media sosial juga membuka jalan bagi penyebaran berita hoaks yang meresahkan. Hoaks sering kali dirancang untuk memanipulasi emosi, seperti kemarahan, ketakutan, atau kebanggaan, yang mendorong pengguna untuk membagikan informasi tersebut tanpa memverifikasi kebenarannya.Â
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia, memfasilitasi komunikasi dan penyebaran informasi dengan sangat cepat. Namun, sifat instan dan luasnya jangkauanSelain itu, algoritma media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, yang dirancang untuk mendorong konten viral, sering kali memperkuat penyebaran hoaks. Algoritma ini tidak membedakan antara informasi faktual dan berita palsu, sehingga konten hoaks lebih sering mendapatkan perhatian dibandingkan konten edukatif. Penelitian oleh Syukri et.al (2023) menyatakan bahwa mudahnya mengakses internet begitu signifikan dengan melihat akses penyebaran pesan lebih mudah dan praktis karena prosesnya yang tidak begitu lama dibandingkan dengan media cetak. Dengan mudahnya khalayak mengakses dan menyebarkan segala pesan, mengesampingkan penyaringan berita sehingga tidak sedikit media internet menyebarkan pesan palsu atau biasa dikenal dengan istilah Hoax
Dampak Sosial dari Penyebaran Hoaks
Penyebaran hoaks tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga berdampak serius pada masyarakat. Indonesia memiliki populasi pengguna media sosial yang sangat besar dan aktif (Kompas, 2021), mengatakan "Dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, pengguna media sosial aktif mencapai 170 juta. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara 61,8 persen dari total populasi di Januari 2021." Ini adalah angka yang luar biasa untuk negara yang masih berkembang ini. Sebagian orang di Indonesia menggunakan internet sebagai kebiasaan dan sebagai kebutuhan. Selain itu, selama pandemi, pertemuan langsung antar individu dilarang. Karena keadaan ini, kebutuhan akan internet dan media sosial semakin meningkat dan mendesak. Tidak diragukan lagi, Anda harus menggunakan internet dan media sosial untuk terhubung dengan orang-orang seperti rekan kerja, guru, siswa, siswa dan dosen, dan tetangga rumah. Hoaks menyebabkan ketidakpercayaan terhadap institusi, perpecahan sosial, dan bahkan kerugian ekonomi.Â
Misalnya, pada awal pandemi COVID-19, sebuah hoaks yang mengklaim bahwa "air garam bisa menyembuhkan virus" sempat viral di media sosial, memicu perilaku panik dan mengalihkan perhatian dari metode pengobatan medis yang benar. Dalam konteks politik, hoaks sering digunakan untuk menjatuhkan lawan dengan menyebarkan isu palsu terkait kebijakan yang tidak pernah ada.
Pentingnya Literasi Digital
Mengatasi penyebaran hoaks membutuhkan pendekatan yang sistematis, terutama dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Penelitian Mandasari et al. (2024) menemukan bahwa karakter informasi di media tidak hanya diciptakan dan dikonsumsi oleh penggunanya, tetapi juga dapat dibagikan ulang, yang menyebabkan tersebarnya informasi palsu di media. Pengguna media dapat mengomentari informasi yang ada dan menambahkan data terbaru. Informasi yang berkembang menjadi kabur dan menjadi hoax. Untuk mengedukasi masyarakat, pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama. Program Siberkreasi Kominfo bertujuan untuk meningkatkan literasi digital. Meskipun demikian, partisipasi aktif dari komunitas sendiri sangat penting. Orang-orang yang menggunakan media sosial harus berhati-hati untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
Teori Konformitas Sosial menjelaskan bahwa individu cenderung mengikuti perilaku kelompoknya untuk diterima dalam kelompok tersebut. Penelitian oleh Asyahidda dan Azis (2024) menyatakan bahwa dinamika psikologis dan sosiologis dari Fear of Missing Out (FoMO) menjadi kunci dalam menganalisis perilaku Generasi Z di platform digital seperti TikTok. Sebagai generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital, Generasi Z dihadapkan pada tekanan sosial yang diperkuat oleh mekanisme algoritmik dan standar konformitas yang terus bergeser.
