Mohon tunggu...
Politik

Kasus Rembang: Pertarungan Bisnis Semen di Indonesia

13 Desember 2016   19:30 Diperbarui: 14 Desember 2016   14:51 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Dokumentasi Pribadi

Meskipun kenyataannya mayoritas masyarakat Rembang mendukung pendirian pabrik milik PT Semen Indonesia, tetapi masih ada pihak-pihak kontra yang terus menghalang-halangi pembangunan tersebut.

Tulisan ini ingin menjelaskan yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan di sektor industri semen yang telah memobilisasi kontradiksi di tengah-tengah kelompok-kelompok di masyarakat, khususnya warga desa, pesantren, LSM dan perguruan tinggi.

Sebagai gambaran awal, Semen Indonesia adalah BUMN yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan sisanya oleh publik. Sebagai BUMN, Semen Indonesia adalah perusahaan terdepan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sekaligus untuk mendorong perekonomian nasional.

Saat ini, Indonesia mendorog fokus pembangunan khususnya di bidang infrastruktur. Semen Indonesia sendiri telah menjadi industri nasional yang kompetitif bahkan telah berhasil ekspansi ke pasar luar negeri. Mengingat tingginya potensi semen di Indonesia, sejumlah pemain lain, baik asing mampu swasta nasional, ikut pula bermain di sektor semen.

Semen Indonesia

Semen Indonesia berasal dari cikal bakal peresmian Semen Gresik pada tanggal 7 Agustus 1957. Diresmikan oleh Presiden Soekarno, perusahaan semen tersebut mampu memasang instalasi hasil untuk 250 ribu ton semen per tahunnya. Semen Gresik juga menjadi BUMN pertama yang go public dengan menjual 40 juta lembah saham kepada masyarakat, saat itu komposisi pemegang saham adalah negara 73%, masyarakat 27%. Saat ini Semen Gresik bergabung bersama Semen Padang dan Semen Tonasa untuk menjadi satu kekuatan penuh dibawa payung Semen Indonesia untuk menjaga pangsa pasar semen nasional. Dengan komposisi 51% saham negara dan 49% publik, Semen Indonesia menjadi salah satu BUMN sukses yang mampu berjuangan menjaga ekonomi nasional.

Sebagai perusahaan milik pemerintah, saat ini Semen Indonesia memfokuskan diri dalam program pembangunan seiring dengan prioritas pemerintah dalam bidang pembangunan infrastruktur untuk pembangunan konektivitas berupa jalan dan kembatan, pembangunan pelabuhan, bandar udara serta jalur kereta api. Pertumbuhan properti di Indonesia juga makin besar seiring program pemerintah terkait pembangunan satu juta rumah.

Kondisi ini sebenarnya mampu berdampak positif pada peningkatan semen nasional dimana pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 64 juta ton dan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Prediksi permintaan semen yang akan terus meningkat tersebut, dapat mendorong industri semen untuk meningkatkan kemampuan produksi.  Kondisi ini sekaligus menjadi daya tarik bagi para investor untuk melakukan investasi di bidang industri semen di dalam negeri.

Tetapi potensi tersebut tidak dapat di buktikan pada saat ini. Angka penjualan Semen Indonesia menurun ke angka minus 3,5 persen pada pertengahan tahun 2015, dan diprediksi akan terus turun di akhir 2016 nanti. Salah satu alasannya adalah target produksi Semen Indonesia yang tidak tercapai pada tahun ini. Apalagi mengingat pembangunan pabrik semen di Rembang yang belum beroperasi. Dan memang terlihat adanya indikasi upaya untuk menghambat realisasi keberadaan pabrik tersebut.

Sebagai informasi, Jawa Tengah adalah pasar yang menarik dan kebutuhan yang tinggi. Selama ini pabrik semen lebih banyak berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Satu-satunya yang beroperasi adalah pabrik semen relatif kecil milik Holcim di Cilacap.

Keberadaan pabrik Semen Indonesia di Rembang dituduh melanggar lingkungan. Padahal, perizinan AMDAL dan aturan-aturan terkait perlindungan alam telah dipenuhi oleh Semen Indonesia oleh kelompok-kelompok masyarakat dan LSM. Dimulai dari pengecilan lahan pabrik hingga menggunakan teknologi mutakhir untuk mengantipasi dampak penggalian, polusi dan akibat produksi pabrik lainnya.

Sejauh ini semua tuduhan berhasil dijawab dan dibuktikan secara baik oleh pihak Semen Indonesia, apakah itu di pengadilan TUN tingkat pertama di Semarang, maupun di pengadilan TUN tingkat banding di Surabaya. Namun, anehnya, entah mengapa, di tingkat kasasi Mahkamah Agung mengabulkan permintaan Peninjauan Kembali oleh pihak penggugat yang merupakan kelompok-kelompok perlawanan tersebut.

Persaingan Bisnis: Asing dan Swasta

Apabila kita menarik lagi kepada motif ekonomi, maka ada asumsi bahwa para pemain-pemain baru di industri semen mulai menggeliat. Beberapa laporan menunjukkan bahwa mulai munculnya pemain-pemain baru seperti Tiongkok yang ingin bermain di sektor semen nasional. BUMN seperti Semen Indonesia hanya  menguasai 36% kapasitas domestik pasar semen nasional. Pihak asing yang telah mampu menguasai pasar semen nasional diantara lain Lafarge/de Holcim (Holcim-Swiss ) dengan 15%, PT Indocement dibawah bendera perusahaan Jerman Heilderberg dan Salim Grup (minoritas) dengan 30 %, dan pemain-pemain baru lainnya yang mampu menguasai total 19% kapasitas domestik.

Belum lagi, pemain-pemain baru bermunculan dengan segala kontroversinya. Baru-baru ini, industri semen nasional dikejutkan dengan kontroversi pembangunan pabrik semen milih perusahaan China, PT Conch di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Permasalahan tersebut terletak pada berkas perizinan perusahaan yang tidak dilengkapi dan berdampak pada legalitas pendirian pabrik dan melawan hukum yang ada di negara ini. Masyarakat menyebut keadaan tersebut sebagai “Semen Spanyol”.

Penggunaan istilah Semen Spanyol diartikan sebagai singkatan dari “Separo Nyolong”. Hal tersebut disematkan kepada perusahaan semen China  sebagai bentuk kekhawatiran atas penetrasi perusahaan semen asing yang kurang mematuhi aturan dan regulasi yang berdampak pada kerugian konsumen.  Aturan tersebut antara lain penggunaan TKA Cina dan investasi bodong yang berpotensi merugikan investor saat pabrik semen yang berjalan dianggap illegal dan harus ditutup.

Kemudian, salah satu perusahaan nasional yang sering bermasalah dengan permasalahan lingkungan di Indonesia ikut meramaikan peta persaingan semen nasional. Produk semen tersebut bernama Semen Merah Putih yang berada dalam merek dagang PT Cemindo Gemilang yang terafiliasi dalam Wilmar International. Terkenal sebagai konglomerat yang sering merusak lingkungan melalui aktivitas sawitnya, kali ini Wilmar melanggar peraturan pemerintah yang melarang impor semen gelondongan atau semen jadi yang siap dipasarkan. Karena belum selesainya pembangunan pabrik Cemindo Gemilang yang dibangun Wilmar di Banten, maka mereka menyiasati dengan mengimpor semen jadi dari Chinfon Cement dan sudah bermerek Semen Merah Putih.

Saat publik disibukkan dengan isu  pro-kontra pembangunan Semen Indonesia di Rembang,  PT Asia Cement Pati bersiap untuk melakukan investasi bernilai 7 Triliun dengan pembangunan pabrik berkapasitas 4,4 juta ton di Pati, Jawa Tengah. Padahal pada tahun 2014, Semen Indonesia berencana untuk membangun pabrik di daerah tersebut dan akhirnya mundur setelah menyadari bahwa pembangunan tersebut berbahaya bagi kelestarian alam.

Tetapi saat pabrik semen asing tersebut membangun pabrik di wilayah tersebut, tidak ada suara lantang dari masyarakat. Malah, pihak kontra, seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pengunungan Kendeng dan Komunitas Sedulur Sikep serta berbagai kelompok masyarakat, LSM dsb, malah lebih tertarik mempermasalahkan BUMN Semen Indonesia yang akhirnya memutuskan mendirikan pabrik di Rembang.

Adalah tanda tanya besar saat kita melihat gerakan pimpinan Gunretno dari komunitas Sedulur Sikep, LSM, tokoh-tokoh media sosial (endorser) mengapa diam saja dengan keadaan tersebut tapi malah asyik terus menyerang Semen Indonesia. Apakah yang dilakukan oleh mereka adalah gerakan peduli lingkungan secara tulus atau jangan-jangan hanya dijadikan alat oleh korporasi pesaing Semen Indonesia, yakni pemain-pemain asing dan swasta.

Masyarakat karenanya harus lebih jeli dalam melihat kasus penolakan terhadap pabrik semen di Rembang. Karena yang terjadi sebenarnya adalah mobilisasi massa dan eksploitasi rakyat kecil oleh orang-orang yang mengklaim peduli dengan keadilan dan nasib rakyat. Kenyataannya tidak seperti itu. Banyak permainan elite nasional dan lokal, yang melibatkan aktor politik, LSM, intelektual, madia, cukong atau pengusaha, yang akan segera terungkap nantinya di balik ini semua.

Kemajuan sebuah bangsa justru ditentukan oleh kemandirian ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan rakyat. Dalam posisi itulah sesungguhnya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sebagai Kepala Daerah memikirkan kesejahteraan rakyat melalui strategi pembangunan yang dilakukan, antara lain mendukung keberadaan pabrik semen di Rembang. Dampak ekonominya akan dikawal untuk kemaslahatan rakyat.

Apalagi dari segi kualitas dan kinerja, Semen Indonesia bukan BUMN sebagaimana yang klasik distigmakan oleh para kritikus. Semen Indonesia sudah terbukti bekerja memenuhi standar 'good corporate governance'. Artinya, Semen Indonesia adalah perusahaan yang transparan, profesional dan taat pada aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun