Sekarang, bagaimana cancel culture diterapkan di Indonesia? Jika kita menilik beberapa tahun lalu, cancel culture belum secara ketat diterapkan di Indonesia. Entah mengapa. Mungkin karena banyak orang yang masih belum paham dan menyadari dampak dari cancel culture ini bagi korban maupun pelaku kejahatan tersebut. Mau bagaimanapun keadaannya, cancel culture ini perlu dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk yang bisa saja disebarkan oleh oknum-oknum tertentu.
Kasus seorang penyanyi yang melakukan pelecehan terhadap seorang pria. Salah satu yang menggemparkan Indonesia saat itu. Bagaimana tidak? Pelakunya adalah seorang penyanyi yang digandrungi oleh banyak orang di Indonesia. Setelah diusut tuntas, akhirnya diputuskan bahwa penyanyi tersebut mendapatkan hukuman beberapa tahun penjara.
Beberapa tahun berlalu, akhirnya penyanyi tersebut dibebaskan. Namun yang membuat publik sedikit kecewa adalah keluarnya penyanyi tersebut malah disambut suka cita oleh para penggemarnya. Publik hanya menyayangkan karena penyanyi tersebut sudah melakukan pelecehan kepada seseorang di bawah umur. Benar fakta bahwa dia telah menjalani hukumannya di penjara, namun trauma akan tetap menghantui korban hingga waktu yang tidak bisa ditentukan kapan trauma tersebut hilang atau bahkan trauma tersebut tidak akan bisa hilang selamanya. Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak orang. Maka dari itu barulah muncul petisi untuk memboikot penyanyi tersebut dari televisi. Hal ini tentu awalnya mendapatkan pertidaksetujuan dari penggemarnya. Namun masyarakat umum tetap menaikkan petisi tersebut hingga akhirnya penyanyi itu benar-benar diboikot dari berbagai macam acara hiburan.
Sumber: psikogenesis.com
Ada lagi kasus yang melibatkan aktor terkenal Indonesia. Aktor tersebut tersandung kasus penyalahgunaan narkoba. Namun lagi-lagi putusan telah dijatuhkan dan aktor tersebut dinyatakan bersalah, para penggemarnya tetap melontarkan ucapan semangat agar aktor tersebut bisa segera terbebas. Lagi-lagi hal ini mengundang kemarahan publik karena biar bagaimanapun aktor tersebut sudah memiliki nama yang besar di negeri ini dan masih banyak yang mendukungnya. Netizen berkomentar, “Kalau lo cakep, lo aman.”
Ada pula kasus yang baru saja menjadi buah bibir beberapa bulan yang lalu. Kasus tersebut menimpa sepasang suami istri yang sangat dikenal oleh masyarakat terutama di kalangan ibu rumah tangga. Pasangan suami istri tersebut terlibat kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut laporan sang istri, suaminya tersebut telah beberapa kali melakukan kekerasan terhadapnya. Hal ini sangat berbeda dengan image yang mereka bangun di depan publik bahwa mereka adalah pasangan yang serasi dengan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Tentunya publik berbondong-bondong membuat petisi untuk memboikot artis tersebut dari berbagai acara hiburan dan akhirnya stasiun TV yang merekrut artis (sang pelaku atau suami dari korban) tersebut sebagai pembawa acara di salah satu acara mereka, secara langsung membuat pernyataan bahwa mereka memecat pembawa acara tersebut.
Belakangan ini juga warganet dibuat resah oleh salah satu content creator yang membuat video membawa anaknya yang masih sangat kecil mencoba berbagai wahana yang berbahaya untuk dinaiki oleh anak kecil. Apalagi jika anak tersebut tidak menggunakan alat pengaman apapun. Terlepas dari alasan apapun, membawa anak kecil menaiki wahana yang mengancam keselamatannya apalagi kegiatannya itu dipublik ke media sosial, tentu saja tidak patut untuk dicontoh. Namun anehnya, masih banyak penggemarnya yang membela dengan dalih untuk mengajarkan keberanian kepada anak sedini mungkin. “Lagipula, sudah konsultasi ke dokter dan katanya boleh-boleh saja,” kata mereka. Inilah yang namanya public figure itu sebagai contoh kepada penggemarnya dan masyarakat banyak. Jika yang begini dikatakan baik-baik saja dan tidak dipermasalahkan, bagaimana jika akhirnya banyak yang mencontoh dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Siapa yang bertanggung jawab? Penggemar juga berhak mengingatkan idolanya menuju jalan yang lebih baik.
Semakin ke sini, masyarakat sudah lebih memiliki pemahaman terhadap cancel culture, dan semakin ke sini penerapan cancel culture sudah semakin tegas dan ketat. Sudah sepatutnya masyarakat lebih aware terhadap hal-hal ini. Penerapan ini juga seharusnya dilakukan secara adil. Adil dalam hal tidak memandang fisik, tidak memandang jabatan, tidak memandang suku, ras, dan semacamnya. Maksudnya, walaupun orang itu memiliki fisik yang baik -yang tidak lain cantik atau tampan- tetap saja cancel culture ini harus diterapkan. Apalagi ketika kasus yang menyangkutnya sudah terbilang parah. Tindakan minimal yang bisa dilakukan adalah tidak memberikan perhatian apapun untuk orang tersebut, tidak membicarakannya di media sosial, ataupun tidak mengundangnya ke acara televisi dengan dalih untuk klarifikasi.
Belum lama ini juga terdengar kasus seorang aktor yang terlibat kasus pembulian. Aktor tersebut memang bukan berasal dari Indonesia, namun banyak penggemarnya yang berasal dari Indonesia. Lagi dan lagi, banyak penggemarnya yang masih membela walaupun aktor tersebut telah memberi klarifikasi bahwa kasus tersebut benar adanya. Inilah yang disayangkan. Cancel culture ini seakan tidak berlaku bagi mereka yang berparas tampan atau cantik, ataupun yang memiliki kekuasaan. Padahal dibalik ini semua pasti ada pihak yang dirugikan. Jika mereka masih membela aktor tersebut, lalu bagaimana perasaan korban? Jadilah penggemar yang bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H