Teori pengaruh sosial menyatakan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh orang lain dalam kelompok sosial mereka. Penelitian Thulhidjah et.al (2024) menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan budaya di sekitar mahasiswa  mempengaruhi  cara  mereka  berinteraksi  dengan  informasi  di  Instagram. Mahasiswa  yang  terlibat  dalam  komunitas  yang  mendorong  literasi  digital  dan  kritis terhadap  informasi  cenderung  lebih  waspada  terhadap  berita  hoax.  Sebaliknya,  mereka yang kurang teredukasi rentan terpengaruh oleh informasi yang tidak diverifikasi
Selanjutnya menurut teori Kognisi Sosial, individu cenderung lebih percaya dan menyebarkan informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "bias konfirmasi". Penelitian Tartawati (2022) menemukan bahwa orang dengan pandangan politik atau agama yang kuat lebih mudah menyebarkan hoaks yang mendukung pandangan mereka. Penelitian oleh Krisanjaya et al. (2024) di Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menyoroti pengembangan instrumen pencegahan awal penyebaran hoaks, yang disebut Instrumen Cegah Awal Penyebaran Hoaks (ICAPH). ICAPH bertujuan untuk mengidentifikasi dan mencegah hoaks berdasarkan dimensi emosi, konten, literasi informasi, kategori informasi, opini, dan sumber. Penelitian ini menegaskan pentingnya langkah preventif dalam melawan hoaks melalui pendekatan multidisiplin yang melibatkan linguistik forensik dan literasi digital.
Kesimpulan
Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini memudahkan komunikasi dan berbagi informasi, tetapi di sisi lain, tanpa pengawasan dan literasi yang memadai, platform ini dapat menjadi saluran utama penyebaran hoaks. Dengan memahami mekanisme psikologis di balik penyebaran hoaks, meningkatkan literasi digital, mengedukasi masyarakat, dan memperkuat regulasi, Indonesia dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, di mana fakta menjadi dasar komunikasi, bukan manipulasi. Ini menunjukkan betapa pentingnya membangun ekosistem informasi yang bertanggung jawab di tengah arus media sosial yang deras. Saatnya kita menjadi pengguna media sosial yang kritis, tidak hanya "klik dan percaya."
Daftar Pustaka
Krisanjaya, K., & Widia, I. (2024). Cegah Awal penyebaran hoaks di media sosial: Menggagas Pengembangan Instrumen Pengenalan Hoaks. Indonesian Language Education and Literature, 10(1), 58. https://doi.org/10.24235/ileal.v10i1.15503
Kompas . (2021, Oktober 14). Berapa Lama Orang Indonesia Akses Internet dan Medsis Setiap Hari. Diambil kembali dari Kompas.com : https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/11320087/berapa-lama-orangindonesia-akses-internet-dan-medsos-setiap-hari-?page=all
Asyahidda, F. N., & Azis, A. (2024). Konformitas Dan Penyimpangan: Perspektif Sosiologis tentang Pengalaman Fomo di Kalangan Generasi z pada media Sosial Tiktok. Jurnal Socius: Journal of Sociology Research and Education, 11(2), 120--132. https://doi.org/10.24036/scs.v11i2.708
Mandasari, N. O., Wijayati, P. H., & Usman, R. (2024). Persepsi Mahasiswa Terhadap informasi hoax DI Media Digital. Bahasa Dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, Dan Pengajarannya, 49(1). https://doi.org/10.17977/um015v49i12021p67
Tarwati, K., Danismaya, I., & Safariyah, E. (2022). Analisis bias Kognitif Masyarakat terhadap informasi Hoaks Tentang covid-19. Jurnal Keperawatan 'Aisyiyah, 9(1), 73--81. https://doi.org/10.33867/jka.v9i1.323
Thulhidjah, M., Hilmiah, M., & Nurdyansa. (2024). PERILAKU PENYEBARAN BERITA HOAX DAN HATE SPEECH DI KALANGAN MAHASISWA DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM. CORE Journal of Communication Research, 2. https://doi.org/https://doi.org/10.35905/publistikji.v1i2.10971Â
Syukri, S., Syarif, A., & H, F. (2023). Pengaruh Pesan hoax DI Media Sosial Terhadap Sikap Mahasiswa. MEDIALOG: Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 140--152. https://doi.org/10.35326/medialog.v6i2.4361Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H