Mohon tunggu...
SEKAR MAHARANI PUTRI
SEKAR MAHARANI PUTRI Mohon Tunggu... Tutor - Tutor

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ku Tulis Puisi Ini untuk Mu

24 Oktober 2024   08:58 Diperbarui: 24 Oktober 2024   09:06 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk Tuan yang berdiri kala ambang malam, membawa rindu yang tak pernah selesai dikemas.

“Nona”, ucapnya pelan.

“Apa mungkin, kita adalah garis samar yang selalu tanpa sengaja berpapasan tanpa saling temu?”

Nona menatap cahaya lampu kota dari kejauhan, layaknya sedang mencari jawaban yang terselip dalam kerlipan cahaya itu.

“Tuan”, jawabnya.

“Terkadang, memang kita tak butuh untuk saling temu. Yang kita butuhkan hanyalah untuk saling merasa cukup walau tiada nama dan tiada akhir.”

Langit menggantung sunyi, hanya angin yang mampu berbicara, demi mengantar kenangan masa lalu yang mereka takuti.

“Aku hanya ingin tahu” kata Tuan.

“Mengapa rindu yang aku rasakan malam ini sangatlah membuat dadaku sesak?”

Nona menghela napas sejenak.

Seakan telah memahami gerak detik yang perlahan telah bergulir.

“Karena malam” bisiknya.

“Adalah waktu saat semua yang tak mampu tersampaikan akan bergema paling nyaring.”

Tuan tersenyum pahit.

Seakan telah memahami sesuatu yang terlalu rumit untuk diperbaiki.

“Nona, bagaimana jika aku tak pernah datang lagi, akankah kau melupakan namaku?”

Nona menutup kedua matanya, merasakan dingin mulai menyentuh kulitnya.

“Mungkin aku tak mengingat namamu, Tuan. Tapi untukmu, perasaan ini akan selalu ada. Berputar layaknya malam yang tak pernah letih untuk kembali.”

Mereka yang berdiri di sana.

Seperti dua bayang yang terjebak oleh waktu.

Tak saling memiliki namun tak benar-benar hilang.

Hanya ada, dan cukup ada.

“Mungkin kita bukanlah sebuah takdir yang diatur Tuhan, Nona.”

“Tapi, bukankah terkadang yang indah justru menjadi yang takkan pernah jadi nyata?”

Nona menatap langit yang pekat tanpa bintang.

Meresapi makna dari setiap kata yang diucapkan oleh Tuan.

“Jika ini hanyalah sementara, Tuan. Maka biarkan kita menjadi sebuah kenangan yang paling sunyi dan menjadi kenangan yang takkan pernah menuntut untuk diingat.”

Dan di bawah malam itu, mereka akhirnya mengerti.

Bahwa ada perasaan yang memang harus dibiarkan terus menggantung.

Tidak untuk dimiliki namun untuk dihayati.

Bagaikan hujan di tengah kemarau.

Datang hanya sesaat, namun meninggalkan jejak hingga selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun