor saat pabrik semen yang berjalan dianggap illegal dan harus ditutup.

Kemudian, salah satu perusahaan nasional yang sering bermasalah dengan permasalahan lingkungan di Indonesia ikut meramaikan peta persaingan semen nasional. Produk semen tersebut bernama Semen Merah Putih yang berada dalam merek dagang PT Cemindo Gemilang yang terafiliasi dalam Wilmar International. Terkenal sebagai konglomerat yang sering merusak lingkungan melalui aktivitas sawitnya, kali ini Wilmar melanggar peraturan pemerintah yang melarang impor semen gelondongan atau semen jadi yang siap dipasarkan. Karena belum selesainya pembangunan pabrik Cemindo Gemilang yang dibangun Wilmar di Banten, maka mereka menyiasati dengan mengimpor semen jadi dari Chinfon Cement dan sudah bermerek Semen Merah Putih.

Saat publik disibukkan dengan isu  pro-kontra pembangunan Semen Indonesia di Rembang,  PT Asia Cement Pati bersiap untuk melakukan investasi bernilai 7 Triliun dengan pembangunan pabrik berkapasitas 4,4 juta ton di Pati, Jawa Tengah. Padahal pada tahun 2014, Semen Indonesia berencana untuk membangun pabrik di daerah tersebut dan akhirnya mundur setelah menyadari bahwa pembangunan tersebut berbahaya bagi kelestarian alam.

Tetapi saat pabrik semen asing tersebut membangun pabrik di wilayah tersebut, tidak ada suara lantang dari masyarakat. Malah, pihak kontra, seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pengunungan Kendeng dan Komunitas Sedulur Sikep serta berbagai kelompok masyarakat, LSM dsb, malah lebih tertarik mempermasalahkan BUMN Semen Indonesia yang akhirnya memutuskan mendirikan pabrik di Rembang.

Adalah tanda tanya besar saat kita melihat gerakan pimpinan Gunretno dari komunitas Sedulur Sikep, LSM, tokoh-tokoh media sosial (endorser) mengapa diam saja dengan keadaan tersebut tapi malah asyik terus menyerang Semen Indonesia. Apakah yang dilakukan oleh mereka adalah gerakan peduli lingkungan secara tulus atau jangan-jangan hanya dijadikan alat oleh korporasi pesaing Semen Indonesia, yakni pemain-pemain asing dan swasta.

Masyarakat karenanya harus lebih jeli dalam melihat kasus penolakan terhadap pabrik semen di Rembang. Karena yang terjadi sebenarnya adalah mobilisasi massa dan eksploitasi rakyat kecil oleh orang-orang yang mengklaim peduli dengan keadilan dan nasib rakyat. Kenyataannya tidak seperti itu. Banyak permainan elite nasional dan lokal, yang melibatkan aktor politik, LSM, intelektual, madia, cukong atau pengusaha, yang akan segera terungkap nantinya di balik ini semua.

Kemajuan sebuah bangsa justru ditentukan oleh kemandirian ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan rakyat. Dalam posisi itulah sesungguhnya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sebagai Kepala Daerah memikirkan kesejahteraan rakyat melalui strategi pembangunan yang dilakukan, antara lain mendukung keberadaan pabrik semen di Rembang. Dampak ekonominya akan dikawal untuk kemaslahatan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun