Aku Hilya. Anak perempuan semata wayang. Aku tumbuh dan dibesarkan di sudut Utara perkampungan kota. Aku tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana, di tengah-tengah keluarga yang masih awam. Masa kecilku dipenuhi dengan teguran dari masyarakat sekitarku. Wajar saja, semua teguran itu tak lain disebabkan karena ulahku yang tak karuan.
“Bapak.. Mau kemana?” teriakku yang dilanjutkan pertanyaan karena kulihat Bapak hendak bersiap-siap untuk mengeluarkan sepeda dari kandangnya.
Hari Ahad di setiap pekannya, bapakku selalu menghabiskan setengah harinya untuk pergi mengasah hobinya. Memancing.
“Memancing,” jawab cinta pertamaku.
“Hilya nggak usah ikut!” larangnya.
Aku tau tempat memancing favoritnya. Tepat di dekat rel kereta api. Pastinya tempat itu sangat berbahaya untuk anak-anak belia seusiaku.
“Lhooo aku mau ikut..” pintaku. Yaa.. inilah aku. Aku kecil cenderung lebih dekat dengan bapakku daripada ibuku sendiri, karena bapak selalu memberi apa yang aku mau. Sedangkan ibu lebih cenderung melarang atau sekurang-kurangnya memberi syarat jika aku menginginkan sesuatu.
“Tanya ibumu, boleh ikut apa nggak.” Jawab bapak.
Tanpa berpikir panjang, aku segera menemui ibuku dan meminta izin untuk ikut bapak pergi memancing.
“Jangan.” Jawab ibuku setelah aku meminta izinnya. Jawaban yang tak sesuai harapan.
“Lhoooo… Cuma sebentar deh,” pintaku memohon agar diizinkan.