Hari ini kembali aku membuka laptop dan mengumpulkan nyawa untuk bergerak, setelah 1 minggu terbujur kaku jiwaku pada ranjang yang panjang. Kini aku harus kembali mencoba melangkah sendiri. Setelah kepergiannya, kaki ku hilang sebelah, rasanya tak mampu menopang tubuh yang sudah mulai jompo ini sendirian. Suamiku, sahabatku dan kekasihku, dipilih meninggalkan aku duluan tanpa tanda sakit atau tanda apapun, tiba-tiba saja. Itu pun yang mengakibatkan diriku tak sanggup melihat dunia.Â
Kami hanya hidup berdua, berdua saja. Kebetulan pada 2013 lalu rahimku ditakdirkan harus diangkat demi menyelamatkan aku, kami ikhlas dan menerima takdirnya. Semenjak saat itu harapan kami untuk memiliki keturuan pun pupus. Saat itu hatiku kosong sekali hampa, aku hampir gila memikirkan bagaimana orang akan memandangku. Wanita tidak sempurna kah? atau wanita cacat?, gejolak batinku perlahan sembuh karena teman hidupku itu. Suamiku berhasil meyakinkanku bahwa kebahagiaan kita tidak akan hilang, dan drajat ku sebagai wanita tidak akan turun meski tanpa rahim. Tapi kali ini kemana aku akan mengadu Tuhan?
Butuh 4 tahun bagi ku menerima takdir aku perempuan tanpa rahim dan keturunan, lalu bagaimana aku akan menerima ujian kali ini, dan takdirku?. Seminggu ini aku hanya duduk dan bersimpuh sambil menangis, dan menanyakan mengapa begini, mengapa? mengapa aku, mengapa?
Tak kuasa aku menahan beban ini Tuhan, kurangkah saat kau ambil rahimku. Aku termenung
Berhari-hari aku bertanya dan hanya bisa menangis. Makanan dan minuman selalu dikirimkan keluarga dan sahabatku. Wajahku pucat tak bergairah aku seperti mayat yang hidup.Â
"Mas kalau kamu dengar coba tolong bantu tanya kenapa aku?".
Hari ke-5 proses penerimaanku. Jumat ini rasanya lebih syahdu, angin lebih bertiup sejuk, dan cuaca lebih teduh dari biasanya. Untuk pertama kalinya aku keluar dari kamarku dan menyapa keluargaku, seraya aku mengucapkan terima kasih. "Terima Kasih ya sudah dibantu aku".
Aku keluar rumah dan menyapa beberapa tetangga yang lewat, mereka memberikan ku kalimat-kalimat baik. "Semangat ya mbak. memang tidak mudah, kita hanya bisa menerima dan bersabar" atau "Alhamdulillah mbak keluar rumah, cuacanya lagi enak nih makan rujak. mampir kerumah saya ya mbak kalau sempet".Â
Itu membuat ku sedikit lebih bernyawa.Â
Hari ke-6 proses penerimaanku, aku sudah cukup menangisi dan bertanya. Mungkin aku harus kuat dan siap mendengar jawabannya. Hatiku terasa mulai bersinar sedikit demi sedikit. Memory yang indah itu ku kenang dengan senyuman. Keluarga yang ada dirumah juga memberikan aku kekuatan. "Ini mungkin yang terbaik, yang harus aku jalankan, kelak aku akan menemukan jawabnya mengapa".
Hari ke-7 proses penerimaanku, aku mandi dan bersiap untuk kemakan suamiku bersama ayah dan adiku, kami berdoa, membaca yasin dan aku diam sejenak berbicara dalam hati.Â