Beberapa orang mungkin harus bersusah payah, bahkan berdarah-darah, saat merangkai sebuah cerita fiksi. Bisa jadi mereka sudah menghabiskan puluhan sampai ratusan jam pelatihan, tetapi berakhir dengan hasil yang tidak optimal. Sementara sebagian lainnya menulis seperti hal bernapas. Begitu ringan, mungkin terlihat nyaris tanpa usaha, tetapi dengan hasil yang cukup baik.
Apa pun itu, cerita yang baik adalah cerita yang mampu membuat pembaca bertahan sampai akhir. Sama halnya dengan menulis, membaca pun sebisa mungkin tanpa mengeluarkan banyak usaha untuk memahaminya. Narasi yang diantarkan dengan baik tentu mudah diterima. Pembaca akan mengerti begitu saja tanpa perlu mengulang pembacaan. Kalaupun dibaca ulang, biasanya karena pembaca ingin mendapatkan sensasi berbeda.
Sebelum Gerimis Jatuh di Kening sejak awal digadang-gadang sebagai kumpulan cerpen yang (mungkin) membuat pembaca menyesal. Itu bahkan tertulis dengan jelas di sampul bukunya. Orang juga mungkin langsung paham bahwa itu bagian dari strategi pemasaran, cara menggaet calon pembaca, yang saya akui, cukup cerdas. Sebagian lainnya mungkin akan menertawakan jargon itu, dan merespons, "Untuk apa menulis cerita yang akan membuat pembaca menyesal?"
Embah Nyutz menyapa pembaca dengan cerita tentang kotoran hidung. Judulnya cukup gamblang, yaitu Kisah Kecil Tentang Upil. Iya, dengan ringannya ia bercerita panjang lebar mengenai upil. Tampak seolah-olah benda itu memiliki semesta yang maha luas sehingga segala aspek bisa dikemukakan ke publik dengan dalih tambahan wawasan. Agar tak tampak 'kurang kerjaan' membahas upil, penulis membawa tokoh anak kecil sebagai sosok yang haus pengetahuan akan benda mungil yang kadang kenyal kadang keras, lantas menemukan ide brilian dari objek itu. Kita paham bahwa imajinasi terjujur adalah milik anak-anak, meskipun kerap membuat orang dewasa mati gaya.
"Ada banyak hal dalam kehidupan di alam lain yang tak bisa kau pahami dengan akalmu walaupun kau mungkin telah mengalaminya atau merasakannya, sebab pada saat itu engkau sudah tak butuh lagi penjelasan rasional." (Dua Kisah Tentang Kabut, halaman 59)
Cerita ajaib lainnya datang dengan judul Dua Kisah Tentang Kabut. Beberapa kejadian mungkin terdengar absurd, tetapi ini hanya soal sudut pandang dan penerimaan. Kisah pertama melibatkan sosok hantu yang dinamai Demit Jumbleng. Padahal, bisa jadi hantu itu hanya ada di benak manusia. Lalu, kisah kedua melibatkan kabut sebagai pemicu halusinasi. Dengan kata lain, melalui cerpen ini, penulis mengajak pembaca untuk tetap berkesadaran.
Ada satu cerita yang mungkin kurang tepat dikategorikan sebagai cerita pendek. Ini kisah tentang seekor kucing yang tiba-tiba punya kemampuan menulis surat, tentunya dengan bahasa manusia. Kalau Anda bukan tipe pembaca yang sabar, bisa jadi judul ini akan terlewati tanpa perlu ditamatkan. Akan tetapi, jika Anda penikmat imajinasi unik nan tak lazim, cerita berjudul Surat dari Kucing Berandalan mungkin jadi favorit Anda. Penulisnya sendiri menyebut cerpen ini sebagai messy imaginationimajinasi yang berantakan.
Tenang saja. Buku ini tidak hanya memuat cerita-cerita lucu bin konyol. Ada beberapa yang akan membuat pembaca merasa diremas-remas hatinya, seperti halnya cerita tentang relasi antara orang tua dan anak. Bagi saya sendiri, inilah intinya, yang membuat judul cerpen tersebut dijadikan sebagai tajuk. Sebelum Gerimis Jatuh di Kening terbaca seperti 'sebelum segalanya menjadi terlambat'.
Cerita berjudul Leila akan membawa Anda menjelajah dunia realis magis ala Embah Nyutz. Ini kisah tentang seoang perempuan yang gemar sekali duduk di teras. Tidak sekadar duduk, perempuan ini selalu duduk menghadap ke barat, tampak seperti menunggu sesuatu atau seseorang. Namun, ketika ditanya alasannya, perempuan itu enggan menjawab dengan terang.
"Ya, tidak semua hal harus ada alasannya." (Leila, halaman 80)
Banyak mentor pelatihan menulis yang bilang bahwa bahkan untuk sebuah karangan, logika harus tetap dipakai. Ya, sebenarnya, jagat fiksi memiliki logikanya sendiri. Batasnya hanya persoalan etis atau tidak. Dan, itu pun tidak ada pakemnya, alias selalu berubah sesuai tuntutan zaman, tuntutan hidup, serta naluri manusia.
Jadi, terima saja bahwa imajinasi para penulis memang bisa jadi sangat tidak terduga. Setidaknya, kita sebagai pembaca mampu memahami bahwa benar semesta probabilitas memang begitu luas. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati dan membiarkan para penulis itu bermain-main dengan logikanya. Toh hidup akan monoton jika premis yang sama dibawakan dengan cara yang biasa-biasa saja.
Membaca buku ini, mungkin terasa seperti menaiki tangga menuju surga yang ada di Gunung Tianmen, Cina. Setelah langkah-langkah awal kita dibuat kelelahan terpingkal-pingkal dengan cerita-cerita konyol, di tengah sampai akhir, ketika kita sudah menemukan ritme mendaki, kita mulai bisa menikmati pemandangan.
Saya pikir, bentuk penyesalan yang akhirnya hadir adalah, mengapa buku ini cepat sekali habis terbaca.
Sekian.
Editor dan pengulas buku
Hidup di Bali
Keterangan buku:
Judul buku    : Sebelum Germisi Jatuh di Kening
Penulis       : Embah Nyutz
Penerbit      : DIVA Press
Cetak         : Pertama, Maret 2023
Tebal         : 148 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-189-203-4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H